9. Sebuah Ide

74.2K 4.3K 135
                                    


Panggilan mulia yang menyejukkan hati berkumandang, bersahut-sahutan. Maghrib telah tiba.

Ayub keluar rumah, mempercepat langkah menuju masjid yang jaraknya tidak jauh dari rumah. Sendirian. Peci menghias kepala. Suara takbir yang diserukan membuat bulu romanya merinding.

Abi dan Umi pergi ke Bogor siang tadi, menjenguk famili yang sakit. Harun Sudah berangkat ke masjid. Ayub ketinggalan karena terlebih dahulu menyelesaikan tugas kuliah di meja belajar.

"Mas, Ayub!"

Ayub menoleh ke sumber suara yang tidak asing di telinganya. Nur. Gadis yang gemar mengenakan kerudung berwarna putih itu keluar dari rumahnya, setengah berlari dan menjajari langkah Ayub. Gadis cantik bertubuh tinggi dan langsing itu terkenal dengan kedermawanannya. Sering mengundang anak-anak yatim makan bersama di rumahnya.

"Tumben, biasanya paling cepat masuk masjid?" tanya Nur dengan seulas senyum.

"Iya, tadi ada tugas kuliah yang harus diselesein," jawab Ayub.

"Kuliahnya masih lama lagi ya, Mas?"

"Enggak, kok. Ibarat membuat buku cuma tinggal bikin sampulnya doang."

"Syukurlah," komentar Nur ikut senang. "O ya, aku pengen ngomong sesuatu. Soal Salwa. Aku kepikiran sama nasibnya. Gimana sama, Mas? Apa Mas pernah berpikir untuk bisa gebantuin dia?"

Pertanyaan Nur membuat langkah kaki Ayub melambat dan menatap mata Nur yang jernih dan berbinar.

"Ya, tentu. Aku yakin kamu juga mikir seperti yang kupikirkan," jawabnya penuh rasa bangga. Karena ternyata Nur juga memikirkan keadaan Salwa.

"Seandainya orang tuaku bersedia menerima Salwa untuk tinggal di rumah kami, aku pasti udah ajak Salwa ke rumah. Tapi masalahnya, Ayah kurang menerima saranku untuk menampung Salwa di rumah. Katanya Salwa itu orang asing. Lagi pula Salwa belum tentu mau tinggal bersama kami."

Persis seperti ide yang Ayub tawarkan kepada Salwa. Ternyata Nur memiliki pemikiran yang sama.

Nur melirik Ayub. "Aku denger dari Zul, katanya Abah Rasyid berpesan agar Mas menikahinya."

Ayub terkesiap dan spontan menoleh ke wajah Nur. Dasar Zul ember.

"He'em..." Ayub ragu menjawab.

"Apa Mas mau menikahi Salwa?"

Pertanyaan Nur kali ini membuat Ayub terbungkam.

"Mas punya niat buat nikahin Salwa?" desak Nur.

"Entahlah, Nur."

"Berarti ada kemungkinan Mas menyetujuinya."

Ayub kembali diam.

"Salwa itu masih sangat kecil, belum bisa ngerjain tugas sebagai seorang istri," lanjut Nur. "Kasihan kalo masa remajanya dihabisin buat ngurusin pekerjaan rumah tangga. Aku nggak setuju kalo dia menikah di usia sekecil itu. Dia masih punya masa depan yang panjang. Aku ingin dia tertawa kayak remaja lain yang punya cita-cita untuk masa depan."

Ayub menghela nafas. Menyadari banyak pihak yang tidak setuju jika ia menikahi Salwa. Nur, Harun, entah siapa lagi yang akan menentangnya. Dan mereka memiliki pendapat yang berbeda.

"Masa depan yang mana? Buat sekolah aja dia nggak sanggup ngebiayai? Jangankan sekolah, makan pun dia kesulitan," sahut Ayub.

"Entahlah, Mas. Aku cuma ingin dia punya masa depan yang baik tanpa harus memutus masa remajanya. Itu aja. Atau gini aja, lebih baik kita sarankan pada Salwa agar dia ke panti asuhan?"

Cahaya Cinta Dari Surga √ (Sudah terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang