Bandung, 19 Desember 2015
Ibuku tersayang.
Aku tahu mengapa barusan Ibu menelponku. Aku tak selalu menggenggam gawai, sehingga ada tiga 'panggilan tak terjawab' dari nomor Ibu. Makanya aku menelpon balik, meskipun baru kemarin, sebelum kemarin dan kemarinnya lagi aku baru menelpon dan bicara lama dengan Ibu.
Ibu merindukanku, si anak hilang yang tak ingin pulang.
Aku juga rindu, Bu. Namun aku belum ingin kembali. Jalanku masih panjang, tapi waktuku tak banyak tersisa. Mungkin aku takkan pernah mencapai ujung tujuan pencarian, tapi aku tak ingin berhenti. Aku berpantang menyerah. Itu juga ajaran Ibu dan Ayah.
Aku tak pernah melupakan kalian, dan tidak hanya berupa doa lima waktu, tapi setiap detik jagaku.
Ibuku tersayang.
Siapakah yang dulu dengan telaten mengajariku memahami puisi? Siapa yang telah bersusah payah membiayaiku belajar musik? Ibu.
Ibu begitu bangga karena anakmu ini enam tahun di sekolah dasar tak terkalahkan sebagai jawara berdeklamasi di seluruh provinsi. Larut malam saat Ibu gelisah, Ibu memintaku mengetuk tuts piano mengiringi Ibu bernyanyi.
Aku tak pernah tahu apakah ibu bangga, ketika dalam usia remaja aku menyandang predikat guru seni. Aku tak berani bertanya.
Maka dari itu, aku tak pernah mengerti mengapa ibu melarangku menjadi seniman.
Mungkin juga karena Ibu khawatir akan nasib seniman. Dari puluhan sanak famili yang menggeluti seni, tak sampai sebelah jari tangan menorehkan tinta emas di blantika dunia. Tapi Bu, meski tak semua yang berkilau adalah emas, nasib manusia ditentukan oleh usaha, doa dan ridha-Nya. Bukan oleh kita manusia.
Ibuku tersayang.
Ibu tak tahu betapa kecewanya aku saat ibu melarangku menikmati tawaran beasiswa seni ke negeri orang. Dan karena itu aku melakukan pemberontakan dalam diam. Maafkan aku untuk itu.
Ibu justru mengasingkanku jauh, dengan amanat aku harus melupakan hasratku: musik. Meski teramat berat kurasa, sampai kini aku tak ingkar. Aku lupakan komposisi-komposisi sederhana yang terus menggema, meski di alam maya.
Aku menjadi sarjana seperti yang ibu suka.
Ibuku tersayang.
Selama hampir setengah abad, aku selalu berusaha membahagiakan banyak manusia yang ternyata tak pernah terpuaskan. Memang ternyata kita tak bisa menyenangkan hati semua orang. Dan Ibu menangis melihatku hancur luluh lantak, ditinggalkan orang yang (seharusnya) menyayangiku dan menyayangi kalian berdua.
Aku bisa segera tegar setelah ditinggal. Yang justru lebih menghancurkanku karena ibu berduka untukku.
Mungkin Ibu sampai kini bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Sederhana: aku menolak kaya dengan cara korupsi dan memilih mundur dengan terhormat. Itu juga berkat ajaran kalian.
Orang yang seharusnya menjadi belahan jiwaku tak terima prinsip yang kugenggam erat itu, lalu memilih jalannya sendiri. Karena itu, janganlah Ibu bersedih lagi. Jalan takdir tak pernah kusesali.
Ibuku tersayang.
Aku tahu ibu sangat mengharapkanku meneruskan tradisi terhormat keluarga kita yang sudah berlangsung turun temurun. Bukan sepenuhnya aku menolak, mungkin kelak.
Waktuku tinggal sedikit. Ijinkan aku menikmati sisa usia ini menjelajah sastra. Meski hanya satu puisiku terselip dalam antologi indie, namun aku pinta Ibu berbangga: Anakku seorang penyair.
Dan nanti aku pasti pulang, karena akupun sangat merindukan Ibu. Namun aku akan pulang sebagai orang merdeka, bukan budak dunia.
Aku mohon Ibu, berhentilah mengkhawatirkanku. Anakmu ini mengharap doa restu.
Titip salam untuk adik-adik dan keponakan semua. Peluk cium sembah sujud bersimbah air mata dariku untuk kalian berdua.
Anakmu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pada Sebuah Bangku Taman (Telah Terbit)
Historia Corta(Kumpulan Cerpen tentang Cinta Pastinya) Apakah cinta? Di mana adanya? Kisah-kisah dalam kumpulan cerpen ini tak bermaksud menjawab pertanyaan yang hadir sejak manusia mulai berpikir, hanya memberi cakrawala bebas tafsir. Semoga menghibur. Foto cove...