PART 13 - The Truth

20.8K 991 66
                                    

Setelah menghabiskan waktu sekitar lima jam di kantor Nathan akhirnya Alana meminta untuk pulang. Ia merasa lapar dan juga merasa bosan karena selama lima jam berada disini yang ia lakukan hanyalah duduk di sofa sambil menonton televisi dan sesekali mengamati Nathan yang sedang bekerja.

"Aku mau pulang," ucap Alana sambil menatap jam dinding yang ada di ruangan ini. Ia sudah bosan memainkan ponselnya, membolak balikkan koran dan juga menonton siaran televisi yang sedari tadi tidak ada yang menarik perhatiannya.

Nathan berdiri dari tempat kerjanya dan menghampiri Alana yang sedang menonton televisi. Ia mengecup singkat bahu kiri Alana dan membawanya ke dada bidang miliknya. Nathan menyadari jika Alana kesal atau mungkin merasa bosan berada di tempat ini. Terlihat jelas sekali dari raut wajahnya yang menampakan bahwa ia kesal dan ingin segera keluar dari ruangan ini namun tertahan olehnya.

Setelah melirik kearah jam tangan yang dikenakannya Nathan memperbolehkannya pulang, "Tapi saya antar ya," Alana mengangguk pelan lalu bangkit dari sofa yang di dudukinya.

Sambil berjalan keluar ruangan, Alana melepaskan genggaman tangan Nathan "Lain kali, kalau memang sibuk jangan menahan orang untuk mendekam di tempat ini sampai bosan ya," ucapnya dengan ketus.

"Lain kali, kalau mau ke kantor kabarin ya, supaya saya bisa membatalkan semua agenda yang sudah dibuat oleh Mona," balas Nathan dengan tenang sambil tersenyum.

Alana hanya diam dan tidak membalas ucapan Nathan, memang seharusnya ia mengabari Nathan terlebih dahulu mengingat bahwa Nathan memiliki banyak agenda yang harus dikerjakannya di kantor dan ia juga salah satu orang penting disini. Tetapi, yang membuatnya kesal adalah karena ia tidak diperbolehkan untuk pulang dan harus menunggunya. Setidaknya sampai ia mendapat istirahat jam makan siang.

"Jadi, kita mau makan dimana?" tanya Nathan sambil memasuki range rover evoque hitam miliknya. Mobil yang hanya ia bawa saat pergi ke kantor atau keluar kota.

"Terserah." jawab Alana asal-asalan.

"Jangan marah, please," Nathan mengelus tangan kanan Alana dan menatapnya dengan meminta belas kasihan.

Alana hanya membalas ucapan Nathan dengan anggukan termalas yang selalu ia lakukan jika sudah kesal dengan seseorang.

Nathan tersenyum, "Jadi, kita mau makan dimana?" tanyanya lagi.

"Ada yang pernah bilang kalau perempuan itu gak suka ditanya," jawab Alana dengan malas.

"Jadi jangan nanya lagi, okay?" tambahnya.

Sambil menahan tawa, Nathan mengacak-acak rambut Alana. Selama dua puluh delapan tahun ia hidup dan beberapa kali berganti-ganti pasangan ia tidak pernah mendapat jawaban seperti tadi, rasanya aneh sekaligus lucu. Jadi begini rasanya berpacaran dengan wanita yang lebih muda?

"Maaf ya, lain kali saya gak akan nanya-nanya lagi deh," Nathan mengalah. Ia tidak mau bertengkar dengan gadis kesayangannya karena hal sepele seperti ini.

.
.
.

Selama di perjalanan, Alana hanya diam dan tidak memperdulikan ucapan atau lelucon yang dilontarkan oleh Nathan. Padahal ia sudah tidak marah ataupun kesal kepadanya hanya saja suasana hatinya benar-benar tidak baik dan ia juga tidak ingin mengucapkan sepatah katapun karena terlalu malas untuk mengeluarkan suara.

Walaupun ia hanya diam dan tidak mengubris apapun yang diucapkan dan dilakukan oleh Nathan, setidaknya ia menarik satu kesimpulan baru tentangnya. Ternyata seorang Nathan yang terkenal kaku - terkadang tidak, terkenal pendiam dan terbiasa menyebut dirinya dengan sebutan "saya" akan melakukan segala cara agar orang yang ia sayangi tetap senang dengan melontarkan lelucon atau hal-hal yang setidaknya cukup pantas diucapkan untuk mencairkan suasana. Walaupun lelucon yang dilontarkan olehnya terasa garing, setidaknya Nathan sudah mencoba.

Don't Call Me "Om"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang