"Kamu tahu nggak, Sri. Menurut penelitian, untuk jatuh cinta pada pandang pertama cuma butuh waktu 0,13 detik?" tanya Entis sambil menggenggam tangan Sri. Mereka sedang duduk di bangku belakang tempat kerja, hanya berdua. Rekan-rekan yang lain mungkin sedang mengaso di dalam sambil menonton TV.
"Walah, gaya kamu. Paling juga kamu tahu dari Darsi," jawab Sri. Ada nada cemburu dalam suaranya. Entis tahu suasana hati Sri cukup dari suaranya saja.
Darsi resepsionis di situ.
"Bukan, pak Trisno yang mengatakannya padaku." Pak Trisno adalah pelanggan tetap Entis.
"Terus kamu jatuh cinta perlu berapa lama?" tanya Sri menguji Entis tentang kebenaran teorinya.
"Mana aku tahu? Waktu aku jatuh cinta sama kamu aku 'kan nggak ngitung waktunya."
"Terus kamu jatuh cinta sama aku kapan?" tanya Sri manja. Kini ia menggunakan kedua tangannya membalas genggaman Entis.
"Waktu pertama kamu datang ke sini dua bulan lalu. Kamu mengaduh karena kakimu menabrak kursi dapur. Teriakan 'aduh'mu yang membuatku jatuh cinta."
Jawaban Entis membuat cuping hidung Sri kembang kempis pertanda senang. Entis tak melihatnya.
Sebenarnya Entis malu mengakui bahwa sebelum suara itu ia sudah jatuh cinta terhadap aroma yang disebar Sri saat masuk ke dapur. Aroma bunga mawar dari sabun mandi biasa, sebenarnya. Tapi entah mengapa saat itu Entis merasakan sesuatu yang istimewa akan terjadi, dan terbukti dengan merdunya 'aduh' yang mengikuti semerbak mawar tersebut.
Dari jauh terdengar suara sepeda motor melintas. Sesuai hukum Doppler, saat mendekat menjadi lebih keras dan lebih tinggi. Kemudian menurun dan mengecil pertanda menjauh.
"Mas Sronto terlambat pergi kerja," kata Entis yang hapal semua penghuni gang tempat tinggal sekaligus 'kantor' mereka.
"Kamu kapan jatuh cintanya padaku?" Entis balik bertanya.
Kalau saja Entis melihat wajah Sri, maka ia akan menangkap gerak bibir yang tersipu malu.
"Waktu kamu nolong aku karena jatuh akibat nabrak kursi waktu itu. Rasanya aman dan nyaman waktu kamu memegangku, membantu aku berdiri."
Sri malu mengakui bahwa ia ke dapur karena mencium harum teh yang diseduh Entis. Aroma teh bercampur bau keringat lelaki, mengingatkannya pada almarhum bapak yang dulu suka membuatkannya teh. Apakah ia jatuh cinta pada Entis karena merindukan figur ayah?
Terdengar langkah kaki.
"Darsi," serentak mereka berdua berkata. Kemudian tertawa bersama.
"Hei, kalian pacaran di sini rupanya," terdengar suara Darsi yang disusul gelaknya.
"Entis, pak Trisno sudah datang, kamar 4," sambungnya dan kemudian meninggalkan mereka kembali ke posnya di ruang depan.
"Aku masuk dulu, ya." Kata Entis menggenggam tangan Sri dengan erat sebelum melepaskannya.
"Aku mau ke warung mbak Siti, sabun mandi dan odol gigiku habis."
Entis berdiri dan masuk ke dalam. Ia menghitung langkahnya. Lima langkah ke pintu, belok kanan. Tujuh belas langkah ke pintu kamar 4.
Sri meluruskan tongkatnya, kemudian melangkah ke samping ruko yang menjadi tempat tinggal sekaligus tempat kerjanya. Tangannya meraba menyusuri tembok bertuliskan PANTI PIJAT TUNANETRA MANDIRI yang akan menuntunnya ke depan ruko, di mana kios mbak Siti mangkal.
Sri—juga Entis dan rekan-rekan kerja lainnya kecuali Darsi—tak pernah bisa membaca tulisan itu.
Bandung, 8 April 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
Pada Sebuah Bangku Taman (Telah Terbit)
Povídky(Kumpulan Cerpen tentang Cinta Pastinya) Apakah cinta? Di mana adanya? Kisah-kisah dalam kumpulan cerpen ini tak bermaksud menjawab pertanyaan yang hadir sejak manusia mulai berpikir, hanya memberi cakrawala bebas tafsir. Semoga menghibur. Foto cove...