Ruangan ini tampak belum berubah semenjak aku pergi. Meja kaca ini, kursi kayu ini, dekorasi penuh ukiran ini, warga gelap ini, semua aspek ruangan tamu persis seperti apa-apa yang ada di ingatanku.
Aku berusaha untuk tidak terlalu menggerakkan kepalaku. Berharap agar mataku tidak menemukan orang itu lagi di sini.
"Tenang saja, Ayah masih di kantor pada jam seperti ini." Hafya mendekatkan mulutnya dan berbisik pelan. Hal ini membuatku sedikit berpaling karena merasa malu pikiranku ditebak oleh seorang gadis SMP.
"Sudah benar-benar lama Ibu tidak melihatmu lagi. Apa kau sudah memastikan makan dengan baik? Yah, meskipun sebenarnya Hafya selalu menceritakan keseharianmu dengan menggebu-gebu." Ibu menjulurkan kepala dari arah pintu dapur. "Kau bisa ngobrol dengan Hafya dulu sebentar, Ibu akan menyiapkan makanannya sebentar lagi."
Bahaya, nih.
Tiba-tiba saja bertemu dengan ibuku setelah sebulan tak jumpa. Dan sekarang langsung diajak makan. Ini berbeda dengan kasus Hafya, aku tentu harus menyertakan rasa hormat dan penghargaan yang tinggi pada orang tua. Tapi... jika begitu, mana mungkin aku bisa mengelak lagi?
Jadi, sekarang, aku hanya bisa berdoa agar orang itu tidak muncul saat aku berkunjung.
"Kakak ingin melihat kamar Kakak?"
"Ah, tak usah. Buat apa. Lagi pula itu sudah bukan kamarku lagi."
"Apa yang Kakak bilang, sih?"
Tiba-tiba saja Hafya menarik tanganku dan menyeretku menaiki tangga menuju lantai 2. Aku hanya bisa membuntutinya dengan kepala menunduk. Tak ingin menunjukkan bahwa sebenarnya aku sendiri pun tertarik.
Setelah melewati tangga, kami akhirnya tiba di sebuah lorong berlantai parket. Hafya menyusuri lorong itu dan melewati pintu salah satu kamar—itu kamar Hafya. Yang kami tuju sekarang adalah kamar di ujung lorong, tempat yang paling damai di rumah yang mirip neraka dunia ini.
Hafya melepaskan tanganku dan membiarkanku membuka sendiri pintu kamar itu.
"Nah, Hafya. Aku pikir ini memang..."
"Sudah, buka saja!" gadis yang memakai pita oranye di rambutnya itu mendorongku ke pintu.
Karena dipaksa, aku tak bisa mengelak lagi. Dengan enggan, aku menyimpan tangan kiriku di kenop pintu, memutarnya, dan sedikit memberi dorongan. Penyekat kayu itu pun terbuka dan menampakkan sesuatu yang ada di dalamnya. Aku sedikit terperangah dengan fakta yang ada.
"Hafya, kenapa..."
Aku terpukau oleh sesuatu yang bukan apa-apa. Maksudku, aku kira kamar ini sudah dibersihkan 10 bulan yang lalu, tapi... apa yang aku lihat sekarang adalah sama dengan apa yang aku lihat dulu. Tak ada yang bergeser sedikit pun... bahkan pohon kaktus sialan yang aku pungut dari tempat pembuangan pun masih sehat walafiat.
"Sebenarnya, dulu ayah ingin menjadikan tempat ini sebagai perpustakaan pribadiku. Tapi tentu saja aku tidak setuju. Soalnya, ini, kan, tempat yang paling di sukai Kakak di rumah ini." Hafya melangkah ke dalam kamar dan duduk di ranjang kecilnya. "Aku membuat kamar ini menjadi kamarku, dan mengubah kamarku jadi perpustakaanku."
"Eh?"
"Pintar bukan?"
"Y, ya... memangnya apa yang akan kau dapatkan dengan tidur di kamarku?"
Hafya mengangkat bahunya dan mengarahkan bola matanya ke samping. "Mungkin... aroma Kakak?"
"Itu pemikiran yang benar-benar berbahaya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Seven Deadly Fools (Jilid 1)
ComédieNah, nah, nah... pernahkah kau mendengar cerita tentang '7 Iblis Dosa Besar'? Itu, lho... Satan, Lucifer, Mammon, Bellzebub, Leviathan, Asmodeus, dan kemudian Belphegor. Kedengarannya memang mengerikan, tapi sungguh, percayalah padaku, mereka sama s...