Flashback on-
"Mila, kamu nakal ya."
Dika mengejarku di sepanjang koridor. Kami tertawa bersama-sama. Sesampainya diujung koridor, aku hendak bersembunyi, tapi tanganku sudah ditarik oleh dika.
"Kena ya." Cubit dika pada kedua pipiku.
"Aw.. sakit tau." Aku berusaha melepaskan tangannya pada kedua pipiku, tapi dia sama sekali tidak berniat melepaskan tangannya.
"Lepasin." Rengekku.
"Mm.. siapa suruh jahil banget sama aku."
"Kan kamu duluan." Protesku.
"Kan kamu yang mancing." Dia memeletkan lidahnya dihadapanku lalu tersenyum.
"Aku gak bisa mancing tau." Aku balas mencubit pipinya.
Akhirnya dia melepaskan tangannya dari pipiku. Aku mengelus kedua pipiku akibat cubitan gemasnya.
"Sakit ya. Sini." Dia menarik wajahku kearahnya.
"Gak usah." Aku memalingkan wajahku dan pura-pura marah padanya.
"Cie yang ngambek." Ledeknya padaku. "Siapa yang ngambek." Aku memanyunkan bibirku ke arah berlawanan darinya.
"Sini." Dia menarikku dan memelukku kepelukannya. Tangannya membelai halus kepalaku.
"Maaf ya kalau selama ini aku belum bisa bahagiain kamu. Tapi aku janji, aku akan kembali buat ngebahagiain kamu."
Aku melepaskan pelukannya lalu menatap wajahnya. Dia tersenyum padaku dengan raut wajah yang sedih.
"Kamu jadi per-gi?" Air mata mulai mengenangi pelupuk mataku.
"Hmm.." dia hanya tersenyum padaku.
"Kapan?" Aku masih berusaha menahan air mata yang sudah mengetuk untuk keluar.
"Besok."
"Be-sok?" Tanyaku tak percaya.
Aku sangat terkejut mendengar ucapannya. Aku memang tahu kalau dika akan melanjutkan kuliahnya di luar negeri, tapi.. dulu rasanya tidak seperti ini. Aku seperti merasa ada ruang kosong lagi dihatiku.
Sejak perkenalan kami setahun lalu, aku mulai merasakan kebahagiaan karena bisa bersama dengan laki-laki sebaik dika. Dia sangat perhatian, baik, dan selalu ada kapanpun dan dimanapun.
Kami memang hanya berteman, tapi aku merasa nyaman setiap bersamanya. Aku merasa dilindungi, disayangi, dikasihi, dan diperhatikan. Dika selalu menjadikanku sebagai prioritas utamanya.
Pernah suatu malam, aku tak bisa tidur karena aku ketakutan. Kebetulan malam itu aku hanya tinggal sendiri bersama si mbok dan pak udin (satpam dirumahku). Aku menghubungi dika dan menceritakan ketakutanku. Dia berusaha menenangkanku dan menghiburku.
Kami berbicara hampir sejam lalu dika menyuruhku keluar. Aku mengikuti arahannya dan saat aku membuka pintu, dika sudah berdiri di depan pintu dengan sebuah gitar ditangannya. Aku langsung memeluknya dan dia membelai kepalaku lembut. Aku merasakan ketakutanku menghilang.
Dika menemaniku sambil bernyanyi. Kami berbincang-bincang di ruang tamu sampai aku ketiduran. Saat pagi, aku melihatnya masih setia berada dirumahku dengan tanganku yang mengenggam tangannya.
Aku tak tahu apa yang terjadi jika aku tanpanya. Aku sudah terbiasa bergantung pada dika. Semua hari-hari berat bisa kulalui dengan mengenggam tangannya. Tapi sekarang.. bagaimana aku menjalani hariku tanpa dika? Tanpa dia yang menopangku? Tanpa dia yang menjagaku? Tanpa dia yang menemaniku?

KAMU SEDANG MEMBACA
Twins
RomanceKetika cinta datang mendekat, namun dengan jalan yang salah. Apakah ini takdir atau hanya mimpi??? "Nchanbum"