Kata-kata Terakhir

104 6 0
                                    

Perawat berhenti di depan pintu ruang periksa, menyentuh siku Pras dan memiringkan kepalanya ke pintu. Ketika Pras mengangguk, ia balas mengangguk dan kemudian menutup pintu di belakangnya setelah Pras duduk di seberang meja dokter. Dr. Wied bergeming dari hasil tes yang sedang dibacanya, meski ia menyodorkan tangan dengan ramah sebelum membalik lembaran. Pena di tangannya yang lain, dijepit dengan dua jari seperti menjepit sebatang rokok, diputar-putar serampangan di udara sementara ia terus saja membaca.

Pras duduk santai bersandar di kursi sementara menunggu konfirmasi dari apa yang sudah diketahuinya.

Akhirnya, Dr. Wied mengangguk pada dirinya sendiri dan mendesah. Bahunya melorot sebelum dia mendongak, meraih buku catatan dan mulai menulis. Ketika selesai, ia merobek lepas lembaran yang ditulisnya, memiringkan kepalanya ke Pras dan memberi isyarat agar Pras menerima lembaran tersebut, membuat pria paruh baya itu mencondongkan tubuhnya. Di kertas tersebut, tertulis dengan tulisan yang cukup bagus untuk seorang dokter:

Jauh lebih buruk, seperti yang telah kamu ketahui, Pras. Kamu hanya punya pendengaran di telinga kiri, terbatas pada pita frekuensi tertentu, volume rendah.

Pras mengangguk dan melewati sisa catatan di bawahnya.

"Turunnya tajam sekali, ya?"

Dr. Wied mengangguk sebelum mengangkat bahu sedikit. Pras berpikir bahwa artinya 'ya dan tidak'. Ia hampir saja menyebut 'pembohong', tapi kemudian membatalkannya—telinga kanannya telah lama tak berfungsi, hanya saja selama ini tak terlalu dirasakannya.

Sungguh aneh, ketika hal-hal hilang dari hidupmu saat kau pikir kau tak membutuhkannya, pikirnya. Ia kembali menyandarkan punggungnya

"Jadi, yang berfungsi tinggal berapa persen lagi?"

Wied tampak terkejut, membuka mulutnya untuk menjawab namun kembali mengatupkannya tanpa bersuara. Ia mengangkat tangannya dan melebarkan jari-jarinya.

"Lima persen?" tanya Pras.

Wied mengangguk.

"Berapa lama?"

Wied tampak tidak pasti hingga akhirnya Pras memutuskan untuk membuat kesimpulan.

"Bisa kapan saja. Tidak ada cara pasti untuk tahu."

Wied mengangguk pelan.

Mendadak Pras berdiri dan mengulurkan tangannya.

"Baiklah, itu saja yang perlu aku tahu. Ngomong-ngomong, berminat membeli gitar akustik bekas?"

Senyuman miring, bibir bergerak tak terdengar dan gelengan kepala dari Wied.

"Aku akan memberitahumu kalau aku mengalami sesuatu yang membutuhkan bantuanmu. Tapi kurasa ini kunjunganku yang terakhir."

Wied mengangguk dan tetap berdiri menatap punggung Pras menghilang di balik pintu.

***

Pras duduk di kursi ruang makan, menyesap secangkir kopi. Di ruang keluarga, cucu-cucunya menonton kartun Ipin dan Upin. Ia bisa melihat mereka tertawa karena mereka mendengarkan suara bocah-bocah kampung negeri serumpun.

Pras menyaksikan Kak Ros memarahi kedua adik kembarnya itu, telunjuknya bergoyang-goyang sementara kedua anak gundul di depannya hanya menunduk pasrah. Bolak-balik close up antara wajah kak Ros yang kesal dengan muka lucu Ipin dan Upin, sampai akhirnya bibir Upin menjawab 'Betol betol betol' dalam keheningan tanpa kata-kata yang terdengar olehnya.

Tiwi, masuk ke dapur dan duduk di sampingnya. Rambut cokelat gelap sebahu istrinya yang minggu depan telah dinikahinya selama dua puluh lima tahun itu diikat sembarangan dengan karet hijau yang lebar. Anak rambut yang ikal bandel mengintip dari persembunyian di balik telinganya.

Ia menulis di buku catatan dan Pras membaca kata yang terbentuk:

Bagaimana?

Menjadikebiasaan Pras memiringkan kepalanya, tersenyum dan menjawab satu pertanyaan dengan dua kalimat yang tak berhubungan

"Wied mengatakan kalau aku bisa kehilangan sisanya kapan saja. Aku punya 5% sisa pendengaran di kuping kiri. Membuatku merasa punya kredit yang belum lunas."

Pras kembali menatap layar televisi di ruang keluarga yang sedang menayangkan kartun. Ipin dan Upin berlari sambil berteriak tanpa terdengar olehnya: "Kak Ros! Kak Ros!"

Ketika ia menoleh ke samping, ia terkejut melihat Tiwi sedang menangis. Ia meraih tangan istrinya dan berkedip nakal beberapa kali, sekaligus menyegarkan matanya yang lelah.

"Sayang. Tak mengapa. Aku baik-baik saja."

Tiwi menggeleng-geleng dan terus menghamburkan airmata saat Pras meremas tangannya dengan lembut. Ia menatap keramik lantai bermotif marmer hitam, sebelum balas menatap wajah suaminya. kemudian Tiwi menulis dengan huruf besar-besar:

Aku rindu bercakap-cakap denganmu... Aku sangat rindu berbincang denganmu.

Pras memegang kedua tangan Tiwi dan meremasnya dengan lembut.

Dengan nada suara paling mesra yang pernah diucapkannya, ia berkata:

"Aku masih mendengarkanmu, Sayang. Aku akan selalu mendengarkanmu."

Pras memandang wajah Tiwi. Mata perempuan yang dicintai seumur hidupnya itu berkilau oleh air mata yang tertahan di sudut pelupuk.

Ia memberikan senyumnya yang sangat langka dan berkata dengan suara yang tak lagi dapat didengarnya:

"Lagi pula, sayang, yang terpenting bukan mendengarkan. Tapi memahami."


Banda Aceh, 5 April 2017

Pada Sebuah Bangku Taman (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang