Ayub menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Lalu berjalan mendekati Salwa dan Harun.
Salwa terkejut melihat kedatangan Ayub dan langsung melepas tangan Harun. Ada ketakutan menyemburat di wajahnya.
Ayub merasakan hawa janggal di sana.
“Apa yang kalian lakukan disini?” pandangan Ayub silih berganti meneliti wajah Salwa dan Harun. Entah apa yang sedang terjadi dengan perasaannya. Kesal sekali melihat Salwa dan Harun berduaan di sana. Sudah pernah ia mengingatkan Salwa agar tidak berdua saja dengan lelaki yang bukan mahram, tapi apa yang dilakukannya sekarang? Salwa sama sekali tidak mengindahkan ucapanya.
“A... Ak.. Aku hanya ingin nyari angin segar pagi hari. Ti... Tiba... Tiba-tiba ada tikus, aku kaget dan menjerit. Lalu Harun datang,” jelas Salwa gugup. Tangannya meremas-remas ujung baju. Tatapan matanya liar tak tentu arah. Kemudian menunduk.
Tak pernah Ayub melihat Salwa ketakutan seperti itu sebelumnya. Bukankah ia selalu berani pada suami? Selalu menunjukkan sikap memberontak? Selalu menatap Ayub tajam di tengah ceramah-ceramahnya? Tapi kali ini tidak.
“Tadi kudengar Salwa berteriak makanya aku langsung mendatanginya. Kukira ada sesuatu yang berbahaya, ternyata hanya seekor tikus. Kucari-cari tikusnya udah nggak ada. Ya udahlah, lagi pula cuma tikus, untuk apa dipermasalahkan,” sela Harun tenang, seolah tidak terjadi apa-apa.
“Mm… A.. Anu… Ka… Kamu tau aku paling geli sama sirkus… eh, maksudku tikus, kan?” kali ini Salwa menatap Ayub penuh harapan. Mengharap agar Ayub mempercayainya.
Kenapa Salwa harus ketakutan begini jika ia tidak melakukan kesalahan? Pikiran Ayub semakin tak menentu. Berharap agar otaknya tidak suudzon, tapi sikap Salwa membuatnya jadi negative thinking.
“Salwa, lebih baik kamu jujur sama Mas Ayub. Suamimu itu laki-laki baik, nggak pantas mendapat perlakuan kayak gini. Kami ngeliat kok apa yang kalian lakukan disini. Kalian sedang berzina,” ucap Nur tegas.
Terkejut, Salwa dan Harun serentak menatap Nur.
“Apa kamu bilang? Jangan gila!” Harun membela diri.
“Empat mata yang menyaksikan,” imbuh Nur lagi.
“Cukup, Nur! Jangan terusin!” sergah Ayub tidak kuat mendengar kejadian yang lebih buruk dari itu. “Salwa, apa benar yang Nur katakan? Jawab jujur!” Ayub menatap mata Salwa dalam-dalam. Salwa balas menatap. Tatapan Salwa yang dipenuhi rasa takut seakan memberi jawaban bahwa perselingkuhan itu benar-benar terjadi.
Salwa gemetar.
“Jawab, Salwa!” pinta Ayub berhasil membuat Salwa semakin ketakutan.
“Itu nggak benar. Aku dan Harun nggak ngapa-ngapain di sini. Kejadiannya seperti yang aku ceritakan tadi,” jawab Salwa parau. Matanya berkaca-kaca.
“Lalu apa gunanya mereka berbohong?” tegas Ayub.
Pertanyaan Ayub menimbulkan pemandangan baru di wajah Salwa, ketakutan yang sejak tadi menghias wajah itu berubah menjadi kemarahan. Urat-urat di wajah Salwa menegang. Rahangnya tampak mengeras, bahkan napasnya pun kedengaran lebih keras.
“Kenapa kamu tanyakan itu padaku. Tanyakan aja pada mereka.” Salwa menunjuk Nur dan Mak Lina dengan sorot mata membunuh. “Kalo ada hati busuk yang melekat pada daging manusia, maka itu adalah hati kedua iblis ini. Mereka fitnah, sebentar lagi pasti mulut mereka akan busuk. Mereka berdusta. Mereka.... Bangsat. ” Salwa berlari masuk ke dalam rumah.
Pandangan Ayub beralih kepada Harun yang kini sudah meraih kedua bahu Ayub erat-erat. Penuh permohonan ia berkata, “Ayub, apa kamu nggak percaya padaku?”
Ayub melepas napas berat, menatap mata Harun yang berkaca. Ayub tidak tahu harus percaya pada Harun atau tidak. Akhir-akhir ini seperti ada yang berbeda pada diri Harun. Semenjak pernikahan Ayub dan Salwa terjadi, sikap Harun sdikit berbeda, sepertinya Harun menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang Ayub tidak tahu itu apa.
“Lihat baik-baik Ayub, mana mungkin sahabatmu ini melakukan perbuatan keji. Rasanya aku hina dan biadab kalo main belakang sama istri sahabatku sendiri. Itu gila. Aku memang manusia yang nggak luput dari salah dan khilaf, tapi aku nggak punya perilaku binatang seperti yang dikatakan Nur dan Mak Tomasling. Aku ini orang pertama yang mendukung dan memegang bahumu disaat kamu dalam keadaan susah dan senang. Apa kamu lupa itu?”
Ayub diam. Bimbang.
“Aku dan Mak Tomasling melihat dengan mata kepala kami,” kata Nur berapi-api. “Aku nggak akan ngebiarin perbuatan yang dilaknat Allah SWT terjadi disini. Harun, akuilah perbuatanmu dan bertaubatlah. Mengingat ini aib yang akan membuat Mas Ayub jadi malu dan kehilangan muka, maka biarlah Mas Ayub yang mengambil sikap.”
“Tutup mulutmu! Justru kamu yang akan mendapat azab karena memfitnahku,” hardik Harun. Kemarahannya tak terbendung lagi.
Ayub menatap Nur dan Harun silih berganti. Keduanya memberi keyakinan yang membuatnya tak tahu menentukan mana yang benar.
“Jangan berdebat lagi.” Pikiran Ayub semakin keruh mengamati situasi sulit itu.
“Ayub, berpikirlah seribu kali lagi untuk memberikan kepercayaan pada istri dan sahabatmu ini. Hubungan asmara antara Salwa dan Harun bisa membunuhmu secara perlahan. Haduuh... Malang sekali nasibmu, Ayub,” ungkap Mak Tomasling kemudian berlalu pergi.
Nur menatap Ayub penuh iba. Pelan beringsut pergi dengan pandangan tak tega.
“Aku nggak tau kenapa tiba-tiba Nur yang terkenal pemurah dan baik hati itu mendadak menyerangku? Entah apa yang meracuni otaknya? Apa salahku padanya?” Harun melanjutkan. “Baiklah aku nggak perlu membahas itu. Aku hanya butuh kepercayaan darimu, Ayub. Tolong, percayalah, aku sama sekali nggak menyentuh Salwa. Semua yang dikatakan Salwa itu benar. Begitulah kejadiannya tanpa direkayasa. Sungguh!”
“Jika kamu mencintai Tuhan dan Rosulmu, maka bicaralah dengan jujur,” tegas Ayub berusaha membuat Harun tidak berbohong. “Karena dengan mengkhianatiku, sama aja kamu membuat catatan dusta pada Tuhan dan Rosulmu.”
“Semua yang kukatakan ini jujur. Aku nggak mengkhianatimu.”
Ayub mulai meragukan kata-kata Nur yang dibenarkan Mak Tomasling. Sikap Harun sangat meyakinkan. Mulai dari kata-katanya, tatapan matanya, sikapnya, sampai air bening yang menggenangi matanya, semuanya meyakinkan. Tapi, yang jadi pertanyaan, jika Harun berada di posisi yang benar, apa gunanya Nur memfitnah Harun? Ayub semakin bingung. Harus percaya pada siapa.
Ayub melepaskan bahunya dari pegangan Harun, kemudian masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan sepatah kata, meninggalkan Harun yang mengusap wajah kasar dan melepas napas berat.
Saat melintasi kamar Harun, Ayub merasa tergerak memasukinya. Siapa tahu menemukan sesuatu yang dapat dijadikan barang bukti. Ia memeriksa meja tempat belajar, laci, dan beberapa lipatan kertas yang ada di sana.
Deg!
Jantungnya berdetak keras saat menemukan kertas karton seluas ukuran kuarto di dalam laci. Terlihat gambar cantik wajah Salwa diarsir manis menggunakan pinsil warna. Arsirannya sempurna hingga membuat gambar tampak hidup dan sangat mirip dengan aslinya. Tangan yang menggambarnya pasti melakukannya dengan hati. Disebalik kertas, ia menemukan rangkaian kata-kata yang membuat hati Ayub terasa nyeri. Ia sangat mengenal tulisan itu, tulisan tangan Harun.
(Bersambung…)
Emma Shu
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Cinta Dari Surga √ (Sudah terbit)
RomansaTersedia di toko buku Juga bisa beli di shopee Highest Rank #1 in spiritual 30/7/18 s/d 07/8/18 "Kita udah nikah dan kamu minta kita tidur di kamar terpisah?" "Ya. Keberatan?" "Oke, kita liat aja entar siapa yang minta sekamar duluan." "Siapa takut...