Ayub bingung tujuh keliling melihat istrinya ngambek. Apa yang harus ia lakukan untuk membuat Salwa tenang? Untuk membuat kekesalan yang dipendam Salwa meleleh? Merangkulnya? Membujuknya? Meminjamkan dada untuk membenamkan kepalanya? Sungguh, perempuan memiliki banyak teka-teki, dan itu berhasil membuat Ayub seperti sedang diuji.
“Memperlihatkan wajah manis pada suami merupakan ibadah.” Kembali Ayub mengingatkan itu.
Tidak berhasil juga. Salwa malah membuang muka ke samping. Membuat Ayub hanya dapat melihat belakang jilbabnya saja.
“Aku minta maaf,” lirih Ayub.
Salwa mengangkat wajah. Menatap Ayub. Kemarahan di dalam bola matanya yang jernih menyala-nyala. Mata indah itu seolah sedang bicara, mengungkap kemarahan yang dipendam dalam-dalam.
“Nggak perlu minta maaf.”
Ayub semakin pusing. Apa yang harus ia katakan untuk meredakan kemarahan Salwa? Jika ia salah bicara, bisa-bisa Salwa malah jadi ngamuk.
Dokter keluar dari kamar pasien. Ayub bangkit berdiri mendekatinya.
“Keluarga Nona Nabila?” tanya dokter pada Ayub.
“Kami kerabatnya. Bagaimana kondisinya, Dok?” tanya Ayub.
“Sayangnya Nona Nabila menderita leukimia akut. Usianya diprediksi tidak akan lama lagi,” jawab Dokter perempuan itu.
Darah di tubuh Ayub berdesir. Seluruh tubuhnya terasa dingin. Inilah cara Tuhan memberi cobaan pada gadis salihah itu. Semoga ia ikhlas, dan rasa sakit akan menghapus dosanya.
“Kk... Kira-kira ... prediksinya berapa lama?” tanya Ayub gugup.
Dokter menggeleng lemah.
“Segera beri kabar pada keluarganya. Hibur dia, beri dia semangat hidup. Karena motivasi hidup sangat penting untuknya,” saran Dokter.
Ayub mengangguk kemudian saling pandang dengan supir.
Dokter pergi.
Ayub menelepon Ustad Zaki dan memberitahukan tentang Nabila. Ustad Zaki mengatakan akan langsung meluncur ke rumah sakit bersama istrinya.
Ayub memasuki kamar dimana Nabila terbaring lemah. Supir mengikuti. Sementara Salwa tidak bergerak dari posisinya, tetap duduk di kursi tunggu.
Nabila terbujur dengan mata terpejam. Wajahnya pucat. Selang infus menggantung di atasnya. Ayub berdiri di sisi ranjang. Mengamati wajah pucat yang matanya terpejam. Ia tidak percaya dengan apa yang sedang terlihat. Nabila yang selama ini selalu tertawa renyah dan tidak pernah menunjukkan kelemahan, kini terbaring tidak berdaya.
Supir menatap Nabila, majikannya dengan mata berkaca-kaca. “Dia gadis yang baik,” lirih supir. “Aku sangat mengenalnya. Aku sudah mengabdi di rumahnya sedari dia kecil. Dia taat beribadah. Dia juga dermawan. Aku ingat, dulu ketika Nabila masih berusia lima tahun, Ayah Nabila membeli makanan kesukaan Nabila. Waktu itu anakku yang usianya hampir sama dengan Nabila menumpang sehari di rumahnya. Ustad Zaki tidak tahu jika anakku ada di rumah itu, maka ia hanya membeli makanan seporsi saja. Anakku menangis menginginkannya. Meski sudah lama Nabila mengharap ayahnya membelikan makanan itu, Nabila tetap memberikan makanan itu pada anakku. Sifat itu telah jauh tertanam dalam hatinya. Ia rela menyerahkan sesuatu yang amat disayangnya demi orang lain. Kini, apakah dia harus menyerahkan dirinya untuk penyakitnya itu?”
“Aku yakin Nabila akan kuat. Tuhan tahu hambanya yang satu ini telah mewakafkan diri untuk-Nya. Aku yakin rahmat dan kasih sayang-Nya akan menaungi gadis sebaik Nabila.”
Lelaki setengah baya itu sesenggukan. Air mata membanjiri pipinya. Beberapa kali ia mengusap dengan telapak tangan namun air mata tidak henti mengalir. Sesekali ia mengusap dengan ujung lengan baju. “Kamu benar anak muda. Kamu benar.”
Kelopak mata Nabila bergerak pelan. Kemudian ia membuka mata dan sekilas mengedarkan pandangan ke sekeliling, lalu tersenyum ketika mendapati Ayub.
“Aku di rumah sakit?” tanyanya lirih.
“Ya,” singkat Ayub.
“Rasanya aku lelah banget. Tenagaku kayak terkuras habis.”
“Istirahatlah. Orang tuamu akan segera datang.” Ayub bangkit berdiri. “Aku permisi.” Ia membalikkan badan menuju pintu, namun langkahnya terhenti ketika Nabila memanggil.
“Ayub! Jangan pergi!” Suara Nabila tidak lagi lemah. Ada kekuatan saat memanggil nama Ayub.
Ayub menoleh.
“Jangan pergi! Pliis,” ulang Nabila penuh harapan.
Ayub berbalik dan mendekati Nabila. “Ada yang perlu kubantu?”
Nabila menghela napas. Tersenyum. Lalu berkata, “Aku pengen ada di deketmu. Aku tenang kalau ada di sisimu. Jangan pergi, ya!” Lamat-lamat ia menatap Ayub. “Ayub, aku sayang sama kamu.”
Jantung Ayub berdetak keras. Ia menundukkan pandangan. Ya Tuhan, apa yang harus ia katakan pada Nabila?
Sementara Salwa yang kini tengah berdiri di ambang pintu, terpaku menyandarkan punggung di dinding dengan pandangan mengintip ke dalam kamar melalui pintu yang setengah terbuka, tangannya masih memegangi handle pintu. Tak seorang pun di dalam kamar yang menyadari keberadaannya di sana. Untuk sesaat jantungnya seperti hampir berhenti berdetak. Kata-kata sayang yang terucap dari bibir Nabila terasa menusuk jantungnya. Pedih. Ternyata perasaannya sakit mendengar perempuan lain menyatakan kata sayang pada suaminya.
“Nabila… sebenarnya…” Terputus. Ayub tidak dapat meneruskan kalimatnya. Basah sekali hatinya untuk menjelaskan bahwa ia sudah menikah dengan perempuan lain. Lidahnya terasa kaku. Ia teringat pesan dokter, Nabila membutuhkan motivasi hidup karena mungkin usianya tidak akan lama lagi. Meski pada akhirnya Tuhanlah yang menentukan, namun prediksi dokter membuatnya merasa harus mengemban amanah.
“Katakan Ayub, aku tau kamu ingin ngomong sesuatu. Aku yakin bisa menerima meski itu pahit. Sesakit apapun, obatku hanyalah Allah. Dia yang akan menyeka lukaku. Dan aku akan mengembannya sebaik mungkin kalau itu baik untukku. Aku telah menjadikan jiwa dan ragaku untuk beribadah kepada Dia yang menciptakanku. Maka apapun yang Dia berikan, insyaa Allah kuterima. Termasuk kalau kamu menolakku. Itulah hasil akhir dari penantianku.”
Hati Ayub semakin lemah mendengar kalimat itu. Disetiap intonasi suara Nabila, terdapat tekanan cinta yang tidak terukur kedalamannya.
“Nabila, istirahatlah.” Ayub mengalihkan pembicaraan.
“Ayub, dimana aku akan menemukan laki-laki sepertimu? Laki-laki yang mampu memberikan ketenangan meski hanya dengan menatap saja.” Nabila berkaca-kaca. Masih membahas perasaannya. Cintanya membuncah hingga membuat air matanya menetes, terharu. “Kalau pun ada laki-laki sepertimu, mungkin itu di belahan bumi yang aku nggak tahu.” Nabila memejamkan mata cukup lama sembari buliran permata bening terus menetes dari sudut matanya.
Ayub diam. Air mata Nabila membuatnya ikut terharu. Ternyata cinta Nabila terhadapnya begitu dalam.
***(Bersambung…)
Follow IG : @emma_shu89
Supaya tahu kapan novel ini terbitComment aja buat yg mau lanjut, kira-kira tebakan kalian bener gk? Sampe disini belum kejawab kan? Boleh nebak lagi...
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Cinta Dari Surga √ (Sudah terbit)
Roman d'amourTersedia di toko buku Juga bisa beli di shopee Highest Rank #1 in spiritual 30/7/18 s/d 07/8/18 "Kita udah nikah dan kamu minta kita tidur di kamar terpisah?" "Ya. Keberatan?" "Oke, kita liat aja entar siapa yang minta sekamar duluan." "Siapa takut...