Dengan suara lembut dan penuh kehati-hatian Ayub berkata, “Salwa, istri wajib taat pada keputusan suami selama keputusan itu nggak melanggar syariat. Taat selama itu nggak melanggar aturan Tuhan. Taat dalam perkara yang ma’ruf. Dosa loh memperlihatkan wajah masam pada suami.” Ayub mengintip muka Salwa. Wajah cantik itu terlihat semakin dongkol. “Kamu jelek kalo ngambek gitu.”
Salwa menatap Ayub semakin tajam.
“Liat tu, jelek kan?” Ayub menyentuh dagu Salwa dan memutar kepala Salwa menghadap cermin besar. Pantulan wajah Salwa yang cemberut membuat muka Salwa semakin menekuk.
“Biarin jelek,” celetuknya kasar.
“Perempuan bakalan cepet keriput kalo gampang merengut,” balas Ayub sembari melirik Salwa.
Salwa merubah ekspresinya yang cemberut supaya agak normal.
Tersenyum tipis, Ayub berkata lembut, “Sebaik-baik istri adalah yang bisa nyenengin hati suami bila suami melihatnya. Ayo, senyum!”
Salwa melirik Ayub. Kemudian memalingkan wajah sambil mengeluarkan suara, “Huh!”
Ayub tersenyum merasa sedang merayu istri. Tidak pernah ia melakukan hal begitu selama hidupnya. Dan apa yang ia lakukan sekarang terasa sangat kaku, bahkan ia merasa asing pada dirinya sendiri. Ah, tidak apa. Sikap romantis dan bujukan manis pada istri memang sudah sepatutnya ia lakukan.
“Ya udah, istirahatlah semalem aja di sini. Kasihan Abi dan Umi kalo ditinggal, mereka kangen sama kita.”
Salwa memutar badan dan memunggungi Ayub.
“Pliiis… Tolong, untuk semalem ini aja.”
Ayub agak bingung. Di kampus, menghadapi para lelaki yang sok jagoan adalah hal mudah, tapi menghadapi perempuan ngambek, duuuh... Ayub kebingungan. Ia menggaruk kepala yang tidak gatal. Menatap punggung Salwa.
“Baiklah, kalau memang kamu nggak mau mengikuti keputusanku, maka turutilah permintaanku dengan meniatkan supaya malaikat mencatat amal baikmu. Untuk malam ini, dapet deh satu amal baik buat bekal.”
Salwa masih diam.
“Besok pagi kita akan langsung pulang. Good night.”
Salwa tidak menjawab. Terus membelakangi.
Rasanya seperti sedang ngomong sama tembok. Ayub keluar. Menutup pintu kamar. Kembali duduk bersama Abi dan Harun di depan TV. Bercengkrama menikmati kebersamaan.
Umi muncul dari dapur membawa dua piring martabak kacang dan menyuguhkan.
“Ayo, makanlah.” Umi menawarkan.
“Nggak mungkin kami makan duluan, Umi. Abi aja belum mrnyentuh kuenya,” sahut Harun.
Ayub dan Harun diajarkan menghormati yang tua. Soal makanan, mereka yang muda tahu diri untuk tidak mendahului yang tua.
“Udahlah, makan aja. Nggak apa-apa!” tukas Abi.
“Kami nggak boleh mengacaukan apa yang diutamakan Umi,” jawab Ayub.
“Ha haa..” tawa Abi mengguntur. “Baiklah anak-anakku, Abi akan mencicipi martabak buatan Umi.” Ia mencuil martabak dan mengunyahnya. “Umi memang pintar bikin martabak. Kalo Umi jualan martabak, pasti laris,” canda Abi. Ia suka mengucapkan kata-kata indah pada istrinya. Bahkan Umi tetap kebanjiran pujian meski hasil masakannya terkadang tidak enak, semua itu semata-mata untuk menyenangkan hati istri.
“Nah, sekarang baru bisa nyerbu.” Harun memotong martabak, irisannya besar dan langsung masuk ke mulut. “Hemmm… Ini martabak paling enak yang pernah kurasakan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Cinta Dari Surga √ (Sudah terbit)
RomanceTersedia di toko buku Juga bisa beli di shopee Highest Rank #1 in spiritual 30/7/18 s/d 07/8/18 "Kita udah nikah dan kamu minta kita tidur di kamar terpisah?" "Ya. Keberatan?" "Oke, kita liat aja entar siapa yang minta sekamar duluan." "Siapa takut...