Februari Akan Segera Berakhir

88 10 0
                                    

Februari akan segera berakhir. Kamu akan dapat merayakan ulang tahunmu, tahun ini. Sekali dalam empat tahun.

"Aku ingin merayakan ulang tahunku hanya denganmu," bisikmu. Bibirmu menempel di telingaku. Hawa hembusan nafasmu yang hangat masih kuingat jelas, dan selalu membuatku menggigil. Seperti sekarang ini.

"Kemana?" suaraku bergetar. Masih sore. Matahari masih menyisakan semburat jingga di batas gunung, tapi aku menggigil.

"Kemanapun kamu membawaku." Masih berbisik. Bahkan lidahmu menjulur menjilat telingaku. Basah. Aku menggigil.

Februari akan segera berakhir. Dan kita menjajah jalan-jalan kota dengan motor butut yang kupunya. Melalui lorong-lorong naik turun di pinggir selokan pengendali banjir, yang seumur hidup tak pernah kamu lalui. Sepanjang perjalanan kamu tertawa liar. Orang-orangpun memandang kita terheran-heran, namun mahfum bahwa memang begitulah adat sepasang remaja yang sedang dimandam asmara. Tanganmu memeluk pinggangku erat. Dagumu memberati pundakku, namun aku biarkan.

"Aku ingin makan di tempat langgananmu," sekali ini kamu berteriak, karena berbisik di tengah riuhnya suara mesin kendaraan yang bersliweran akan percuma.

"Kamu tak pantas makan di situ. Hari ini hari ulang tahunmu!" Aku juga berteriak. Kita sama berteriak.

"Aku tak peduli! Aku ingin merasakan makanan yang biasa kamu makan!" teriakmu lagi. Itu pengalaman pertama dan terakhirmu makan di warung kaki lima, bukan?

Februari akan segera berakhir. Langit malam itu bertaburan cahaya bintang. Aku tunjukkan padamu Cassiopea. Kamu percaya saja. Saat itu aku hanya mengarang di mana posisinya. Sementara tanganku menunjuk-nunjuk ke atas sana, kamu sandarkan kepalamu di bahuku. Berat, tapi tak mengapa.

"Bagaimana kalau kita menyewa villa?" kamu berbisik.

"Jangan aneh-aneh!" kataku.

"Aku tak ingin pulang, aku ingin menghabiskan malam denganmu," rengekmu manja.

"Kalau aku napsu, gimana?" godaku.

"Memangnya kamu bisa napsu?" kikikmu. Tanganmu menggenggam jemariku. Aku menggigil.

Februari akan segera berakhir. Tubuh mulusmu menebarkan aroma parfum mahal yang harganya mungkin melebihi jumlah angka weselpos yang dikirimkan orangtuaku selama setahun. Hanya selembar selimut yang menutupi sebagian putih kulitmu.

"Berbaringlah di sisiku," ajakmu, menepuk kasur empuk di sebelahmu. Masih berpakaian lengkap, kuturuti maumu. Dan tanpa tahu siapa yang memulai—sangat mungkin aku, bibir kita saling bertemu. Tanganmu meraba-raba, menemukan kejantananku.

"Ternyata kamu bisa napsu juga," bisikmu mendesah. Matamu menatap ke dalam mataku. Aku tersadar dan menarik diri.

"Maafkan aku," ujarku.

"Mengapa?" nada suaramu menuntut.

"Aku tak bisa," ujarku mengatur nafas yang masih memburu.

"Kamu tak mau memberiku kado ulang tahun? Aku masih perawan—"

"Kamu tahu kenapa," aku berbalik menatap wajahmu.

"Karena kamu setia pada tunanganmu," senyummu pahit.

"Aku ingin kelak punya pasangan hidup sepertimu, kalau ada."

Aku memilih berbaring di sofa, meski kamu berjanji takkan menggangguku jika aku tidur seranjang denganmu. Dan setelah terdengar dengkur halusmu, aku memadamkan bara nafsu yang menyala dengan siramanshower air dingin di kamar mandi. Sore itu aku mengantarmu ke terminal bis.

"Aku pasti kembali," katamu, dan mendaratkan ciuman di pipi. Menggigil aku.

Februari akan segera berakhir. Pada istriku telah kuceritakan kisah kita. Ia bukan tunanganku yang dulu, yang ternyata tak setia. Dua bulan setelah peristiwa malam itu, aku mendapat kabar ia akan segera menikah karena telah hamil dua bulan. Anehnya, aku tak merasakan apa-apa saat mendapat telegram darinya, mengabarkan putusnya pertunangan kami. Perjodohan yang dipaksakan.

Februari akan segera berakhir. Seharusnya kamu merayakan ulang tahunmu tahun ini, yang dirayakan setiap empat tahun sekali. Kalau saja bis antar kota yang kamu tumpangi setelah perpisahan kita di terminal bis dua puluh empat tahun yang lalu tak mengalami kecelakaan dan terjun ke dalam jurang, maka aku takkan berdiri di sini, meletakkan setangkai mawar merah di pusaramu, yang kulakukan setiap empat tahun sekali, Feb....

Bandung, 27 Februari 2016

Pada Sebuah Bangku Taman (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang