Chapter 8

503 95 51
                                    

"Reeee" Panggilku.
Sambil berjalan masuk ke dalam apartemen ini.
"Sepi, apa Re nggak ada?
baguslah."
Aku bergumam masih terus melangkah masuk dan meletakan tas-ku ke atas tempat tidur Re,
lalu meneruskan lagi langkahku. Berjalan menuju wastafel dapur yang sudah ditumpuki piring kotar.

Kenapa banyak sekali piring kotornya, Aish!

Gerutuku dalam hati.
Mulai bergerak mencuci piring-piring ini.

Ini sangat aneh, kenapa aku merasa bulu kudukku bergidik ngeri seperti ini?
Dan hawa dingin ini?

Jari-jemariku rasanya bergemeretakan kakiku
terasa lemas saat tatapanku menangkap
sesosok bayangan di dinding.
Sosok itu berdiri kaku
di belakangku.

Siapa itu?

Aku menahan napas berusaha menenangkan diri agar tidak terpekik. Pelan-pelan kuberanikan diri berbalik menghadap bayangan itu.

"Ree." desisku.
Tiba-tiba rasa takut menyergap hatiku.

Re, kenapa dia menatapku seperti ini?

Dia berdiri di sana menatapku tajam dengan kedua rahang yang mengeras.

Ada apa ini? Apa dia marah padaku?

"Kenapa kau telat?!" ucapnya kalimat itu terdengar bukan seperti pertanyaan melainkan lebih mirip sebuah tekanan.
Dia berjalan mendekatiku
dengan langkah tenang.
Tapi kenapa aku merasa setiap jengkal langkahnya seperti menjadi ancaman untukku.
Pelan aku melangkah mundur ke belangkang.

"R-Re aku-"

"Jangan berani membantahku!" potongnya.
Sekarang dia sudah berdiri
di hadapanku.

Aku mencondongkan tubuhku
ke belakang untuk menghindari Re yang jaraknya sangat dekat denganku, tapi dia semangkin merapat membuat aku semangkin terdesak.

Kurasakan pinggulku
benar-benar tersadar ke sisi wastafel. Keringat paci mencucuri wajahku.
Re semangkin merapat
tangannya terulur merangkum wajahku memaksaku agar menatap wajahnya.

"S-Sakit Re..." Ringisku.

"Kenapa kau diam? jawab!!"
bentaknya menatapku dengan sorot mata tajam.

"R-Ree,  A-aku, Aku."
Suaraku seperti tercekat
di tengorokan lidahku terasa kelu rasanya sangat sulit untuk berkata.

Re membingkai wajahku dengan kelima jarinya.
Seperti sedang mengukur dagu tirusku.
Bukan dia tidak sedang melakukan itu.

Berlahan kurasakan kedua sisi rahangku seperti terhimpit.
Re menatapku seperti Zombie yang menakutkan.

"Jawab! Kenapa kau telat!! "
bentaknya lagi.

"Plieas, lepasin Re, sakiit."
Aku meringis mataku seperti terkena kabut asap.
Aku menatapnya dengan tatapan memohon.
Benar aku ingin memohon agar dia melepaskan cengkramannya yang mulai terasa sakit dan mencekik.

Re dia seperti ini lagi,
Dia bener-bener membuatku takut. Lari key! pergi dari tempat ini! Itu benar aku harus lari,
tapi, kenapa? aku bahkan tak bisa merasakan kakiku, aku seperti mati rasa, Apa sebaiknya aku pingsan saja? Benar pingsan,
nyaliku terlalu ciut untuk menghadapi Re yang seperti ini,
pingsan sepertinya opsi terbaik.
Ayo Key, pingsan! pingsan!
Tidak, aku tidak bisa pingsan mataku masih terbuka lebar dengan kesadaran yang sepurna
memaksaku untuk menatap wajah itu.

Romance VaganzaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang