12. Sah

88.4K 5.5K 186
                                    

Ayub memahami perasaan gadis itu. Dia masih belia, belum bisa berpikir matang untuk persoalan demikian.

Tak lama kemudian, Salwa menganggukkan kepala.

"Artinya... Kamu mau nikah sama Ayub?" Zul ingin mempertegas jawaban Salwa.

"Ya," jawab Salwa tegas.

"Kamu masih terlalu kecil untuk memikirkan perkara rumah tangga. Emangnya kamu yakin dengan jawabanmu itu?" tanya Zul masih tak yakin.

Salwa mengangguk lagi. Kali ini anggukannya lebih mantap.

Bukan hanya Zul yang tidak yakin Salwa bersedia menikah di usia yang masih sangat muda. Ayub bahkan tidak yakin bisa melamar gadis seumuran Salwa, yang mungkin baru beranjak meninggalkan mainan bonekanya.

Ayub mendekati Salwa dan menyematkan cincin ke jari manisnya. Pas. Tidak kebesaran, juga tidak kekecilan.

"Bailklah, sekarang aku pulang. Jangan lupa mengunci pintu. Assalamu'alaikum..." kata Ayub.

Salwa menjawab salam lirih.

Zul mengikuti Ayub keluar rumah. Pintu langsung ditutup sebelum Ayub dan Zul benar-benar pergi.

Ayub lega. Niatnya mengangkat Salwa dari beban hidup telah terlaksana. Bukankah nilai iman seseorang tidak diukur dari tekunnya ritual ibadahnya kepada Tuhan saja? Tetapi juga seberapa peka seseorang terhadap orang-orang disekitarnya?

Di dalam surat Ar-Ruum ayat 21 disebutkan, Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.

Maka jika Ayub menikah dengan Salwa, meski tanpa didasari perasaan cinta, ia yakin pernikahan yang diniati dengan tujuan mulia pasti akan berbuah ketenteraman.

Ayub mengucap Hamdallah dalam hati... Semoga niatnya yang ikhlas mampu mempertebal imannya.

***

Hari jum'at, tepat pukul sembilan pagi.

Di atas lantai porselin luas yang memantulkan cahaya lampu, seorang lelaki tua berjenggot putih duduk menghadap meja, tak lain penghulu. Ayub dan Salwa duduk di seberang meja, tepat di hadapan penghulu, mengenakan pakaian serba putih. Tangan Ayub sudah menjabat erat tangan penghulu. Dalam satu tarikan nafas Ayub berhasil mengucap kalimat sakral, ijab qabul.

"Bagaimana Saksi?"

Spontan para saksi mengucap serentak, "Saaah..."

Alhamdulillah, akad nikah berjalan lancar. Kini Salwa sudah halal bagi Ayub.

Harun dan seorang teman laki-laki, serta Abi dan Umi yang baru saja pulang dari Bogor menyaksikan proses akad nikah. Sengaja Ayub tidak mengundang banyak orang sesuai dengan permintaan Salwa.

Dan Zul, tidak hadir. Ayub sudah mengirim pesan padanya tentang pernikahannya hari ini. Tapi pesannya gagal. Kebiasaan, barangkali ia ganti nomer lagi. Nur juga tidak hadir. Mungkin ada urusan penting yang harus dilakukannya sehingga tidak memenuhi undangan.

Umi mencium kening Salwa. Yang dikecup menundukkan kepala. Ia tampak cantik menggunakan kebaya putih yang Ayub berikan. Sengaja Ayub memilih warna putih untuk akad sakral itu. Putih, mengandung arti suci. Manusia mati juga dibungkus kain berwarna putih.

Ayub melirik Salwa yang berdiri sangat dekat di sisinya hingga ia dapat melihat dengan jelas betapa Salwa masih sangat belia. Sudah benarkah yang ia lakukan?

Cahaya Cinta Dari Surga √ (Sudah terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang