Salwa tertegun dan mulai memandang tajam. Jadi menurut Ayub, suami yang tidak mencintai istrinya sekalipun tidak suka melihat istrinya dekat dengan lelaki lain? Termasuk Ayub sendiri? Ya, ampun.
“Ini bukan perkara cemburu, tapi moral. Harun itu bukan muhrimmu, nggak baik kamu berdua dengannya. Takutnya akan timbul fitnah.”
“O em ji, aku salah lagi?” Salwa meremas kepalan tangannya sendiri. Kesal. Berasa ingin menonjok muka Ayub. “Kasihan banget nasibku, nikah sama cowok otoriter dan penuh dengan peraturan. Ingat Ayub, kamu itu bukan Tuhan yang bisa menurunkan ayat berisi perintah dan larangan untuk manusia. Bukan nabi yang kerjaannya berdakwah. Juga bukan malaikat yang suci dari dosa. Jadi jangan terlalu banyak memerintah cuma buat maksain pola pikirku supaya sama dengan pola pikirmu. Jujur, aku muak diberi banyak peraturan dan larangan.” Matanya yang bening melotot.
Ayub menarik napas pelan dan melepasnya seiring dengan zikir dalam hati. Kemudian lembut berkata, “Kamu benar, aku bukan Tuhan, bukan nabi, juga bukan malaikat. Tapi aku imammu, aku bertanggung jawab atas akhlakmu. Dan inilah caraku.” Ayub menelan dengan sulit, kemudian melanjutkan. “Kamu nggak salah. Aku cuma minta, lain kali jangan terima tamu laki-laki jika kamu sendirian di rumah. Syukur-syukur yang datang laki-laki baik seperti Harun, kalo yang datang orang yang berniat jahat, gimana? Satu lagi, ….”
“Apa lagi?” hardik Salwa memotong ucapan Ayub.
“Segera buatin minum jika ada tamu datang. Ini adalah salah satu cara kita memuliakan tamu.”
Salwa berjalan menjauhi Ayub. Menyandarkan tubuh ke dinding. Sudah sangat lelah ia mendengar ceramah Ayub. Sebaliknya, Ayub tidak lelah melontarkan petuah yang merupakan ajakan menuju kebaikan.
“Ya ampun, aku harus ginilah gitulah. Banyak banget peraturan di hidupmu.” Salwa menyilangkan tangan di dada.
“Jika baik yang kita tanam pada orang lain, maka akan baik pula yang kita petik di hari pembalasan kelak. Tamu itu ibarat raja. Muliakanlah raja. Tadi Harun sampai ke dapur untuk ngambil air sendiri.”
“Terserah, deh. Lama-lama keriting telingaku. Harun itu nyariin kamu. Dia temanmu. Kok malah jadi aku yang direpotin, sih?” Salwa menghempaskan tubuh duduk ke tepi spring bed.
“Orang yang beriman pada Allah maka akan mengimani wajibnya memuliakan tamu. Tamu suamimu juga tamumu. Kita hidup berumah tangga, nggak bisa sendiri-sendiri.”
Tatapan mata Salwa yang tajam melemah. Terutama ketika Ayub mengatakan bahwa berumah tangga nggak bisa sendiri-sendiri.
“Tadi Harun nyariin kamu. Aku suruh aja dia nunggu. Trus kutinggalin ke dapur. Nggak taunya dia muncul. Dia haus dan nyari air minum. Katanya dia segan minta padaku, terpaksa ngambil sendiri.”
Ayub mengangguk. Mendekati Salwa.
“Okey, lain kali jangan sampai itu terjadi lagi,” tandas Ayub.
Salwa menatap saja. Tanpa komentar.
Ayub tidak mau menyuruh Salwa mengganti pakaiannya yang mengenakan kaos. Takut istrinya ngambek dan tersinggung lagi. Ujung-ujungnya malah tidak mau diajak pergi menjenguk Abi. Biarlah ia mengenakan kaos dan celana panjang. Yang penting pakaiannya tidak terbuka.
“Mana jilbabmu?”
“Aku nggak punya jilbab. Jilbabku cuma yang kupake tadi itu.”
Lagi, Ayub menarik pergelangan tangan Salwa dan memasuki kamar sebelah, tepatnya kamar Salwa.
“Mau ngapain? Aku disuruh pake jilbab?”
Ayub mengangguk.
Dengan muka kesal, Salwa menyambar jilbab dan memasangnya. Jilbab petak itu sudah dijepit dengan peniti, sehingga ia tinggal menyorongkannya di kepala. Hasilnya, berantakan.
Ayub menyentuh kedua bahu Salwa dan menuntunnya berjalan hingga sampai di depan cermin. Tampak jilbab Salwa berantakan. Kemudian Salwa membenarkannya meski kesulitan.
“Udah, ah. Capek. Biarin aja kayak gini.” Salwa membalikkan badan hingga menghadap Ayub yang tadi berdiri di belakangnya.
Ayub tersenyum melihat jilbab yang masih belum rapi. Lalu ia membuka lemari.
“Nyariin apa?”
Ayub memilih baju diantara beberapa lembar yang tergantung di lemari. Lalu mengambil switer dan menyerahkannya pada Salwa.
“Pake ini!”
Salwa membidik dengan tatapan sadis. Kemudian merampas switer dari tangan Ayub dan mengenakannya.
“Kita pergi,” ajak Ayub kemudian keluar kamar menemui Harun.
Mereka bertiga berangkat menuju ke rumah Abi setelah sebelumnya Ayub mengabari Umi akan menjenguk Abi melalui ponsel. Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke tempat tujuan karena jaraknya tidak jauh.Umi menyambut mereka di pintu dengan senyum cerah. Ayub menyalami dan mencium tangan Umi. Dibalas dengan pelukan hangat dan kecupan di kening. Salwa mengikuti yang Ayub lakukan, mencium tangan Umi yang baru saja disalaminya.
“Masyaa Allah, kamu cantik sekali pakai jilbab.” Umi memuji kecantikan Salwa meski jilbab yang ia kenakan awut-awutan.
Umi mempersilakan mereka masuk. Abi tengah duduk di atas permadani depan TV. Di sana tempat kesukaannya. Ia gemar mengikuti perkembangan berita seputar teroris. Tergeletak beberapa bungkus obat dan segelas air putih di dekat duduknya.
Ayub merasakan suhu yang hangat ketika menyalami tangan Abi dan menciumnya. Salwa kembali mengikuti apa yang Ayub lakukan.
Mereka duduk di atas permadani. Umi ke belakang dan kembali dengan beberapa teh hangat lalu menyajikannya ke tengah-tengah.
“Gimana keadaan Abi?” tanya Ayub cemas.
“Cuma demam. Nggak apa-apa. Ini akan cepat berlalu. Abi sudah berobat. Umimu yang sibuk merawat. Umi panik jika Abi sakit,” ucap Abi sambil melirik istrinya.
Umi tersenyum merasa disanjung.
“Jadi Harun yang ngabarin?” tanya Abi pada Harun.
Harun mengangguk.
“Tapi kenapa datang kesini malam-malam begini? Kasihan istrimu,” lanjut Abi sembari menoleh ke Salwa.
Yang ditoleh diam meski menjadi pusat perbincangan.
“Mana mungkin kami tenang mendenger kabar Abi sakit,” jawab Ayub masih dengan wajah diselimuti kecemasan.
“Padahal Abi dan Umi baru aja berencana akan menjenguk kalian jika keadaan Abi sudah membaik. Abi nggak apa-apa, kok.” Abi merentangkan tangan dan menunjukkan bahwa kondisinya tidak parah. “Tapi ada bagusnya Harun memberi kabar padamu, jadi Abi bisa melepas rindu pada kalian.”
“Beneran, Abi nggak apa-apa?” Ayub meminta keyakinan.
“Seperti yang kamu lihat. Apa Abi kelihatan lemas? Pucat? Atau loyo? Enggak, kan?” Abi tampak bersemangat.
Syukurlah, ternyata kondisi Abi tidak seburuk yang Ayub kira. Kecemasan di wajah Ayub berangsur memudar.
Abi memaksa Ayub menginap karena malam semakin larut. Muka Salwa langsung cemberut tajam saat Ayub menyetujui permintaan Abi. Karena sejujurnya ia tidak berkenan menginap di rumah mertua. Tapi apalah daya, ia tidak bisa mengelak. Kalau menolak, ia tidak mau dikutuk jadi mantu kualat.
Songong. Apa enaknya tidur di rumah mertua? Anjir. Salwa merutuk dalam hati.
Ayub mengantar Salwa ke kamar. Salwa menghempaskan tubuh di atas spring bed dengan gerakan kasar. Mukanya merah padam.
Ayub menyadari kekesalan istrinya. Ia mendekati Salwa dan duduk di sisinya.
Sunyi. Hanya hembusan napas yang terdengar.
Ayub menoleh ke Salwa. Sudut bibirnya tertarik, mengulum senyum. Sampai kapan Salwa bersikap begini?
(Bersambung…)
Biar yg baca pada tambah cantik dan ganteng, suruh temen temen pada ikut baca ini cerita yak..heheeeee...
Bersambung oeuy....
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Cinta Dari Surga √ (Sudah terbit)
RomansaTersedia di toko buku Juga bisa beli di shopee Highest Rank #1 in spiritual 30/7/18 s/d 07/8/18 "Kita udah nikah dan kamu minta kita tidur di kamar terpisah?" "Ya. Keberatan?" "Oke, kita liat aja entar siapa yang minta sekamar duluan." "Siapa takut...