KISAH SEBUAH SANDAL

974 11 1
                                    

Bulan tampak lelah hari itu. Dia harus berpindah-pindah rumah untuk mengajar les piano. Beruntung Jogja bukan kota besar baginya. Beruntung pula, Bulan punya sepeda mini hasil tabungan dari les pianonya. Bulan menaruh sepedanya depan kursi Taman Pancasila. Lalu dibukanya lagi novel barunya, Gadis Pantai. 

Seorang pemuda kribo lalu melintas di hadapannya. Si pemuda kribo melihat halaman muka buku itu. Agak terkejut si pemuda kribo itu. Si pemuda kribo melihat kanan dan kiri dan menghampiri Bulan. Bulan agak kaget, pemuda kribo berpenampilan lusuh itu menghampirinya. 

"Kau tahu apa yang kau baca?" 

"Ya aku tahu." 

"Hati-hati, mereka akan menggantungmu."

 "Siapa mereka?" 

"Agen rezim. Mereka benci Pram." 

"Kenapa?" 

"Kau tahu, orang ini dibawa ke Pulau Buru." 

"Tapi, aku tidak tahu kalau dia musuh pemerintah." 

"Ayahku bilang, dia penulis hebat. Dia peduli derita kaum tertindas. Dia pemimpin Lekra juga. Makanya dia masuk bui." 

"Aku baru tahu. Aku hanya suka baca novel dan tak tahu apa-apa soal politik." 

"Ya. Aku tahu anak IKIP nanti jadi guru jadi tak perlu berpolitik." 

"Ya. Aku cuma mau jadi guru di Balikpapan nanti." 

"Balikpapan?"

 "Iya. Balikpapan. Kenapa?"  

"Tidak, jauh sekali kesana." 

"Disana rumahku." 

"Dalam kabut biru?" 

Mereka berdua lalu tertawa. Mereka teringat lagu Kembali ke Jakarta. Mereka lalu menyanyikannya bersama. 

"Disana rumahku, dalam kabut biru. Disana kasihku berdiri menunggu. Di batas waktu yang tertentu..." 

Setelah bait ketiga mereka tertawa dan lagu mendadak usai. Lagu yang ditulis Tonny Koeswoyo di masa suram pasca pembantaian massal 1965/1966 itu menghibur sore mereka berdua.

 "Aku kadang mainkan lagu itu dengan piano." 

"Aku sesekali memainkannya dengan gitar fender-ku." 

"Kau suka lagu ini?" 

"Ya, aku suka. Tonny Koeswoyo tulis lagu ini waktu dia pergi ke Jawa Timur kalau tidak salah. Dia merasa harus kembali ke Jakarta pada suatu hari. Apapun kondisinya. Dan, dia memang kembali ke Jakarta. Lagu ini adalah buktinya." 

"Kau tahu tentang Tonny?" 

"Ya. Ayahku, walaupun tua dia suka musik ngak ngik nguk macam mereka. Ayah dulu sembunyikan piringan hitamnya Koes Bersaudara waktu mereka dilarang. Ayah kenalkan aku pada Koes Plus." 

"Aku kira kau suka musik rock saja." 

"Aku suka rock. Itu musik pemberontakan. Anak muda biasanya suka. Aku salah satu dari mereka. Tapi, aku sering dengar lagu pop juga." 

"Kau tidak pernah kena razia rambut?" 

Pemuda kribo itu tertawa. 

"Mereka sudah bosan razia rambut kami. Mau dipotong tetap gondrong juga. Aneh Negara kok urusin rambut orang."

Giliran Bulan tertawa mendengar gaya pemuda kribo ini bicara. Bulan lalu menutup bukunya dan menuju sepedanya. Si pemuda kribo mengikutinya. Mereka terus mengobrol sambil jalan. Sepeda hanya bisa ditenteng saja oleh BUlan, karena pemuda kribo itu tak mau pergi. Mereka melintasi Karangmalang. Lalu ke selatan menembus jalan Colombo. Setelah menyeberang dan disapa kawan-kawan mereka yang melintas, mereka berjalan ke arah barat.

ANGGREK HITAM - PETRIK MATANASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang