07 - Hanbin

364 55 0
                                    

Malam ini aku mendengar semuanya. Cerita Jiwon dan sahabat tujuh belas tahunnya.

Sedikit mengharukan.

Tak kusangka Jiwon yang ceria dan terkadang menjengkelkan ini ternyata sedang berperang dalam ketidakpastian.

Pasti sangat sulit dan sakit, menunggu seseorang yang bahkan tak kau ketahui kapan akan kembali. Jikapun seseorang itu kembali, apa ia juga sama-sama menunggu kita? Sama-sama berharap akan dipertemukan kembali? Memikirkan itu saja aku sudah tak tahan, apalagi harus berada di posisi Jiwon.

Aku memegang bahu Jiwon dengan tangan kananku. Berharap ini bisa menyalurkan dukungan dan kekuatan.

"Jiwon-ah, jujur aku sedikit terharu mendengar ceritamu ini. Tak kusangka kau yang selama ini kukenal, ceria dan menyenangkan juga sedikit menjengkelkan sedang berperang dengan batinnya sendiri. Mengharap sebuah kepastian.

Jiwon-ah, ia benar. Kau hanya harus percaya dan kuat. Memang berat. Aku tahu itu. Apalagi dalam keadaan seperti ini. Aku yakin kau pernah goyah dan putus asa.

Cukup yakinkan dirimu. Jika kau masih ingin menunggu, tunggulah. Jika kau goyah, pulanglah sebentar ke gereja. Ungkapkan semua pada Tuhan. Kau tahu, Tuhan pasti akan menolong hamba-Nya. Walau terkadang tidak dalam waktu cepat, Ia pasti menolongmu.

Kau orang yang kuat, karena kau sudah menunggu sampai se lama ini. Aku tidak memaksamu. Kau yang lebih berhak membuat keputusan." Ujarku.

Hening menyelimuti kami.

"Bagaimana jika ia tidak menungguku dan tidak kembali?" Tanyanya.

"Kau bisa buat keputusan untuk tetap menunggu atau tidak."

"Aku berharap ia kembali dan menungguku. Aku juga berharap ia kembali walau tak menungguku dan melupakanku. Aku berharap ia kembali walau harus bersama atau memiliki orang lain. Karena hanya satu yang ingin kulakukan ketika ia kembali.

Berbicara tentang semuanya.

Aku ingin bicara sebagai sahabat yang lama tak berjumpa." Ujarnya.

Hening menyelimuti kami lagi. Sampai aku membuka suara.

"Hei! Sudahlah. Rasanya tidak nyaman daritadi membicarakan hal-hal serius saja. Apa kau punya gambaran bagaimana ia sekarang?"

"Ehm mungkin ia sudah sangat tinggi sekarang, entahlah dulu ia pendek. Ia tumbuh sebagai wanita karir yang cantik, cerdas, dan menarik. Ia sangat dewasa dan pekerja keras di usia belianya. Ia akan bekerja sebagai editor atau mungkin manager, ketua tim atau animator. Ia sangat berbakat. Aku masih ingat dia sangat dingin kepada semua orang." Ungkapnya.

"Hahaha. Apa ia juga dingin padamu?"

"Awalnya ya. Aku selalu dianggap pengganggu olehnya.  Setiap pagi aku berteriak di depan rumahnya dan duduk disebelahnya dalam  bus  sekolah saat kami TK. Aku suka membuatnya kesal dengan memasukkan kadal mainan dalam tasnya. Aku juga mengikutinya kemanapun ia pergi kecuali saat ke kamar mandi. Tetapi ia terlihat tak tertarik. Bahkan marah. Ia hanya mengatakan, apa kau gila? Dasar pengganggu.

Saat aku bosan, kutanya padanya mengapa ia tak pernah marah. Ia menjawab untuk apa marah pada seorang pengganggu? Membuang waktu saja. Bayangkan, itu diucapkan oleh bocah berusia 5 tahun."

"Hahaha. Daridulu kau memang seperti itu. Lalu? Bagaimana ia bisa berubah padamu?"

"Awal masuk SD ia tetap dingin padaku. Sampai suatu hari ia tahu aku mengikutinya jadi ia berlari. Sampai di suatu gang ia terkepung oleh anak brandalan. Aku yang masih berusaha mengikutinya akhirnya bisa menemukannya. Kuhampiri ia, dan tepat disampingnya aku bisa membaca keadaan. Kami terpojok. Dan ia hampir menangis. Lantas aku maju berniat melawan mereka walau postur mereka jauh lebih tinggi dariku.

Untungnya ada seorang kakek tua yang memergoki kami berkelahi. Tapi naas, aku kalah jika dibandingkan mereka. Mereka pergi, dan kami berakhir menyedihkan dengan wajahku lebam dimana-mana.

Ia sangat ketakutan dan gemetaran sepanjang perjalanan pulang. Ia terus saja menggenggam tangannya yang berkeringat dingin. Sampai di depan rumahnya, sebelum ia masuk, ia berkata padaku, "Apa kau baik-baik saja? Apa perlu ke rumah sakit? Maafkan aku tak bisa melawan. Aku sendiri ketakutan. Aku tak tahu bahwa di gang tadi ada sekelompok anak brandalan. Maafkan aku Jiwon-ah." Aku hanya terdiam dan menatapnya lekat. Kutarik ia dalam dekapanku sembari berkata, "Tidak apa-apa. I'm okay. Are you okay too? Aku tidak akan marah padamu karena tak menolongku. Karena memang seharusnya aku menolong sesama. Apalagi menolongmu." Saat itu entah kenapa aku bisa merasakan ia amat sangat ketakutan, kesepian, dan membutuhkanku. Ia menangis dalam dekapanku. Dan sejak saat itu kami menjadi dekat dan bersahabat.

Sampai mimpi buruk itu menghampiri hari indahku. Menyelimutinya dengan warna biru yang saat ini masih tersisa.

Hari itu. Ia pergi. Membawa secuil hatiku yang ia bawa serta. Meninggalkan bekas luka yang semakin menganga tiap harinya. Luka itu tak pernah mengering, karena tak kunjung diberi obat atau dijahit. Sebutlah aku adalah jarum dan ia benangnya. Jika benangnya tak ada, bagaimana luka bisa dijahit?" Nadanya berubah sedih lagi.

"Sepertinya kau akan sulit menyelesaikan perangmu Jiwon-ah. Cukup beritahu aku saja jika kau lelah."

"Kau akan melakukan apa?"

"Aku akan menyuruhmu istirahat."

Ia hanya tertawa kecil.

"Apa kau sudah lega sekarang?" Tanyaku.

"Ya lumayanlah." Jawabnya singkat.

"Uh..malam semakin dingin saja. Ayo kita masuk. Lukamu akan membeku Jiwon-ah." Godaku.

"YA! Dasar!" Ia memandangku dengan tatapan garang lalu seketika tertawa.

"Mari masuk, kawan."  Ia meninju pelan bahuku.

Setidaknya malam ini ia sudah melepaskan sedikit bebannya. Lega.







Ps : kalimat yang ber-italic adalah dialog di masa lalu.

dear my friend🌸 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang