Naruto © Masashi Kishimoto
Dedicated : Azu_Hime…
Lagi dan lagi.
Entah seberapa jauh sebuah jarak telah tercipta diantara mereka. Semua orang seolah menatapi mereka berdua dengan pertanyaan yang sama. ‘Ada apa dengan kalian?’. Namun, seorang pun tak berani mengungkap langsung. Lingkungannya bergeming, meski sesungguhnya sangat membingungkan.
Terkadang, kekhawatiran sering memihak pada gadis itu. Dia selalu diabaikan, seakan lenyap dari sisi pandang si pria. Pertanyaan, sapaan, bahkan hal terkecil seperti tersenyum pun tak menghasilkan respon sesuai harapan. Bahkan, si gadis terkadang berpikir keras. Memikirkan kesalahan apa yang membuat dia bertingkah semacam itu. Membuat jarak sejauh ini, padahal sebelumnya biasa-biasa saja.
Tidak.
Pria itu sudah begitu asing lebih dari seminggu. Mungkin sepuluh hari tepatnya. Ah, entahlah. Perasaan si gadis indigo itu cukup tersiksa meskipun sang pria hanya sekedar teman sekelas dan tetangga saja. Tetapi, walaupun hanya itu, kekosongan yang tak ia mengerti seolah menusuk pori-pori kulit dan memaksa masuk ke dalam hatinya. Perasaan miliknya tersayat, cukup menyakitkan.
Malam-malam sebelum jarak ini hadir, pria bermata sebiru lautan tersebut sering menemani gelapnya dengan beberapa obrolan riang. Amethyst itu kerap melihat pria berambut pirang tengah menyesap beberapa minuman kaleng dan berdiri di seberang sana.
Paginya, sapaan mengalun kala mereka melangkahkan kaki keluar pagar. Bahkan, kadang-kadang gadis itu mampir ke rumah tetangganya untuk sekedar bertemu dengan pihak keluarga, memberi beberapa makanan atau mungkin menyapa saja.
Namun, semuanya telah usai.
Tadi malam, Hinata, si gadis yang menjadi sorotan ini sengaja berkunjung ke kediaman tetangganya, keluarga Uzumaki. Semua berangsur seperti biasa, namun, ketika Hinata menanyakan Naruto, sang Ibu malah menjawab…
“Beri Naruto sedikit waktu untuk menenangkan perasaannya.”
Dan sekali lagi, pikiran Hinata semakin bingung.
Juga dihari ini, ketika Hinata hendak menepuk bahu Naruto, pria itu secara refleks menepis kasar tangannya. Gadis itu cukup terkejut, dengan degupan jantung yang meronta-ronta. Rasanya sakit, sakit sekali hingga membuat air mata Hinata lolos setelah sekian lama ia tahan.
“Kenapa kamu setega itu, Naruto-kun? A-apa salahku?!” dan pekikan itu membuat koridor sekolah menggema.
Pria yang diteriaki Hinata masih teguh membelakanginya. Beberapa kali kedua retetan jemari Naruto mengepal. Hatinya juga merasa sakit. Sebenarnya, Naruto bahkan merasa bersalah akan kelakuannya yang sudah sangat kelewatan. Tapi, ini tidaklah seberapa. Naruto lebih sakit hati. Drama yang sering Ibunya lihat di dalam film-film roman picisan, ia kira hanya berada disana saja. Nyatanya, semua itu Naruto alami sendiri. Hidup di dalam sebuah skenario dan pria itu berperan sebagai aktor penganjur. Ah…, bahkan lebih pantas disebut pihak ketiga.
“Maaf.” setelah itu, Naruto pun pergi meninggalkan Hinata.
…
…
Kejanggalan yang ia rasakan jauh-jauh hari, kini menampakkan bukti. Hinata menangis, dan sekali lagi telinga miliknya sangat jengah mendengar sebutan nama orang luar. Nama itu memang tidak asing, tetapi sekali pun dia belum pernah bertegur sapa. Lalu, gadisnya malah berdialog dengan racauan yang jelas-jelas dirinya telah terluka.
Ya.
Motto-nya adalah menghindari hal-hal yang merepotkan. Jujur saja, dari sekian hal yang sangat merepotkan, ini adalah kasus yang dua puluh kali lipat merepotkan. Meredam kekalutan yang dialami gadisnya, juga emosi yang sedikit bergejolak panas dalam batinnya pula. Namun, persepsi pria nanas itu semakin menunjuk ke arah negatif. Kecurigaan; suatu hal yang mesti dijauhi.
Sial.
“Sudahlah, Hinata. Kamu tidak usah menangis begitu.” ujar Shikamaru, kekasih Hinata. Memang, meminta Hinata untuk berhenti menangis dengan sikap gengsinya tidak akan membuahkan hasil. Hinata adalah tipikal wanita manja, meskipun tidak terlalu. Apalagi, ia ingin melihat setidaknya sisi baru Shikamaru yang belum diketahui. Mungkin satu atau dua hal saja.
Namun, Shikamaru tetaplah Shikamaru. Biarpun harus menangis sampai mengeluarkan darah sekali pun, pria itu akan tetap begitu. Tetapi, sedikit pun gadis itu tidak menginginkan sikap hangat Shikamaru yang bisa mencengangkannya untuk saat ini. Perasaan Hinata sangat miris dan terlalu lelah untuk memikirkan hal lain.
Isak tangis yang memilukan, tak henti kedua tangan Hinata mengusap kasar buliran air mata yang tak kunjung berhenti keluar. Dia terus berkata, “Aku tidak mengerti, kenapa Naruto bisa sejahat itu? Apa salahku?! Aku benci diperlakukan begini!” dan hal lainnya sampai tangisnya kian menjadi.
“Astaga…,” kepala Shikamaru tiba-tiba saja terasa pening, “Apa kamu mau ice cream? Aku akan membelikannya jika kamu mau—”
“Kamu ini, apa tidak melihat kalau pacarmu sedang sedih? Kamu pikir…, aku ini anak kecil?!”
“Tch, merepotkan sekali.” Shikamaru menggaruk tengkuknya. Entah dengan cara apa ia harus menghibur Hinata. Sejak tadi, bibir pria itu mengoceh tanpa henti. Memberi saran dan nasihat pada gadis rapuh dihadapannya. Dan biasanya, Hinata tidak akan berlarut-larut dalam lubang kesedihan. Gadis itu akan menyikapinya dengan dewasa. Tapi sayangnya tidak untuk saat ini.
‘Sial, gadis ini memang sangat merepotkan!’
Beberapa saat setelah Shikamaru mengumpati Hinata dalam batinnya, gadis itu pun akhirnya bisa menghentikan tangisan. Ia pun kembali berkata, “Nee, Shikamaru. Apa tawaran ice cream-mu masih berlaku?” kemudian tersenyum tanpa dosa.
Dan untuk pertama kalinya, pria berambut runcing itu merasa kesal sekaligus ingin menjitak kepala Hinata. Dia mengerti maksud pertanyaan kekasih merepotkannya itu. Hinata ingin dibelikan ice cream, ‘kan? Bukankah tadi gadis itu terlihat begitu marah ketika ditawari ice cream?
Ah, sudahlah…
“Merepotkan.”
…
Bersambung…
A/n : Penambahan media seperti musik ternyata dihapuskan oleh Wattpad 😢 gomenasai Azu_Hime gak bisa pake musik lagi… ini adalah chapter 7 dari sekian lama gak up… happy reading minna 😂😂😂😂
KAMU SEDANG MEMBACA
[ 12 ] Lovely Rain [ Completed ]
Fiksi PenggemarNaruto © Masashi Kishimoto [ AU ] [ NaruHina Fanfict Story ] [ Dedicated : @PipitIswanti ] ... Hujan. Tak ada hal terindah ketika butiran permata itu turun dari langit luas, membawa sejuta kedamaian untuk hati yang lara. Bagai pelita dikala gelap. B...