Naruto © Masashi Kishimoto
Dedicated : Azu_Hime…
Dentingan lonceng begitu nyaring, berdengung memenuhi ruang di dalam gendang telinga. Kesunyian, sesaat berubah gaduh dengan kemeriahan para siswa di waktu istirahat. Bel tadi sudah menunjukkan bahwa sekarang adalah waktu untuk men-charge cacing-cacing diperut mereka yang merengek meminta diisi. Tak ayal, pelayan kantin begitu kewalahan melayani mereka semua.
Disaat yang sama, gadis bersurai indigo yang terkenal dengan nama Hyuuga Hinata malah memilih untuk memposisikan dirinya di atap sekolah. Tempat yang sangatlah jarang diminati sebagian siswa untuk berkunjung karena rasa takut pada ketinggian. Selain itu, tangga yang berjejer ke atas membuat mereka merasa enggan berjalan. Tidak heran bukan, jika tepat itu cukup sepi? Tetapi, banyak yang tak tau dari mereka bahwa disana terdapat keindahan yang mampu membuat mata takjub. Anginnya pun lebih sejuk disaat menerpa tubuh.
Jika Nara Shikamaru berpendapat, mungkin ia akan berkata kalau…
“Atap sekolah merupakan tempat yang nyaman untuk tidur.”
Ah… Shikamaru harus menambah daftar tempat untuk tidurnya dengan mengkategorikan bahwa atap sekolah adalah tempat kedua setelah perpustakaan. Atau mungkin, menjadikan peringkat pertama saja!
Haha, itu memang sedikit konyol. Tapi mencari tempat paling nyaman untuk tertidur adalah terget pria nanas tersebut. Itu bukan hal yang asing. Bahkan sebuah kewajiban, meskipun merepotkan.
Kini Hinata hanya bisa menatapi wajah kantuk Shikamaru yang hampir terbenam dalam buaian sang angin. Paha gadis itu sudah menempel apik di kepala Shikamaru sebagai tumpuan, dijadikan bantal paling nyaman yang akan menghantarnya ke dalam mimpi indah. Tetapi, diperhatikan seperti itu membuat pria jenius tersebut terganggu. Akhirnya, Shikamaru pun memprotes pada Hinata.
“Jangan menatapiku seperti itu. Merepotkan.” Tangan kiri Shikamaru menekuk demi menghalau pandangan kekasihnya.
Hinata mendesis pelan, “Inikah caramu menyapaku, Shika?” dan akhirnya gadis itu memposekan wajah cemberut.
Tanpa memindahkan tangannya, Shikamaru sudah hafal betul kalau Hinata akan membodohinya dengan wajah seperti itu. Dalam batin, pria itu ingin tertawa karena tingkah sang kekasih yang begitu kekanak-kanakan. Namun, anak semata wayang Nara Shikaku tersebut bukan tipikal orang yang mampu menampilkan emosi di depan orang lain. Dia cuek, tetapi tidak sedingin Sasuke. Dia juga gengsi, namun tak selaras Kiba. Dia tidak pandai merayu ataupun bersikap hangat pada wanita. Tapi, Hinata tau bagaimana perasaan Shikamaru terhadap dirinya.
“Jadi, kamu ingin aku berbuat apa?”
Bukan tidak peka, Shikamaru mengerti apa yang diinginkan Hinata. Gadisnya ingin ia membujuk, setidaknya berusaha agar tidak terus-menerus merajuk layaknya seorang bocah. Ia sangat mengerti akan hal itu.
“Ya Tuhan, kamu sangat tidak peka!” rengek Hinata.
“Hm.”
“Hm? Kamu hanya menjawab dengan ‘hm’? Astaga, seharusnya dulu aku tolak saja untuk berpacaran denganmu!”
“Bukannya kamu yang memintaku untuk berpacaran?”
Dan akhirnya Hinata bungkam bersama dengan kedua pipinya yang merona, membuat Shikamaru menyeringai sekilas. Perlahan pria itu bergerak bangkit, memposisikan diri untuk duduk. Mungkin untuk saat ini saja, Shikamaru harus menunda waktu tidurnya demi Hinata.
Akhirnya pria itu kembali bersuara, “Jadi aku harus menjelaskan hal yang merepotkan itu, ya?” dan pertanyaan tersebut disambut sebuah anggukan dari Hinata, membuatnya berkali-kali membuang nafas.
“Tch, baiklah-baiklah! Jadi, selama seminggu ini aku pergi ke Suna untuk menjenguk Nenekku yang sedang dirawat.” Balas Shikamaru dengan malas.
“Lalu?”
“Yah… Aku terpaksa ikut. Dan kebetulan sekali aku juga sangat malas masuk sekolah.”
“Kenapa kamu tidak memberitahuku? Atau setidaknya menghubungiku saat kau disana!”
“Handphone-ku ketinggalan, Hinata.”
Hinata tidak ada pilihan selain mengerti dan mempercayai kata-kata Shikamaru. Lagipula, akan tidak bagus untuk hubungannya jika sikap gadis itu kekanak-kanakan semacam mencurigai Shikamaru atau mehujami pria itu dengan tuduhan yang tidak-tidak. Apalagi sampai mencemburui hal yang tidak masuk akal. Percaya adalah satu kata penghantar ketentraman untuk hatinya. Satu kata yang sukar dijalani, namun tetap berusaha dilakoni. Percaya adalah pondasi penguat hati selain cinta. Cinta tanpa rasa kepercayaan tidak akan bisa membangun mahligai yang kokoh. Meskipun hubungan mereka belum berpacu ke arah yang serius, tetapi menanamkan kedewasaan dalam hubungan merupakan sebuah awal merangkai kisah lebih baik sebagai hikmah dalam hidup. Semua kehidupan yang dijalani, akan menjadi pengalaman berharga di masa mendatang.
Maka, apa salahnya mempelajari kehidupan sejak dini?
“Aku mengerti.”
Senyum Shikamaru akhirnya mengukir, meskipun tak Hinata sadari. Tetapi rautnya kembali kelam tanpa alasan. Getar batin terasa mengilu untuk sejenak. Bibir Shikamaru juga tanpa sadar memanggil nama gadisnya secara spontan.
“Hinata,”
“Ya?”
Pria Nara itu menatap langit cerah, lalu kembali berkata, “Aku tau ini merepotkan, tapi… kurasa kita harus membahasnya.”
…
Bersambung…
A/n : ada yang masih kangen sama ff-ku? Ada yang nungguin? 😂😂 maaf, kmarin2 ada sedikit insiden buat publish ff 😅😅😅 tp sekarang aku kembali lagi 😄 silahkan review nya kawan 😍😍😍
See ya,
KAMU SEDANG MEMBACA
[ 12 ] Lovely Rain [ Completed ]
FanfictionNaruto © Masashi Kishimoto [ AU ] [ NaruHina Fanfict Story ] [ Dedicated : @PipitIswanti ] ... Hujan. Tak ada hal terindah ketika butiran permata itu turun dari langit luas, membawa sejuta kedamaian untuk hati yang lara. Bagai pelita dikala gelap. B...