20. Bidadari Surga

76.1K 4.7K 139
                                    

“Perempuan baik adalah yang taat pada Allah dan mematuhi suaminya.  Ketaatan istri pada suami adalah jaminan surga baginya.  Jika perempuan melaksanakan shalat lima waktu, melaksanakan shaum pada bulannya, menjaga kemaluannya, dan mentaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja ia kehendaki,” lanjut Ayub sambil mengangkat ikan dari kuali dan meniriskannya.

Ikan goreng dengan warna kuning bumbu kunyit sudah tersaji di meja ditemani tumis bayam dengan potongan cabai merah.  Asapnya membawa aroma nikmat. 

“Laki-laki emang suka gitu.  Yang minta dilayanilah, minta dipatuhi, minta dihormati.  Mentang-mentang Tuhan memerintah perempuan untuk taat pada suami, itu dijadikan alasan untuk menindas istri.  Kalo nggak taat, trus ngancem-ngancem.  Al-Qur’annya sih jelas banget kebenarannya, tapi otak lelaki yang nggak waras.  Padahal maksud ayat tuh nggak seringan yang kamu cerna, tapi kamu seenaknya ngambil gampangnya biar bisa hidup enak.  Al Qur’an itu suci dan isinya tentang kebenaran.  Jangan disalah artikan, dong!  Makanya baca ayat tuh jangan sepotong-sepotong.”

Tanpa merespon amarah Salwa, Ayub membuat teh hangat dua gelas dengan air dispenser yang telah mendidih.  Ia meletakkan segelas teh hangat di depan Salwa.  Segelas  teh satunya untuknya.  Ia mengambil dua piring dari rak dan meletakkan salah satunya di depan Salwa. 

“Ayo, makanlah.  Mumpung masih hangat, pasti lezat,” tawar Ayub seraya menyendok nasi ke dalam piring.  Lalu duduk.

Tanpa sadar Salwa ikut duduk.  “Kenapa kamu melakukan semua ini?”  Pandangan Salwa sekilas mengedar pada lauk dan sayur yang Ayub masak.  “Bukankah itu tugasku?”

Ayub menatap Salwa dengan seulas senyum.  Disamping tanggung jawab Salwa sebagai istri, Ayub juga punya tanggung jawab.  Salah satunya menyayangi istri.  Ini adalah wujud dari kasih sayang suami pada istri.  Salwa berhak mendapat kasih sayang, mendapat perlindungan, hidup bahagia dan tenang.

“Apa gunanya kamu ngasih tau aku untuk taat pada suami, mematuhi suami dan bla bla bla, toh akhirnya perintah yang seharusnya aku laksanakan justru kau lakukan sendiri?  Liat nih, kamu yang nyediain masakan.” Salwa menyiduk nasi dan lauk ke piringnya.

“Aku memberitahu untuk kamu amalkan.  Bukan untuk jadi kewenanganku memerintahmu sesuka hatiku.  Rosul aja selalu membantu pekerjaan istri, baik itu memasak, menimba air, dan lain-lain.  Kenapa aku enggak?”

Ayub berharap Salwa mengerti dengan maksudnya.   Bahwa apa yang Salwa katakan tadi salah, bahwa bukan maksud Ayub menjadikan ayat dan hadis untuk memaksa Salwa patuh dan taat terhadapnya.  Sebab ayat suci dan hadis itu isinya bukan memaksa, tapi sebuah ajakan. 

Salwa menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya, mengunyah.  Ia tampak menikmati. 

Ayub tak kuasa menahan senyum di bibirnya.

“O ya, udah shalat maghrib?”

Salwa menggeleng pelan.

“Shalat itu wajib.  Setelah ini pergilah shalat.  Jiwa orang yang shalat akan berbeda dengan yang nggak melakukannya.  Kedamaian hanya ditemukan pada hati orang-orang yang shalat.  Menyembah, mengingat Tuhan.  Laksanakanlah dengan dasar kebutuhan, bukan keharusan.  Karena kita yang butuh Allah.”

Salwa hanya menatap Ayub.  Tak mengomentari.

Selesai makan.  Ayub langsung ke kamar.  Duduk di kursi tempat belajar.  Menyalakan laptop.  Melanjutkan ketikan.  Mengemas kalimat menjadi susunan paragraf dan menyulapnya menjadi sebuah naskah.

Ting Tong….

Bel berbunyi.  Ayub bergegas membuka pintu depan.  Seorang laki-laki bertubuh gemuk berdiri di ambang pintu.  Tak lain supir yang kerap mengantar Nabila.

Cahaya Cinta Dari Surga √ (Sudah terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang