Salwa melempar ponsel ke atas spring bed. Dunia sepertinya sedang tidak bersahabat padanya. Belum sempat tarik napas, terdengar bunyi pintu diketuk.
Tok tok tok....
Ketukan pintu dari luar membuatnya bangkit berdiri dan segera menghambur ke depan untuk membuka pintu.
Sosok tubuh besar dengan lingkar pinggang 180 cm menyambut di depan pintu. Mukanya yang penuh dengan daging tampak sinis. Tubuhnya dihias banyak emas. Mulai dari anting-anting, kalung, gelang cincin dan jam tangan, semuanya terbuat dari emas.
“Kamu siapa?” tanya Salwa.
“Mak Lina, pemilik rumah kontrakan ini,” ketusnya.
Salwa menaikkan alis. “Trus kenapa?”
“Kenapa kenapa. Ya mau nagih uang kontrakan, dong.”
“Hah?”
“Jangan mangap! Gua butuh duit, bukan uap dari mulut lo.” Mak Lina berjalan memasuki ruang depan sembari mengipas-ngipaskan sebuah kipas yang sejak tadi dibawa ke wajahnya yang lebar.
Salwa memutar badan dan menatap punggung Mak Lina yang luasnya membuat kepala geleng-geleng.
“Kenapa malah ngeliatin? Mana uangnya?” Mak Lina menyodorkan telapak tangannya.
“Jadi kontrakannya belum dibayar, ya?” Salwa menggaruk belakang lehernya yang sebenarnya tidak gatal. Harus bayar pake apa? Daun? Pikirnya panik.
“Kalo udah dibayar, ngapain gue ngabis-ngabisin waktu jalan kaki ke sini? Udah, buruan sana ambil duitnya.”
“Jangan marah-marah, dong. Ya udah, bentar biar kucari uangnya.”
“Apa? Dicari? Emangnya harta karun pake di cari? Diambil, bukan dicari. Kok pake dicari segala?”
“Ya udah, tunggu sini,” sewot Salwa sebel. Kemudian ia masuk ke kamar di mana dulu tempat tidur Abahnya dan berjalan hilir mudik.
Kemarin, ia sudah menghabiskan waktu lima jam hanya untuk mengobrak-abrik isi rumah demi mencari uang yang siapa tahu ada yang terselip. Tapi hasilnya tidak seperti yang diinginkan. Abahnya hanya meninggalkan beberapa lembar uang di dompet. Dan itu hanya cukup untuk membayar uang buku, jajan di sekolah, dan membayar kosannya. Lalu dari mana ia akan mendapat uang untuk membayar kontrakan yang ditagih?
Sekarang, nasibnya benar-benar buruk. Seperti telur di ujung tanduk. Ia terancam dikeluarkan dari sekolah. Terancam diusir pemilik kontrakan rumah. Kemana ia akan tinggal? Mau jadi apa jika ia tidak punya tempat tinggal? Gelandangan? Tidur di jalanan? Ia benar-benar hidup sebatang kara. Tidak punya saudara.
“Ya ampun, aku mesti gimana, dong?” Salwa menggenggam erat telapak tangannya, lalu mengacak rambut kasar. Menggigit bibir. Mengetuk-ngetuk pelipis dengan telunjuk jari.
Tapi akhirnya ia sadar, dengan berjalan hilir mudik seperi yang sekarang dilakukannya, uang tidak akan jatuh dari langit. Yang ada ia hanya akan membuang-buang waktu saja. Dan si gendut di luar pasti akan semakin murka akibat kelamaan menunggu. Akhirnya ia mengganti seragam putih abu-abu yang dikenakannya dengan gaun. Lalu keluar dan tersenyum lebar berusaha mencari kedamaian.
“Bukan senyum yang gue minta, tapi duit.” Mak Lina kembali menyodorkan telapak tangannya.
“Bisa kasih gue waktu?”
“Lo pikir ini lapangan? Bisa seenaknya sembarangan orang numpang tidur gratis?” bentaknya membuat Salwa membeku di tempat.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Cinta Dari Surga √ (Sudah terbit)
RomanceTersedia di toko buku Juga bisa beli di shopee Highest Rank #1 in spiritual 30/7/18 s/d 07/8/18 "Kita udah nikah dan kamu minta kita tidur di kamar terpisah?" "Ya. Keberatan?" "Oke, kita liat aja entar siapa yang minta sekamar duluan." "Siapa takut...