5. Rindu

89.2K 5K 131
                                    

Gadis cantik yang masih belia itu bangun dari sandarannya dan menoleh ke arah Ayub. 

Dahi Ayub mengernyit ketika bersitatap dengan gadis itu.  Sepertinya ia pernah melihat wajah gadis itu.  Tapi dimana?  Ayub mengingat-ingat.  Setelah melihat seragam putih abu-abu dan luka lecet di siku tangan gadis itu, ia baru sadar bahwa gadis itu adalah orang yang menabraknya pagi tadi. 

Gadis itu tidak berkedip menatap Ayub. 

“Ini Salwa, anak Abah Rasyid.”  Harun menunjuk gadis berwajah cantik itu.  “Salwa datang sejak pagi tadi.  Dan dia nungguin di sini.  Abah Rasyid menangis saat melihat kedatangan Salwa.  Lalu meminta agar Salwa membuka kotak yang pernah beliau pesankan padamu.  Terakhir, beliau mengucap syahadat.”

Ayub menutup kain di wajah Abah Rasyid.  Lalu pandangannya kembali ke wajah Salwa yang sembab, basah oleh buliran air mata. 

Salwa sesenggukan, sesekali mengucek-ucek hidung dan mata hingga membuat ujung hidungnya yang mancung memerah.  Meski dalam keadaan menangis, matanya yang indah itu masih terlihat menawan.  Rambutnya lurus hitam sepanjang pinggang.  Tangannya memegangi kotak kayu berwarna cokelat yang dipesankan Abah Rasyid.

Ayub mengalihkan pandangan ke kain kafan saat kedua kalinya tatapannya beradu dengan mata Salwa.

“Kasian Salwa, dia terburu-buru di jalan sampe-sampe nabrak orang.  Dan lihatlah, dia terluka.”  Harun menunjuk luka di siku tangan Salwa.

Ayub melirik sebentar.  Andai Harun tahu orang yang ditabrak Salwa adalah Ayub, entahlah.... 

Tanpa mengulur waktu, para tetangga yang dapat dipercaya memandikan jenazah.  Dalam hitungan menit, telah banyak warga yang berkumpul.  Menyaksikan jenazah hingga ikut menyolatkan. 

Iring-iringan pengantar jenazah bergegas meninggalkan pelataran rumah usai melaksanakan shalat jenazah.  Masing-masing orang berusaha meraih usungan peti jenazah dalam perjalanan menuju pemakaman dengan mempercepat langkah.  Nabi mengajarkan agar dalam mengantar jenazah hendaknya mempercepat langkah.  Dengan bergegas membawa jenazah, bila jenazah itu orang salih, berarti segera membawanya menuju kebaikan. 

Begitu erat tali kasih sesama umat muslim setiap ada yang berduka.  Tak perlu ada himbauan, mereka berbondong-bondong menyegerakan proses pemakaman.  Salah satunya bertujuan untuk menguatkan ikatan persaudaraan dan memperdalam kesetiaan antar umat muslim. 

Sebelum maghrib, proses pemakaman telah usai.  Semua yang hadir dalam pemakaman berangsur-angsur meninggalkan tanah gundukan. 

Hanya tinggal Salwa, Ayub dan Harun yang masih bertahan di sana.  Salwa jongkok di sisi papan nama almarhum.  Beberapa orang ibu-ibu telah membujuknya pulang, tapi ia tidak mau.  Ayub dan Harun berdiri di belakangnya.  Entah apa yang membuat Ayub masih terpaku di sana?  Dan Harun, tak tahu juga kenapa ia masih disana?  Mungkin ia menunggu Ayub beranjak.  Sementara kaki Ayub terasa berat untuk melangkah.

Suara mengaji di masjid bersahut-sahutan.  Pertanda adzan maghrib sebentar lagi akan berkumandang.  Hawa panas berganti dengan hawa dingin.  Pemandangan hampir remang-remang.

“Salwa, pulanglah.  Udah hampir maghrib,” bujuk Ayub seraya mendekati gadis belia itu.

Salwa mendongak.  Melihat Ayub yang berdiri di sisinya.  Matanya yang sembab dikelilingi warna merah.

Ayub tertegun.  Sedih sekali melihat wajah Salwa yang basah.  Tak tega.  Tapi apa yang bisa ia lakukan?  Mengiburnya?  Membujuknya?  Atau ikut duduk di sisinya?  Ah, tidak.  Ayub tidak melakukan apa-apa.  Cukup berdiri saja di sisi Salwa, menatap muka Salwa yang lelah.  Salwa pasti bingung, bagaimana kelanjutan nasib hidupnya?  Sekolahnya?  Tinggal dimana?  Tentu ia merasa masa depannya cukup rumit.

Cahaya Cinta Dari Surga √ (Sudah terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang