Naruto © Masashi Kishimoto
Dedicated : Azu_Hime…
Terik yang terpancar dari sinar sang surya nampak menciptakan kegerahan alami bagi sebagian orang. Siang itu, tepatnya pukul satu, dewan Guru memberi sebuah pemberitahuan kepada seluruh siswa yang membuat mereka bersorak kegirangan. Sekolah dibubarkan, dengan alasan ada rapat dadakan yang wajib dihadiri oleh seluruh staf. Kegiatan belajar-mengajar yang biasa mereka jalani dari pukul delapan pagi hingga jam tiga atau empat petang, memang bukan waktu yang terbilang singkat. Apalagi jika ditambah dengan kegiatan ekstra kurikuler, bisa menyita waktu hingga menjelang malam.
Maka, bagaimana tidak mereka begitu terburu-buru berhamburan keluar sekolah? Lihat, gerbang sekolah pun sangat padat untuk dilalui.
Tetapi, seorang pria Nara memilih menyender di koridor seakan sedang menunggu. Ia mengharapkan kemunculan seseorang dari lawanan arah dirinya berdiri. Dan dalam sekejap, sosok gadis keluar dari kelasnya.
“Shika?” ujar gadis itu selepas mengernyit bingung.
Shikamaru, panggilan akrabnya, ia sedikit menarik sebuah senyum kala gadis itu menyapa. Ya, anggap saja sebuah sapaan.
“Yo,” balasnya.
Hinata setengah berlari demi mendekati kekasihnya, “Uwah…, romantis sekali kamu menungguku seperti ini. Jarang-jarang, lho!” mata amethyst itu berbinar-binar.
Dan pasti, komentar Shikamaru tidak akan lepas dari kata, “Dasar merepotkan.” dengan wajah malas sekaligus garukan tak gatal pada tengkuknya seolah menyembunyikan sisi kepribadian asli pria tersebut. Tawa tercipta dalam sekejap, Hinata dan Shikamaru pun mulai beranjak pergi.
Hari ini mereka berdua berencana pulang bersama, setidaknya sampai dua persimpangan. Ya, rumah Hinata dan Shikamaru memang berlawanan, ditambah berbeda kompleks pula. Apalagi, esok sampai seterusnya Shikamaru tidak bisa menemani Hinata lagi. Ia harus pindah dari kota kelahirannya dan merantau ke kota seberang. Entah Kirigakure atau Sunagakure, pria itu belum dapat memastikan. Namun, sang Ibu menuntutnya untuk melanjutkan sekolah di Kota Suna, sekaligus menemani neneknya yang sudah sangat ringkih. Sementara kedua orang tuanya akan beralih ke Kota Kiri.
Jika bukan karena ancaman kebangkrutan perusahaan sang Ayah, mungkin Shikamaru bisa mendapat toleransi untuk pindah seusai lulus. Juga, IQ miliknya sangat kompeten untuk membantu kesulitan yang menghadang penurunan perusahaan.
Jadi, mau tidak mau Shikamaru tetap harus mengorbankan masa remaja miliknya untuk menjunjung pendidikan dan mengelola perusahaan. Dan setelah pendidikan yang ia tempuh selesai, Shikamaru akan direkrut menjadi pimpinan tanpa tahap-tahap apapun. Masa depan yang cukup cemerlang. Tetapi sebelum itu, Shikamaru harus menuntaskan masalah perusahaan terlebih dahulu dan mengharumkan nama baik keluarga Nara entah bagaimana pun caranya.
Tidak terasa, percakapan yang mereka ciptakan berhasil menempuh tujuan terakhir. Dua persimpangan telah Hinata dan Shikamaru lalui. Dengan berat hati, mereka harus berpisah disini.
“Jangan lupa, jam 7 malam.”
“Ya, ya…, aku tidak akan lupa. Otak cerdasku bisa mengingat banyak hal.” Shikamaru berseru bangga dan dibalas decihan sinis dari kekasihnya.
“Ya sudah, aku pulang dulu.” pamit Hinata.
“Hm, pulanglah.”
Hinata melambaikan tangan kanannya, lalu berbalik dan melangkahkan kaki. Shikamaru memandanginya cukup lama. Ia masih ingin melihat punggung kecil itu menjauh. Dalam pandangan yang terus tertuju pada Hinata, Shikamaru menarik sebuah kesimpulan. Kekhawatiran yang sempat merajalela dalam benaknya perlahan surut. Dirinya percaya, Hinata akan baik-baik saja setelah Shikamaru pergi. Dan beberapa fakta satu persatu terungkap. Ayolah, Shikamaru tidaklah bodoh. Semuanya terpampang jelas.
Bahkan sekarang, ia juga tau bahwa sejak tadi telah dibuntuti seseorang. Entah sengaja atau tidak, tetapi orang itu cukup cekatan untuk bersembunyi. Hanya Shikamaru yang menyadari keberadaan orang itu.
“Keluarlah, kamu tidak bisa bersembunyi dariku.” dengan nada enteng, ia berseru. Tetapi orang tersebut masih bersikeras untuk diam meski sudah ketahuan.
“Uzumaki Naruto, keluarlah.” perintahnya sekali lagi.
Tiba-tiba saja jantung si pemilik orang yang diserukan namanya oleh Shikamaru itu berdegup abnormal. Bagaimana bisa Shikamaru tau nama lengkapnya? Astaga, Naruto memang tidak tau kalau Hinata kerap membicarakannya dengan putra keluarga Nara tersebut. Mau bagaimana lagi, pria berambut pirang cerah itu harus menampakan diri. Dia adalah seorang pria, apapun yang terjadi Naruto akan hadapi. Akhirnya Naruto menyerah dan mulai keluar dari tempat persembunyiannya, berjalan mendekat ke arah pria yang menyender santai pada tiang listrik.
“Ada apa?” ucap Naruto dingin.
Shikamaru tersenyum remeh, “Sepertinya kita perlu bicara.”
…
…
Apakah kalian ingat, taman kompleks yang pernah dikunjungi oleh Hinata saat hujan deras waktu itu? Tepat ketika untuk pertama kalinya gadis Hyuuga tersebut dikagetkan oleh sosok Naruto yang belum ia kenal.
Ya. Saat ini, Hinata sedang termenung seorang diri disana, padahal langit sudah memberi tanda-tanda akan menguyur bumi dengan air hujan. Sebenarnya, gadis itu masih belum menerima kenyataan atas kepergian kekasihnya. Maksudnya, selama ini yang kerap menemani hari-harinya adalah Shikamaru, jika ia belum rela itu adalah hal yang wajar. Tetapi disisi lain, Hinata juga mengerti.
Meskipun ia adalah kekasih Shikamaru, Hinata tidak memiliki hak melarang pacarnya untuk tetap tinggal. Adakala sebuah kebersamaan harus dipisahkan oleh jarak, namun bukan berarti dengan jarak tersebut bisa membunuh cinta mereka. Ini adalah ujian.
Tapi, kegalauan yang Hinata lebih pikirkan adalah Naruto. Sampai detik ini anak sematawayang Kushina dan Minato masih teguh menjauhi gadis manis bermarga Hyuuga dengan alasan yang belum ia ketahui. Padahal, angannya sangat berharap bahwa selepas Shikamaru pergi, Naruto yang akan mengisi kekosongan Hinata. Bukan bermaksud berkhianat, namun setidaknya Hinata dan Naruto bisa berkawan akrab. Ah, harapan yang mustahil.
Gadis itu berdiri, kemudian menengadah demi melihat langit yang mendung. Dirinya tersenyum teramat getir. Seiring tangisnya yang mulai terisak, hujan datang menerpa sekujur tubuh Hinata. Hinata terus menangis dan menangis, walau biasanya sang hujan mampu mengguyur beban batinnya. Hingga sesaat kemudian sebuah jaket hitam yang berpadu dengan warna jingga meneduhi kepala gadis itu.
“Nee, apa yang kamu lakukan? Jangan bermain hujan nanti sakit, dattebayo!”
Dalam sekejap tangisnya mereda. Hinata tau suara itu, apalagi dengan imbuhan aneh yang kerap diikrakannya. Ini suara Naruto.
Gadis itu menggerakkan lehernya, mencoba memastikan bahwa benar yang sedang memayunginya adalah Naruto. Dan tepat, “N-naruto-kun?” kedua pipi Hinata pun samar-samar merona.
“Iya, ini aku, dattebayo! Ayo kita pulang, hujannya lebat sekali.”
Entah magnet apa, tiba-tiba saja Hinata ikut tergerak kala Naruto mulai berlari. Mereka berdua pun pergi meninggalkan taman.
…
Bersambung…
A/n : Dan terjadi lagi… saat ff ini dapet ide, ff When yang malah buntu 😂😂 Astoge, kelar hidup ane yang jadi author ga bener 😂😂😂 #plaks
Maafkan daku yang terlalu sibuk ini 😅😅 #so' sibuk banget seeh!!
Hehe, jadi gimana nih lanjutan yang ini? Pasti semakin tidak menyenangkan #hueeee
![](https://img.wattpad.com/cover/80862457-288-k26100.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[ 12 ] Lovely Rain [ Completed ]
FanfictionNaruto © Masashi Kishimoto [ AU ] [ NaruHina Fanfict Story ] [ Dedicated : @PipitIswanti ] ... Hujan. Tak ada hal terindah ketika butiran permata itu turun dari langit luas, membawa sejuta kedamaian untuk hati yang lara. Bagai pelita dikala gelap. B...