31. Lelaki Mulia

67.2K 4.2K 114
                                    

Seminggu berlalu.

Di kampus, anak-anak berarak keluar gedung setelah kelas selesai. Ayub dan Zul berjalan beriringan diantara banyaknya anak-anak yang bertaburan.

"Jadi kamu mau langsung ke kantor?" tanya Zul.

"He'emh." Ayub menaikkan tali tas punggung yang menggantung di sebelah pundak.

"O ya Yub, tadi aku ketemu Harun. Dia kayak beda gitu, pokoknya kayak bukan Harun, deh. Aneh, sih. Dia..."

"Dia berselisih paham denganku," potong Ayub sebelum Zul menyelesaikan ucapannya.

"What? Jadi kamu dan Harun lagi ada masalah?"

Mereka sampai di parkiran. Ayub naik ke motor.

"Masalah apa?" tanya Zul.

"Aku nggak bisa jelasin."

"Harus jelasin, dong. Kamu pikir aku nggak perduli? Aku nggak mau ada masalah diantara sahabat-sahabatku. Katakan, masalah apa?" Zul antusias.

Ayub menyalakan mesin motor. Cuek. "Aku buru-buru."

Zul memutar kunci motor Ayub hingga otomatis mesin mati dan mengambil kunci itu dari tempatnya lalu menyembunyikannya di balik badannya.

"Zul, plis. Jangan macem-macem." Ayub terlihat malas bicara. "Jangan bikin moodku ancur. Ngeliat mukamu aja udah enek, jangan nambah-nambahin entar aku empet parah."

"Aku perduli sama kalian. Apa itu salah? Ayolah, jangan anggep aku orang asing."

Ayub akhirnya mengalah melihat muka Zul yang memohon. "Kamu tau kenapa Harun nggak suka aku menikahi Salwa?"

Zul mengernyitkan dahi.

"Karena dia suka sama Salwa. Dia cinta sama Salwa." Ayub menjawab pertanyaannya sendiri.

"Astaga. Jadi dia memendam perasaan sama Salwa?"

"Dan sekarang, muncul berita kalo Salwa dan Harun selingkuh. Aku nggak tau itu bener atau enggak."

"Ya kamu jangan langsung percaya gitu aja dong dengan isu itu. belum tentu bener, kan?"

"Masalahnya yang ngabarin ke aku itu Nur."

"Nur?"

"Ya. Memangnya Nur demen dusta?"

Zul mengangguk-angguk. "Aku nggak yakin kalo Nur Cuma bergosip. Aku kenal banget siapa Nur. Dia perempuan salihah yang dermawan dan taat agamanya. Tapi aku juga nggak yakin kalo Harun berbuat sekeji itu. Aku tahu banget Harun itu taat ibadah."

"Nah, sekarang siapa yang harus kupercaya?"

Zul mengedikkan bahu. "Aku bingung."

"Kamu aja bingung, apalagi aku?"

Zul menggaruk dagu dengan dua jarinya.

"Aku mau ngomong masalah ini ke kamu karena dua alasan. Pertama, kamu sahabatku yang sangat kupercaya. Kedua, aku butuh solusi karena otakku lagi buntu, nggak bisa mikir. Jadi jangan cuma bengong dan memperlihatkan muka bingung. Bikin aku tambah bingung aja."

"He heee... Oke oke. Sekarang gini aja, kamu harus jadi detektif. Selidiki istrimu. Pertama, buka ponselnya. Siapa tahu kamu menemukan bukti. Chating antara Salwa dan Harun mungkin."

Ayub berpikir. Diam.

"Atau, kamu bisa melakukan cara kedua. Pake ponsel Salwa secara sembunyi-sembunyi lalu kirim pesan ke Harun seolah-olah kamu adalah Salwa. Pancing Harun bicara soal hubungan mereka yang sebenarnya. Jika Harun bilang antara mereka nggak ada hubungan apa-apa, artinya Salwa dan Harun berada di pihak yang benar. Tapi kalo Harun terpancing dengan pesan yang kamu kirim, berarti mereka beneran selingkuh."

"Dengan begitu, rasanya aku sedang memata-matai istriku sendiri. Rumah tangga kok kucing-kucingan, kayak petak umpet aja. Ini konyol."

"Ini bukan perkara curiga. Tapi demi sebuah kebenaran. Kamu mau masalah ini lurus, kan?"

Ayub mengangguk.

"Nah, ya udah. Kerjakan aja apa yang kubilang."

Ayub tampak berpikir.

"Ayub, Nur yang salihah itu bisa aja jadi kejam dan memfitnah untuk sebuah alasan tertentu. Dan Harun yang baik hati itu bisa juga jadi penikung untuk alasan tertentu. Semua bisa terjadi. Mereka itu manusia, hati mereka bisa terhasut untuk memenuhi keinginan. Jadi, bukan mustahil Harun berkhianat, atau Nur yang bersalah. Atau, bisa jadi semua itu hanya sebuah kesalah pahaman. Nur hanya salah paham. Bisa aja, kan? Intinya, jangan sampe kamu salah menetapkan tersangka. Akan fatal akibatnya."

Ayub menepuk lengan Zul dan tersenyum. Tumben, si otak mesum bijak dalam bicara.

"Trus, udah dapet jatah belom? Atau jangan-jangan sampe sekarang masih pisah ranjang?" tanya Zul.

Ayub terbelalak. Baru dipuji dalam hati, sekarang sudah mulai nyablak lagi. Dasar ember.

Kemudian pandangan Ayub dan Zul mengarah ke satu titik, Harun yang sedang berjalan mendekat.

Muka Ayub langsung terlihat malas, ia sedang tidak ingin bicara dengan Harun. Hatinya terasa nyeri setiap kali melihat wajah sahabatnya itu.

"Sini kuncinya." Ayub merampas kunci dari tangan Zul. Ia menyalakan mesin motor dan meninggalkan Zul.

Langkah Harun terhenti melihat kepergian Ayub. Kemudian pandangan matanya beradu dengan Zul. Zul tersenyum berusaha membuat kegalauan Harun menghilang. Zul netral. Tidak memihak siapa pun mengingat permasalahan diantara kedua sahabatnya belum jelas kebenarannya.

***

Ayub memasuki rumah setelah memarkirkan motor di garasi. Pulang kerja dalam kondisi lelah begini, ia ingin segera menyiram tubuh melalui shower supaya penat di raga segera hilang.

Langkahnya terhenti di ambang pintu kamar mandi ketika melihat seonggok pakaian kotor yang pagi tadi ia letakkan di ember, sudut kamar mandi. Masih seperti semula. Tidak tersentuh tangan.

Artinya, sekarang ia harus mencuci baju dulu sebelum bisa merebahkan badan di atas ranjang, karena jika ia mencuci besok, maka pakaian kotor akan menumpuk. Dan itu pasti akan lebih melelahkan.

Rasanya ia tidak ingin mengucek pakaian, bukan karena malas, tapi lelah yang ada sudah cukup dan tidak ingin ditambah lagi. Ingin rasanya menggilas pakaiannya di mesin cuci. Tapi mesin cuci hanya ada di kamar mandi Salwa.

Akhirnya ia meraih sikat dan sabun cuci setelah mengumpulkan niat dan semangat. Memulai dengan menyikat celana. Lalu membilasnya di air yang telah ditampung di ember. Memerasnya. Membilasnya sekali lagi.

Ya ampun, pekerjaan itu rasanya memalan waktu yang cukup lama. Lalu ia mengangkut pakaian ke belakang rumah dan menjemurnya. Saat membalikkan badan, ia berpapasan dengan Salwa di pintu.

Salwa terpaku melihat tangan Ayub menenteng ember besar.

Tetes-tetes air dari pakaian yang basah, jatuh membasahi lantai halaman belakang rumah. Ayub tidak mengeringkan pakaian di mesin cuci. Hanya memerasnya saja.

"Aku salah lagi?" tanya Salwa merasa bersalah melihat Ayub mencuci baju sendiri.

Tersenyum, Ayub berkata, "Aku sama sekali nggak ngomong apa-apa. Trus kenapa pertanyaanmu kayak gitu?"

Ayub mengusap keringat di pelipis. Sudah setiap hari ia melakukan pekerjaan itu. Dan baru kali ini Salwa merasa bersalah telah membiarkan suaminya mencuci pakaian sendiri.

Salwa kembali mengamati tetes-tetes air yang jatuh dari pakaian.

"Aku nggak menuntut kamu melakukan pekerjaan rumah. Kalo kamu lelah dengan pekerjaan sehari-harimu, aku akan mencarikanmu pembantu," lanjut Ayub.

Salwa terdiam. Merasa selama ini kesehariannya lebih banyak duduk-duduk saja. Karena ia memang jarang memasak. Tidak pernah mencuci pakaian suami. Tidak pernah melakukan apapun untuk suami. Dia hanya mengurusi dirinya sendiri.

IG : @emma_shu89

(Bersambung....)

Ayoooo... Sebarin cerita ini yaaaaa... Kalian luar biasa..

Emma Shu

Cahaya Cinta Dari Surga √ (Sudah terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang