33. Nabila

73.4K 3.9K 510
                                    

“Pulang, yuk.  Udah malem.  Belum shalat isya lagi,” ajak Ayub.

“Sekarang?”  Salwa tampak keberatan.

“Emangnya kamu masih mau jalan-jalan?”

“Aku belum puas.  Aku masih pengen keliling, kemana gitu.  Yang penting happy.  Rasanya udah seabad aku nggak jalan-jalan kayak gini semenjak nikah sama kamu.  Borring banget,” ucapnya mengingat sebelum menikah hampir tiga kali dalam seminggu ia menghabiskan waktu shoping dan jalan-jalan bersama teman-teman sekolahnya hingga menghabiskan uang kiriman Abah dengan jumlah yang fantastis, mengikuti gaya elit teman-temannya yang memang hidup mewah.  Dan semuanya berubah setelah ia menikah dengan Ayub.

"Kamu lupa?  Seingatku belum lama ini kamu jalan-jalan dan shoping sama temen-temenmu sampe lupa waktu."

Salwa nyengir.  "Ah iya, aku lupa itu. Yang jelas setelah itu rasanya aku dikekang."

“Aku nggak ngelarang kamu jalan-jalan, kok.  Asal tau waktu.  Asal jangan foya-foya.  Boros itu temennya setan.”

“Mulai, deh.”

“Bosen sama ocehanku?”

“Nggak pa-pa, lanjutin.  Aku dengerin, kok.”

“Besok kan masih ada waktu.  Kita bisa lanjutin jalan-jalannya besok lagi.”

“Kita?  Emangnya aku kalo jalan-jalan mesti sama kamu?  Nggak boleh sendirian?”

“Boleh.  Tapi bersamaku akan lebih aman.”

“Kenapa?”  Salwa tersenyum meledek.  “Takut aku ketemuan sama temen-temenku yang katamu nggak beres itu?  Atau takut aku selingkuh?  Atau...”

“Kalo kamu bersamaku, pasti ada yang ngelindungin kamu.  Itu aja.”

Salwa mengangguk ringan.  Terserah Ayub.  Ia tidak mau berdebat lagi.

“Bawa sini paper bag-mu.”  Ayub mengulurkan tangan ingin membawa barang-barang perbelanjaan di tangan Salwa yang jumlahnya lumayan banyak.

“Mau diapain?”

“Biar aku yang bawa.”

“Enggak.  Biar aku aja.”  Salwa memegang erat tali paper bag, seakan tidak rela baju-baju cantiknya lepas dari tangannya.

“Nanti kamu capek.”

Salwa terenyuh.  Segitu perhatian Ayub terhadapnya.  Hanya melihatnya membawa paper bag yang isinya tidak berat saja Ayub sampai harus merasa khawatir ia kecapekan. Salwa tersanjung dengan perhatian Ayub.

Mereka beranjak meninggalkan restoran.

Salwa berjalan di belakang Ayub.  Ia tidak mau beriringan karena merasa lebih nyaman berjalan mengikuti dari pada harus bersisian atau bahkan di depan Ayub. 

Eskalator membawa mereka meluncur pelan menuju lantai bawah.  Tiba-tiba Ayub dikejutkan oleh seseorang yang menyelusup berdiri di sampingnya.  Tak lain gadis berparas cantik rupawan.  Nabila.  Di tangannya membawa sebuah paper bag.  Wajah cantik itu tidak seperti biasanya, agak pucat.

“Nabila?”  panggil Ayub menyadari sosok cantik di sampingnya. 

“Masyaa Allah.. Ayub.  Kamu di sini?”  Nabila tampak gembira.

Ayub tersenyum.

“Jadi sekarang kamu mau pulang?”

Ayub mengangguk.

“Kalo gitu kamu ikut supirku aja, kita barengan.”

“Aku bawa motor, kok.”

Ayub menoleh Salwa yang berdiri tepat di belakangnya.  Ia mendapati tatapan membunuh saat bersitatap dengan Salwa.  saat itu ia baru sadar bahwa Salwa sedang kesal.

Cahaya Cinta Dari Surga √ (Sudah terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang