Sendiri

87 8 0
                                    

Menutup tabir malam bukanlah tugas seorang lelaki renta sepertiku, yang terbungkuk-bungkuk mengerang sakit pinggang dimakan encok, mata lamur berkabut asap dengan tarian benang dan bintik hitam melayang ke seluruh sudut pandang, di mana setiap ayun langkah membutuhkan perjuangan merebut wilayah terjajah hanya dengan tangan kosong gemetar, dan dengan perut keroncongan pula.

Ah....musik keroncong mengingatkanku pada kamar bola dan Stella, dadanya yang padat ranum seperti bukit di kaki langit berselimut bunga liar dan rumput ilalang, menanti petualang letih menancapkan bendera untuk berladang, membangun huma berdinding papan yang berderak di musim panas, hanya untuk menampung rembesan air hujan di musim angin bahorok.

Hujan mungkin telah menghujam lembah di balik bukit, membentuk sungai-sungai kecil mencari celah di tanah tandus berbatu hitam, mencapai jurang yang menoreh bumi berkelok-kelok mengantar sungai ke laut lepas, terkadang berikut butiran emas yang luput dari loyang para penambang di hulu gunung, saat mereka mengayun beliung meratap nasib yang terjepit.

"Kamu pura-pura sakit, pak tua...." suara hantu Stella yang memandang penuh rasa kasihan dari pigura pudar berdebu di tembok kusam yang telah mengelupas kapurnya menyerupai mosaik lukisan impresionis abstrak avant-garde absurd surealis dadaisme kubisme.... Mungkin sayur kubis dalam panci di dapur telah berulat mengepulkan uap asam yang membuatku makin tak berselera ingin muntah.

"Aku sakit karenamu, Stella," desahku bersambung serentetan batuk bengek yang diniatkan mengiba, meskipun aku sadar sesadar-sadarnya jika Stella sedang menari pompom di surga sana atau di dasar neraka, yang tak dapat dipastikan mengingat baik dan buruk perempuan itu semasa hidupnya adalah keseimbangan ekuibrilium dalam setiap entropi yang menjadi.

Jeda panjang atau interval singkat, aku lupa.

Jam dinding yang selalu menunjukkan waktu yang sama karena pegasnya patah menanggung beban usia tak pernah lagi berdentang sejak lama, bahkan mungkin semenjak aku belum dilahirkan di atas becak yang melaju ke rumah bidan di desa tetangga, karena bidan desa kami konon melemparkan dirinya sendiri menguji gravitasi ke dalam jurang yang menoreh lembah menuju laut lepas dan tak menemukan jalan pulang.

Cahaya merah di ufuk timur, bukan pertanda matahari akan memulai tugasnya memasak apapun yang ada dalam butir-butir klorofil hijau daun yang basah diseka hujan, tapi kobaran api melahap pohon-pohon tak bernama yang disebabkan kecerobohan salah satu bini penggali emas saat menanak bubur encer dan bara unggunnya menggelinding menerjang semak-semak ranting kering.

"Tidurlah, pak tua...," bujuk arwah Stella yang tak tahan melihat butiran airmata menetes dari mata katarakku yang memandang hampa pada wajahnya di balik kaca buram berlapis debu, dalam bingkai kayu yang bolong digigit rayap, di dinding kusam yang kapurnya lekang sana-sini.

Angin menyusup dari sela-sela yang mungkin dilalui, mengantar dingin membuat pinggangku semakin terkunci, tak tertahankan sehingga mengernyitkan dahi yang telah berkerut retak bagai lingkar pohon penanda musim, sehelaan nafas dan selenguh keluhan terlepas dari mulut yang ompong tak bergigi.

"Baiklah, sayang," kujawab seperti biasanya, dengan penuh perasaan cinta yang menggulung ombak samudera, meniupkan layar perahu nelayan untuk pulang menuju pulau, berpedoman suar menara tegak menyepi, berlabuh di sisi teluk yang menyala oleh fosfor ubur-ubur.

Menutup tabir malam bukanlah tugas seorang lelaki renta sepertiku, tapi tetap kulakukan sama seperti malam-malam kemarin, dan juga malam-malam esok, sampai Stella datang menjemputku.

Bandung, 18 November 2015


Pada Sebuah Bangku Taman (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang