part 13

5.8K 243 13
                                        

Nila pagi ini bangun lebih cepat daripada sms dari Bian, sejujurnya dia mungkin hanya tidur sekitar dua atau tiga jam saja. Memang,  apa yang Bian lakukan semalam membuat dia shock. Dia tak mengira sama sekali, dan tidak ada persiapan untuk itu. andai Bian memperlakukannya lebih lembut, karena jelas sekali Nila tidak berpengalaman dengan laki-laki, Bian adalah satu-satunya lelaki yang pernah menciumnya. Nila duduk membungkuk di pinggir kasur dan menggosok wajahnya dengan kedua telapak tangan.

“Heheh..” Nila tertawa miris, ciuman pertamanya diambil begitu saja tanpa ada sesuatu yang memorable. Hmm,..  tapi kejadian di ruang rapat itu memorable, tapi bad memory. Relationship, memang harus siap kan dengan hal-hal kontak fisik dan lain sebagainya. Terdengar menakutkan baginya, apalagi dia tau benar dari semua orang di kantor yang bergosip tentang Bian, bahwa Bian sangat-sangat berpengalaman dengan wanita. Sekali lagi pikirannya bimbang, haruskah dia melanjutkan hubungan ini?

“Ah gak gak gak… aku nih mikir apa sih, baru juga beberapa hari jadian masa udah mikir mau putus, sejak kapan aku cemen begini. Ah… tapi  aku ga ngerti apa-apa tentang pacaran.. gimana dong..”

Nila harus melakukan sesuatu untuk mengalihkan pikirannya, Dia membuka kulkas, mengambil telur, kornet, dan beberapa bumbu, Nila memutuskan untuk membuat bekal untuk sarapan mereka berdua.

***

Bian masih saja merasa bersalah atas apa yang terjadi semalam, kenapa dia menjadi bar-bar seperti itu, lepas kendali, memang sih dia tak menyentuh wanita dalam waktu yang cukup lama, tiga bulan baginya sudah terlalu lama, mengingat dulu dia bisa tidur dengan wanita beberapa kali dalam seminggu. Sudah jam setengah delapan pagi. Berat rasanya bagi Bian untuk keluar dari mobil  dan bersiap-siap menghadapi apapun yang nanti akan Nila tanyakan dan katakan. Bian mencengkram stir  mobilnya dan bernafas dengan cepat.

“Ok, its gonna be fine.” Bian meraih gagang pintu, tapi gerakannya terhenti karena Nila sudah berjalan menuju ke arahnya dengan senyum terkembang. Nampaknya semua akan baik-baik aja. Begitu pikir Bian saat ini.

“Pagi.” Mobil berguncang ketika Nila menghenyakkan dirinya di kursi, menaruh barang bawaannya di jok belakang dan membanting pintu mobil.

“Pagi. Tidur nyenyak semalam?” Bian berusaha berbasa-basi sambil mulai menjalankan mobilnya.

“Lumayan, kalo mas?”

“Iya lumayan..” Kemudian hening.

“eeh..” Mereka berdua berucap bersamaan.

“Hahaha, kamu duluan baby..”

“Gak ah  mas duluan aja.”

“Oh please ladies first.” Bian membelokkan mobilnya ke kiri.

“uhmm… anu…” Nila mempertikan jemarinya sambil sesekali melirik ke arah Bian.

“Anu?” Nada suara Bian terdengar geli, karena dia menahan senyumnya.

“Iya, semalem… anggap aja ga pernah terjadi.”

“Hmm…” Bian termangu sebentar, “kenapa?”

“Kenapa? Uhm.. Mungkin mas sedang khilaf?”

“Hahaha..” Bian tertawa, biasanya semua orang tidak begitu bisa menerima alasan khilaf, karena kata itu hanya menjadi pembenaran atas apa yang sudah mereka lakukan. Demi amannya saja lalu khilaf menjadi alasan. “Kamu menerima alasan khilaf?”

“Memang ada penjelasan yang lebih baik?”

“Hmm..” Memang tak ada, Damn! Bian semakin membenci alasan khilaf.

“Mas, aku mau Tanya sesuatu.”

“Apa?”

“Kalau pacaran itu kan harus terbuka satu sama lain kan ya?”

My 200 Pounds FianceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang