28. Menangis

66.6K 4K 122
                                    

   
“Ini artinya kamu nggak mempercayaiku?”  mata Harun berkaca-kaca.

“Apa kata orang kalo denger istriku ada main dengan lelaki yang kos di rumah orang tuaku?  Semua orang akan bergunjing.  Kamu tau gimana sifat Mak Tomasling bukan?  Dia yang menjadi saksi tadi.  Dan kalo memang ini fitnah, tetep aja, lebih baik rumah ini nggak ditempati laki-laki atau pun perempuan kos.  Sebab fitnah bisa terjadi kapan pun.” 

Ayub meninggalkan kamar Harun.  Berjalan memasuki kamar dimana Salwa tengah duduk di tepi ranjang dengan posisi membelakangi.

Ayub tertegun sejenak menatap punggung Salwa.  Ya Tuhan, apa yang sudah terjadi antara Salwa dan Harun?  Benarkah mereka terlibat cinta yang terpendam?  Hingga akhirnya jatuh ke dalam perselingkuhan? 

“Salwa!” 

Salwa tidak menoleh.  Lagi-lagi, kayak ngomong sama tembok.  Dikacangin.  Ayub berjalan mendekati Salwa.  Berdiri di depannya.  Ternyata ia sedang menangis.  Air mata membanjiri pipinya yang putih. 

Beginikah sikap Salwa ketika sedang merasa bersalah?  Bukankah dia seorang pembangkang?  Lalu kenapa sekarang berubah sensitif begini?

“Kenapa menangis?  Bukankah seharusnya aku yang menangis?” tanya Ayub.

“Itulah sebabnya aku menangis,” jawabnya disela isakan.  Bahunya bergetar.  “Kamu nggak percaya sama aku.  Kamu sendiri yang bilang bahwa suami istri itu harus seiring sejalan, gimana akan sejalan jika tanpa kepercayaan?”

“Tunjukkan satu alasan untukku bisa mempercayaimu,” kata Ayub lalu duduk di sisi Salwa lemas.

Salwa menoleh.  Sayu.  Tak menjawab.

“Kenapa tadi kamu kelihatan takut saat kupergoki sedang bersama Harun?  Apa yang kamu takuti?” selidik Ayub.

Salwa menundukkan wajah.  Menatap ke lantai. “Aku memang selalu takut pada apapun yang akan terjadi di kemudian waktu.  Kamu pernah ngingetin agar aku nggak berdua dengan laki-laki, tapi secara nggak sengaja tadi Harun bersamaku.  Semua itu terjadi tanpa disengaja.  Jika aku nggak berteriak gara-gara seekor tikus, Harun pasti nggak akan datang mencariku.  Aku takut kamu nyalahin aku.  Trus keluar deh ceramah sepanjang-panjangnya.  Ceramahmu selalu mojokin aku dan nakut-nakutin bahwa perempuan kayak aku hanya pantes menghuni neraka karena nggak taat pada suami.”

Ayub menghela napas.  Bimbang.  Siapa yang harus ia percayai?  Kasus itu benar-benar telah membuatnya bingung tujuh keliling.  Isak tangis di sisinya semakin menjadi.

“Udah, cukup!  Jangan nangis lagi!”  Ayub menyeka air mata Salwa.  “Jangan sampai orang tuaku ngeliat kamu dalam keadaan menangis.  Air mata menantunya juga merupakan air mata mereka.”

Salwa tersentak merasakan sentuhan hangat tangan Ayub melekat di pipinya.  Ayub yang kemarin menolaknya, kini bersikap seperhatian ini.  Itulah yang membuatnya tersentak kaget.  Sekaligus baper.

“Kenapa kamu nggak memarahiku?  Bukankah kamu menilaiku berselingkuh?  Istri yang selingkuh adalah istri yang durhaka sama suami.  Istri yang paling gila dari istri-istri yang ada di dunia.  Lalu kenapa kamu nggak memukulku aja?”

“Aku nggak bilang kamu selingkuh bukan?  Aku juga nggak bilang kamu benar, atau Nur yang benar.  Aku memang curiga sama kamu, tapi bukan berarti menuduhmu.  Saat ini aku nggak tau harus percaya pada siapa.  Yang jelas, aku nggak mau menghukummu dalam keadaan kamu nggak bersalah.”

“Ternyata kamu masih juga nggak mempercayaiku.”  Air mata Salwa semakin deras berderai. 

“Jadi kamu butuh kepercayaan dariku?”

“Kamu pikir aku ini patung yang nggak punya perasaan?  Aku juga bisa ngerasa sakit kalo nggak dipercaya sama suami sendiri.”

Setelah bersikap kasar dan suka marah-marah, sekarang Salwa masih menganggapnya suami?  Ayub menelan ludah.

“Meski pahit, tapi aku harus jujur, saat ini aku nggak bisa mempercayai siapapun sebelum menemukan bukti.  Jangan nangis lagi.”  Ayub kembali mengusap air mata di pipi Salwa.

Salwa merasakan ketenangan ketika tangan hangat Ayub mendarat untuk kedua kalinya di pipinya.  Tangisnya pun terhenti.  Kemudian ia menatap Ayub dengan penuh harapan. 

Sebenarnya masih banyak yang ingin Ayub bicarakan pada Salwa, namun ia takut Abi dan Umi mendengar.  Ayub menganggukkan kepala pada Salwa dan berkata, “Ayo berkemas, kita pulang.” 

Salwa menuruti.  Ia berusaha menghilangkan sembab di matanya dengan mengusap-usap menggunakan tisu yang diberikan Ayub.  Setelah terlihat lebih baik meski masih tampak sedikit sembab, mereka menemui Abi dan Umi lalu berpamitan pulang.  Abi dan Umi mengantar sampai ke halaman. 

Iring-iringan tiga sepeda motor dan dua mobil pelan merangkak melintasi depan rumah dan berbelok memasuki pekarangan rumah Zul.  Para pengendara sepeda motor berpenampilan rapi dengan pakaian putih bersih, kepala dibalut kopiah turun dengan tertib.  Mereka yang mengendarai mobil turun dengan penampilan yang sama.  Rapi dan religi.  Seperti hendak ke masjid. 

Ayub tidak mengenal salah satu dari mereka.  Wajah semuanya asing. 

Zul adalah tipe orang yang ramah dan pastinya memiliki banyak teman.  Ia pandai bergaul dan berinteraksi.  Wajar saja kenalannya dari semua kalangan.

Mereka melontar senyum tanda menyapa.  Keramahan dan tegur sapa mereka dibalas Ayub dengan mengucap salam.

“Bapak-bapak dan Mas-mas ini dari mana?” tanya Ayub sembari melempar senyuman ramah.

“Kami dari kelompok pengajian.  Hari ini saudara Zul yang mendapat giliran tempat untuk mengaji,” jawab seorang Bapak berjenggot panjang yang keluar dari mobil.

“Sudah beberapa kali mereka mengadakan pertemuan agama disini.  Membicarakan masalah pengajian.  Seperti itulah,” jelas Abi melihat pemandangan serupa dengan yang pernah dilihat sebelumnya.

Ayub mengangguk.  Inilah sosok Zul, isi kepalanya negatif terus, tapi perjuangannya menimba ilmu agama sangat tinggi.  Ayub memuji dalam hati.

“Kami permisi.”  Laki-laki muda yang dagunya ditumbuhi bulu-bulu lembut menganggukkan kepala sebagai tanda menyapa.

Ayub dan Abi balas mengangguk. 

Mereka disambut oleh Zul yang menyambut di pintu.  Ekmudian beriringan masuk ke dalam rumah. 

Ayub langsung mempersembahkan cium tangan pada Abi dan Umi.  Seperti biasa, Salwa mengikuti tindakan Ayub.  Ayub naik motor dan Salwa membonceng.  Lagi, Salwa meletakkan tasnya di tengah-tengah jok antara mereka duduk.

Ketika motor merangkak meninggalkan halaman rumah, dari sudut mata Ayub sempat menangkap pemandangan baru, Harun keluar dari rumah menenteng koper.  Ia benar-benar mengerti dengan perintah Ayub.  Entah apa komentar Abi dan Umi, mereka pasti mengajukan banyak pertanyaan pada Harun mengapa ia pindah kos secara tiba-tiba. 

Dalam hati, Ayub memohon pada Allah agar membuka kebenaran.  Tunjukkan yang benar itu benar, dan yang salah itu salah.  Perlahan perasaan aneh bergulir dalam hatinya, perasaan yang membuatnya tidak ingin melihat Salwa terluka jika ia tidak menaruh kepercayaan pada Salwa.  Berawal ketika membaca goresan Harun, perasaan itu mengalir apa adanya.  Seperti ada rasa yang menusuk-nusuk hatinya.  Apa benar ia cemburu?  Tapi yang jelas, sekarang hatinya terasa sakit dan nyeri.

Disaat Salwa dekat dengan laki-laki lain, saat itulah Ayub merasa tersakiti.  Sebenarnya ia marah pada Harun karena sedang menaruh kecurigaan, atau sedang merasa cemburu?  Seandainya ia mencurigai Harun dan kemudian marah pada Harun, seharusnya ia juga marah pada Salwa.  Tidak seharusnya ia melimpahkan kesalahan pada Harun seorang.  Ayub jadi bingung, ada apa dengan perasaannya? 

(Bersambung…)

Emma Shu

Cahaya Cinta Dari Surga √ (Sudah terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang