Dening

72 6 0
                                    

Cinta adalah hal universal yang bisa menimpa semua makhluk hidup. Hampir semua makhluk hidup, mungkin, karena aku belum pernah membaca adanya dokumentasi tentang cinta pada tumbuh-tumbuhan.

Baik itu di antara manusia atau hewan, cinta memang ada. Cinta dapat berbentuk cinta dari orang tua untuk anak-anak mereka, cinta anak-anak kepada orang tua mereka, cinta pemuda kepada seorang gadis, cinta antara suami dan istri, atau cinta seorang lelaki terhadap perempuan. Hakikat cinta yang akan membuatnya berbeda antara satu dengan lainnya, namun semua bertujuan menunjukkan perhatian, kasih sayang dan perasaan satu sama lain.

Karena itu wajar saja jika aku pernah jatuh cinta. Kukatakan 'pernah' karena terjadinya di masa lampau, sebuah cinta monyet yang tumbuh menjadi kisah kasih remaja yang layu sebelum berkembang.

Aku jenis cowok pemalu. Jika berbicara dengan gadis cantik keringat dingin akan mengucur deras membasahi punggung dan kata-kata yang keluar dari mulutku terucap tanpa artikulasi jelas serupa gumaman dukun membaca mantra. Seandainya tidak ada Dening, maka orang-orang akan mengira aku mengidap caligynephobia atau venustraphobia. Aneh juga, takut terhadap wanita cantik sampai mempunyai dua istilah latin.

Faktanya, aku mengagumi wanita cantik, terutama Dening.

Hanya dengan Dening aku dapat lancar berbicara tanpa mengucurkan keringat dingin. Dening suka memelukku dari belakang tanpa malu-malu. Itu karena kami tumbuh besar bersama sejak kecil. Dening tetangga sebelah rumah. Sepanjang ingatanku, hari-hariku tak pernah tanpa dirinya.

Kami bersekolah di sekolah yang sama sejak taman kanak-kanak. Pergi dan pulang bersama-sama, selalu berdua.

Saat SMP, Dening telah tumbuh menjadi gadis cantik yang setiap cowok ingin menjadi pacarnya. Kulitnya sewarna buah persik sehalus porselen cina. Tinggi badannya di atas rata-rata. Rambutnya lurus hitam panjang. Matanya bundar cemerlang. Suaranya sangat manis mampu meracuni pendengaran, mengirimkan getaran ke tulang sumsum belakang melumpuhkan seluruh badan.

Tapi dia tak pernah jauh dariku, membuatku menjadi salah satu cowok terpopuler di sekolah.

***

Saat kelas XI SMA, suatu malam kami mengerjakan PR matematika bersama di rumahnya. Orangtuanya sedang ke luar kota. Di rumah itu hanya ada mbok Sari, pembantunya. Abang Dening kuliah di kota lain.

Akhirnya PR selesai menjelang larut malam.

"Lira kirim salam," mendadak Dening berkata. Lira adalah primadona kelas XI jurusan IPS.

"Bohong," jawabku.

"Lho, dia serius!"

Aku menatap mata Dening tanpa berkedip. Ia balas menatap. Kami saling menatap.

Dan entah siapa yang memulai, tahu-tahu bibir kami sudah saling melumat. Bibirnya basah hangat, rasanya manis. Kami terus berciuman, hanya jeda sejenak untuk mengambil oksigen dari udara . Dan tangannya memeluk erat punggungku, dan tanganku memeluk erat tubuh rampingnya.

Pindah ke ranjang, ciuman berlanjut. Semakin panas, malah. Aku bagaikan terbang tinggi di awan, menyusuri lembah hijau berkabut mendaki menuju puncak gunung tertinggi—

Aku tersentak bangkit berdiri.

"Ada apa?" tanya Dening terengah-engah. Wajahnya merah kesumba, rambutnya kusut masai.

"Kita belum boleh melakukannya," bisikku. Napasku belum kembali setengahnya.

"Mengapa?" tuntutnya dengan tatapan kecewa.

Aku tak menjawab. Kukancingkan lagi baju dan kukencangkan ikat pinggangku. Kubereskan pekerjaan ke dalam tas dan bergegas pulang tanpa berpamitan lagi. Setiba di rumah, aku mandi untuk mendinginkan kepala.

Pada Sebuah Bangku Taman (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang