11. C.E.M.B.U.R.U

16 0 0
                                    

Motor vespa Akito melaju kencang dengan kecepatan diatas rata-rata di kawasan Taman Anggrek dan Central Park Mall. Mesin menderu seakan mengerti kalau Akito ingin cepat mengantar Ahilya sampai rumah dengan selamat. Belum ada seperempat jalan, ponsel Akito berdering. Dering cukup keras membuat Akito terpaksa berhenti di pinggir jalan untuk mengangkat telepon dari saku celana.
Terlihat nama Adrian menelepon di layar. Dengan segera, Akito mengangkat telepon.

"Halo,"

"Halo, lo di mana?" tanya  Adrian. Nada suaranya terdengar agak panik. Akito mengeryit, sebetulnya apa yang terjadi dengan Adrian? Kemudian, Akito balik menjawab,

"Baru nyampe TA nih. Emang ada apaan sih?"

"Waduh, gue lupa ngasih tahu kalau hari ini pemilihan kelompok buat tugas mata kuliah Reprografi. Di cariin lo sama Pak Harmasto." ucap Adrian panjang lebar di telepon.

"Heh yang bener lo?" Mata Akito mendelik sekian kali. Ia panik, bagaimana bisa ia tak ingat jadwalnya sendiri dan berubah menjadi berantakan?

"Serius gue,"

"Adrian beneran ngajak tawuran. Kenapa nggak bilang dari tadi?" keluh Akito dalam hati sambil mengelus dada.

Ahilya tercengang melihat ekspresi Akito. Raut wajah Akito panik sehingga Ahilya tergerak untuk bertanya,

"Akito, ada apa?"

"Gini, kayaknya kita salah jadwal. Harusnya hari ini ada pemilihan kelompok Reprografi..." Akito terdiam sejenak lalu kembali meneruskan, "kita harus balik sekarang." Akito langsung menyuruh Ahilya kembali memeluk Akito di motor. Dengan ancang-ancang, ia menstarter motor lalu melaju kencang seperti roket ke Trisakti. Ahilya menjerit ketakutan karena ulah Akito mengebut dari kawasan Taman Anggrek kembali ke Trisakti.

"Maaf ya, tapi ini penting. Bukannya kamu bilang mau nyelametin Akshita?" tanya Akito samar di motor.

DEG—

Akshita...
Nama itu—
Tiba-tiba, dada ini terasa sakit lagi untuk kesekian kalinya. Kenapa? Kenapa harus Akshita? Apakah gue kurang baik di mata Akito? Jujur, gue benci mengakui ini kalau gue C.E.M.B.U.R.U dengan Akshita terhitung tiga kali termasuk hari ini. Kenapa?!
Ingin rasanya gue bilang kalau gue cemburu, tapi gue rasa itu nggak mungkin. Nggak mungkin kalau gue bilang gue cemburu sama Akshita. Sabar Ahil... Sabar. Kan, gue sendiri yang bilang kalau gue dekat Akito saja sudah cukup. Itu sesuatu yang—
Sulit sekali untuk diungkapkan. Beginilah nasib 'kepribadian lain', hanya bisa menikmati 'kebahagiaan' dari jauh. Biar bagaimanapun juga, Akito pacar Akshita bukan pacar gue. Hanya... Rasa sakit gue terima ketika Akito kembali menyebut Akshita lagi di hari gue.

"Hil?"

Gue lebih memilih hening daripada gue harus menjawab panggilan pacar orang. Terus terang, mood gue berantakan karena Akshita dan Akito. Andai saja gue punya tubuh sendiri, pasti nggak akan begini jadinya. Namun, gue cuma bisa pasrah pada jalan Tuhan. Karena Akshita, gue lahir di dunia ini dan belajar mengenal dunia-nya sekalipun membuat hati gue sakit. Tanpa sadar terbayang pepatah dari Akshita yang selalu gue ingat. Setiap malam sebelum tidur, ia selalu bilang,

Seorang teman : Mengetahui semua cerita terbaik sepanjang hidupmu. Seorang sahabat : menjalani berbagai cerita terbaik itu sepanjang hidupmu.

Pepatah itu membuat gue sadar kalau gue harus menjalani berbagai cerita terbaik Akshita sepanjang hidup gue. Suatu saat, gue pasti akan menghilang dari hidup Akshita dan nggak diperlukan lagi. Gue mulai tahu kalau gue lahir di sini adalah untuk membuat Akshita bahagia dan hidupnya lebih baik. Bukan untuk merusak. Namun, kenapa? Kenapa rasa cemburu tak bisa hilang dengan cepat? Bisakah gue benci dengan perasaan ini? Perasaan menyakitkan yang dinamakan cemburu? Pikiran gue mengawang-awang sampai akhirnya ada suara yang mengagetkan gue di motor.

"Hil, ayo turun." ucap Akito.

Pikiran gue melayang-layang belum sadar dengan keadaan sekitar. Bahkan gue sendiri nggak sadar kalau helm gue sudah terlepas dibantu Akito di tempat parkir.

"Hil, kamu sakit?" tanya Akito khawatir. Ia mengibaskan telapak tangan didepan mata Ahilya yang kosong.

Seperti terkesiap, gue langsung sadar kalau sekarang sudah ada di The Jungle. Wajah gue merah seperti kepiting rebus di spion motor. Gue tahu Akito menahan tawa karena wajah gue memerah. Huh, awas lo nanti! Pikir gue lalu turun dari motor.
Tak berapa lama, ada telepon lagi dari Adrian. Buru-buru Akito mengangkat telepon dan menanyakan bagaimana perkembangan kelompok Reprografi dengan terengah-engah.

"Halo, lo nggak usah datang ke kampus. Kelompoknya udah gue wakilin. Mending lo balik aja." ujar Adrian di telepon dengan mode speaker.
Akito cemberut lalu terdengar jeritan,

"BANGKE KEPITING...!!"

Gue betul-betul terkejut mendengar Akito menjerit seperti itu. Seorang Akito bisa menjerit dan mengeluhkan kemarahannya? Apakah ini salah satu sifat asli Akito? Perlahan, gue mulai mundur menjauh. Barangkali saja, Akito berubah menjadi buas siapa yang tahu?

"Aa...kito?"

Akito tak menjawab. Ia segera memasukan ponsel ke dalam saku celana. Ia melirik tajam ke arah gue membuat gue cukup bergidik. Belum pernah gue melihat tatapan Akito setajam ini.

"Ya?!" Akito balik bertanya.

"Nggak, ada...ap...aa? tanya gue terbata.

"Maaf, aku cuma kesal sama Adrian." jawab Akito.

"Emang kenapa?"

"Kita udah jauh-jauh balik lagi kesini tapi kelompok Reprografi udah diwakilin sama dia." ucap Akito mendengus.

Seketika itu juga, meledaklah tawa gue. Jadi, hanya karena itu Akito bisa sampai menyeramkan tatapannya? Astaga...
Sementara itu, Akito makin merengut lalu protes ke gue,

"Kok kamu malah ketawa?"

"Maaf-maaf..., ya bagus dong udah diwakilin? Berarti, kita bisa langsung pulang. Iya kan?" tanya gue sambil memegang perut yang sakit karena terlalu banyak ketawa.

"Huh—"

Hidung Akito kembang kempis dengan pertanyaan gue. Jadi karena hal sepele bisa begini kejadiannya. Ya ampun, konyol banget kan? Sekarang gue ngerti, kenapa Akshita kayaknya cinta mati sama preman cap lele ini. Orangnya lucu dan sedikit bloon.(maaf)
Tapi, gue juga mengakui kalau gue sebetulnya cemburu seperti gue bilang tadi. Rasanya, gue mulai paham kenapa Akito berjuang mati-matian buat Akshita. Gue tahu jawabannya, bukan cuma menjaga tapi kayaknya dia akan memilih Akshita dan serius. Gue turut bahagia jika itu benar meskipun gue cemburu dengan Akshita yang bisa mendapatkan apapun ia inginkan. Mungkin terdengar lebay, tapi itulah kenyataan yang gue lihat di kamar rumah kami. Kamar mewah kepunyaan Akshita seperti putri istana, cuma ada satu yang bikin gue merinding. Aura kesedihan begitu terasa di kamarnya seolah kamar itu berkata, "Tolong keluarkan aku dari sini." Seperti itulah keadaan Akshita sekarang. Apa ini ya sebabnya membuat gue tertukar kesekian kali? Mungkin saja, bukan? Sampai kapan Akshita tertidur? Hanya waktu yang akan menjawabnya. Gue hanya kepribadian pengganti untuk sementara sampai Akshita bangun lalu gue... Menghilang selamanya.

A & "A"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang