Bidadari Kematian

266 20 1
                                    

Keyi mematikan rokok menthol yang baru dihisapnya sekali ke dalam asbak, lalu mereguk sisa almond milk cappuccino sampai habis. Ia merasa badannya kaku-kaku.

Berpura-pura berduka memang melelahkan, pikirnya.

Edo belum juga muncul. Mungkin macet di jalan.

Café tempat rendezvous mereka sepi pengunjung, hanya ia seorang. Ini untuk kedua kalinya Keyi dan Edo membuat janji temu di sini, dan mungkin yang terakhir. Tentu saja tak terhitung pertemuan mereka di tempat-tempat lain, termasuk hotel-hotel dan villa-villa sewaan.

Pelayan yang tadi menerima pesanannya, mengantarkan croissant. Aneh juga. Hanya ada satu pelayan. Ia ingat ada tiga orang pramusaji pada kunjungan pertamanya enam bulan yang lalu, dua perempuan dan satu laki-laki. Dan pelayan yang ini jelas orang baru.

Café yang baru saja dibuka, dengan dekorasi campur-aduk antara roman deco italia dan neuveu art perancis, mungkin. Ia juga tak begitu mengerti. Sederetan poster yang menampilkan kota-kota, film klasik dan lukisan repro yang membuatnya berpikiran begitu. Mungkin tak lama lagi café ini tutup karena bangkrut.

Bagus.

Kulit kepalanya mulai berkeringat, terasa gatal di bawah rambut palsunya. Tapi Keyi tak ingin menggaruk untuk mengenyahkan gatal yang menyiksa. Atau tak bisa. Kenapa tanganku terasa berat?

Dengan susah payah ia mengangkat croissant ke bibirnya yang terasa kering. Digigitnya sepotong. Tak kuat tangannya menahan, sisanya jatuh terguling.

Aku terlalu lelah.

Sudah dua bulan berlalu sejak pemakaman Iwan. Para sahabat yang berdatangan menunjukkan simpati dan belasungkawa tak henti-henti mengalir.

Pelayan tadi datang lagi.

"Masih mau memesan lagi, Madame?" tanyanya.

Hah! Sok perancis!

Keyi menggelengkan kepala perlahan.

Mengapa Edo belum datang juga?

Di luar dugaan, pelayan itu tiba-tiba duduk di kursi di depannya. Ia memang sengaja memilih meja dua kursi di pojok dalam yang menghadap ke pintu masuk, supaya bisa memandang ke luar melalui jendela kaca besar, namun orang-orang diluar takkan bisa melihatnya.

"Turut berdukacita, Madame...."

Jantung Keyi mencelat. Ia meneliti wajah pelayan yang duduk di seberangnya. Cantik, bahkan dengan bekas luka sepanjang tiga sentimeter di pipi bawah mata kiri yang menatapnya tenang. Ia yakin belum pernah bertemu dengan perempuan itu seumur hidupnya.

Siapa

"Namaku Laksmi. Iwan cinta pertamaku dan satu-satunya," ia berkata seakan-akan bisa membaca isi pikiran Keyi.

"Aku yakin Iwan tak pernah menceritakan tentangku padamu, Keyi," sambung Laksmi tanpa menunggu respon darinya.

Mendadak Keyi dicengkeram rasa ketakutan yang luar biasa.

"Kami berpisah setelah Iwan mengetahui bahwa aku seorang pembunuh bayaran."

Apakah telingaku tak salah dengar?

Keyi ingin bangkit dan pergi dari situ, tetapi otot-otot di tubuhnya menolak untuk digerakkan.

"Saxitoxin," ujar Laksmi. "Melumpuhkan, tapi tidak mematikan."

Keringat dingin membasahi sekujur tubuh Keyi.

Laksmi menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Ia mengambil kotak rokok Keyi yang tergeletak di meja, mencomotnya sebatang, lalu menyulutnya dengan pemantik berlapis krom dari sakunya sendiri. Perlahan-lahan asap menyelinap dari bibirnya yang tak berlipstik, menyebar naik ke plafon gypsum merah jambu.

Pada Sebuah Bangku Taman (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang