Jatinegara adalah lokasi pengungsi kehidupan yang penghuninya lupa bergerak, kota kecil dalam metropolitan yang tumpat sesak. Ada lalu lintas dan kebisingan, kesibukan yang konstan, namun sedikit orang yang terlibat, sedikit pekerjaan yang tersedia, jalanan macet dan jembatan penyeberangan yang karatan.
Layanan taksi berbagi yang memperkenalkan kami. Perjalanan dari stasiun di pusat kota yang seharusnya hitungan menit ditempuh dalam dua putaran penuh jarum pendek saking macet kota yang oleh seorang teman dinamakan Nekropolis. Begitu berantakan, lalu lalang membingungkan.
Kesepian, kami membuat janji. Jadi kami bertemu sekali-dua kali dalam seminggu sepulang kerja. Di stasiun. Di Pasar Induk. Patung cincin batu akik Rawa Bening. Atau warung kaki lima. Di mana saja. Membicarakan bagaimana penjajah membuat langit-langit tinggi di gedung batu, atap lengkung pelindung peron, jendela kaca ikonik di atas pintu depan berpanel besar tampak indah menyala di malam hari, bagaimana gedung-gedung kotak di Mesteer menempel pada lansekap bagai hotel-hotel bergaya Eropa.
Kami membicarakan tentang makan siang, mesin otomatis penjual minuman yang menggantikan penjaja asongan, toko kue Belanda dengan kincir angin di puncaknya. Dia berbicara tentang betapa bingungnya dia dengan segala hal yang terjadi di sekitarnya. Memberitahu saya tentang semua orang yang dia kenal, semua pesta yang pernah dia kunjungi, semua tanggal yang dia jalani. Enam derajat pemisahan, six degree of separation, yang juga dimiliki setiap orang. Dan saya mendengarkan.
Dan saya katakan kepadanya apa yang pernah, sedang dan mungkin akan saya lakukan
"Jadi bagaimana kencanmu?" tanyanya.
Dia mengatur kencanku dengan seorang temannya, namun terlihat sedikit lega saat saya memberitahu bahwa saya tak berminat untuk kencan kedua dengan Lila.
"Pengamen itu menggesek biolanya seperti gergaji mesin. Aku rasa ia sedang ribut dengan pacarnya."
"Tapi lagu yang dimainkannya adalah lagu rohani," dia menjelaskan.
Saya tak tahu itu.
Dia menyodorkan botol minumannya pada saya.
Saya menyukai Jeanette karena dia menyukai minuman yang sama seperti saya. Sesuatu yang herbal, sedikit alkohol---yang menjadi penyebab semua penyakit, namun bagi kami berdua mempunyai efek analgesik. Tidak membuat kecanduan, namun juga tak bisa sepenuhnya ditinggalkan.
***
Minum membantu kami berkomunikasi. Terkadang dia memaksa saya menemaninya ke bar. Saat kantung kemihnya penuh ia juga minta ditemani ke kamar mandi. Tidak ada etika yang membatasi persahabatan saya dan Jeanette.
Band yang duduk mengelilingi meja di belakang kami mulai memainkan sebuah lagu, sehingga sulit untuk mendengar suara lain, Saya membungkuk rendah ke atas meja, seolah-olah dengan mencelupkan kepala saya di bawah kebisingan dan kabut asap rokok yang mencengkeram wajahku. usaha saya untuk berkonsentrasi pada suaranya dan seolah-olah saya tahu kapan harus mengangguk untuk menanggapi sesuatu yang baru saja dia katakan. Akhirnya saya menunjuk ke telinga saya dan menggelengkan kepala. dia mengerti.
Suara biola menoreh goresan panjang dan pedih pada dawainya, dan sayatan saksofon mengantar khayalku tentang rumah, tentang seorang wanita, tentang perang, tentang riak sungai. Penutup malam yang sempurna.
***
Musik berhenti karena anggota band beristirahat. Kabut asap semakin menebal, hidung tersiksa oleh bau apak aroma puluhan jenis campuran tembakau. Meski akhirnya bisa saling mendengarkan, tapi tak ada yang ingin dibincangkan lagi.
Gawainya berbunyi dan kali ini dia meninggalkan meja menuju pintu keluar. Saya mulai tidak sabar.
Lima belas menit kemudian dia kembali ke meja sambil menyeka hidungnya, mengusap keringat dari lehernya, menghapus hingga kering dari keningnya.
Seorang sahabat lama bunuh diri, katanya.
Ditemukan oleh tetangganya di apartemen pada hari Senin. Dua hari lagi, dia akan berulang tahun yang ke-28. Tapi usianya belum mencapai 28 tahun, dan takkan pernah menjadi 28 tahun. Belum genap 28 tahun dan mati tak meninggalkan pesan.
Jeanette tak banyak bicara. Memangnya apa yang harus dikatakan?
Dan saya semakin tak sabar saja. Saya mengajaknya pulang, namun dia mengatakan dia membutuhkan seorang teman bicara malam ini.
Dia mereguk minumannya perlahan, sangat perlahan, dan mulai bercerita tentang sepupunya yang bunuh diri secara tiba-tiba.
'Tidak ada pertanda apa-apa',katanya. Namun setelah dipikir-pikir lebih dalam, mereka semua menyadari bahwa sepupunya telah lama menunjukkan tanda-tanda skizofrenia. Dan setelah menyadari penyebabnya, keluarganya semakin merasa bersalah. Karena bagi kebanyakan orang, kematian adalah hal terakhir yang ada dalam pikiran, bahkan bukan pilihan. Kita tak pernah mau menerima kenyataan bahwa maut bisa datang kapan saja, agar kita tak perlu berpikir bahwa mungkin besok kita tiada.
Setelah ia selesai bicara, kami membisu cukup lama.
Setelah rasa seabad membeku berlalu, ia menatap mata saya lekat sambil berbisik parau:
"Bolehkah aku menginap di tempatmu malam ini?"
Bandung, 19 Juli 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Pada Sebuah Bangku Taman (Telah Terbit)
Nouvelles(Kumpulan Cerpen tentang Cinta Pastinya) Apakah cinta? Di mana adanya? Kisah-kisah dalam kumpulan cerpen ini tak bermaksud menjawab pertanyaan yang hadir sejak manusia mulai berpikir, hanya memberi cakrawala bebas tafsir. Semoga menghibur. Foto cove...