Lovely Rain [ 9 ]

824 91 14
                                    

Naruto © Masashi Kishimoto
Dedicated : Azu_Hime

Kukejapkan kelopak mata ketika seberkas cahaya lolos dari tirai lebar yang menutupi jendela disana. Mungkin lebih tepatnya disebut pintu sorong yang dominan dengan kaca bening, berhubungan langsung ke arah balkon kamarku. Suasana pagi menjelang siang cukup membuatku takjub, apalagi hembusan angin yang menerpa dari ganggang itu.

Namun, diriku terlalu lemah untuk memonopoli raga ini. Sejak peristiwa kemarin, suhu tubuhku terasa di atas normal meskipun kedinginan. Panas sekali, sampai-sampai Ibu mengompres dahiku dengan air es. Ya, aku demam. Demam karena hujan-hujanan dengan Hinata.

Awalnya, aku tidak mengira akan bertemu Hinata sepulang dari kost-an teman. Taman itu, saat aku melihat dia untuk pertama kali. Jika pada waktu lalu aku melihat Hinata tersenyum sumringah dengan tarian kanak-kanak di bawah cucuran hujan, kali ini aku melihat dirinya menangis. Tangisan yang membuatku teriris, dan sekali lagi bersimpati karena dia kehujanan.

Meskipun aku tau kalau Hinata begitu menyukai hujan, tetapi tubuhku tergerak diluar kendali. Aku ingin melindunginya dan tidak ingin Hinata sampai jatuh sakit.

Ya, aku memang salah telah menjauhi dia selama ini. Aku menjerumuskan Hinata dalam lubang kebencian yang aku bangun dengan dasar rasa sakit. Padahal, gadis itu tidak tau apa-apa. Hinata tidak tau bagaimana aku begitu menyukainya. Ya, aku memang egois. Memaksa orang yang begitu berharga bagiku untuk bisa mengerti isi hati ini. Amarahku seolah membabi buta, aku telah khilaf dan membuat kesalahan.

Dan akhirnya, akhirnya aku berani mendekati Hinata lagi. Berawal dari sebuah pertolongan kecil yang sama sekali tak gadis itu minta. Pertolongan atas rasa cinta dan penyesalan karena ulahku. Hari itu, kuputuskan untuk memulai semuanya dari awal. Aku tidak ingin membuang kesempatan yang telah diberikan si pria Nara tersebut.

Nara Shikamaru memberi ruang agar aku bisa merebut Hinata darinya. Pada dasarnya, aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang ia katakan.

Buat Hinata jatuh cinta, dan aku akan menyerah jika dia memilihmu.”

Kalimat yang sama sekali tidak pantas dikatakan oleh seorang kekasih.

Walaupun aku tak memiliki pengalaman dalam cinta, setidaknya aku mengerti setelah kucerna lebih dalam. Hal paling bodoh membiarkan pasangan sendiri direbut orang lain. Tetapi disisi lain, aku juga merasa senang. Aku senang pria bernama Shikamaru itu memberikan izin untuk bebas berkelana bersama Hinata. Dan aku pun paham ini begitu jahat, aku bahkan pantas disebut munafik.

Hati Hinata mungkin bisa berubah seumpama aku berusaha menarik ia agar memandangku. Bersaing dengan jalur seakan mempertaruhkan seorang gadis menjadi hadiahnya. Satu cara yang entah bagaimana bisa diriku begitu saja menyetujui usulan konyol Shikamaru. Namun, ambisi kepada Hinata mengalahkan harga diri yang kumiliki sekarang. Aku lebih pantas dijuluki seorang penikung; perusak hubungan orang.

“Ouch…” memikirkan semua itu, membuat kepalaku kembali berdenyut. Astaga…

Seulas senyuman terukir kala dirinya mendapat izin agar bisa menjenguk kawan sebayanya yang tengah berbaring lemah. Mutiara yang menjadi daya tarik gadis itu, menyiratkan binaran bahagia. Setelah sekian lama tak dapat bertegur sapa, kini akses positif ia dapatkan. Meskipun pada dasarnya gadis itu tidak mengetahui apakah dirinya dimaafkan atau tidak.

Senja itu hampir tertutup gelapnya malam. Gadis dengan mahkota selaras langit malam tersebut masih setia menunggu kelopak mata disana terbuka lebar, menampilkan si shappire layaknya samudera yang teduh. Rahang tegas pria itu begitu damai sekaligus tak berdaya. Memikat daya tarik istimewa dengan tiga garis tanda lahir yang mengukir dikedua sisi pipinya.

Gadis itu baru menyadari jika tetangganya memiliki pesona yang berbeda. Dia tampan, sedikit pemalu, dan kadang bicara tergagap. Juga jangan lupakan jika pria tersebut memiliki sisi kelucuan tersendiri.

Tanpa sadar, gadis bermarga Hyuuga itu terkekeh pelan. Memikirkan lelaki dihadapannya memang kerap menjadi hiburan tersendiri, dan cukup menyenangkan.

Disela rasa lucunya, tiba-tiba handphone miliknya bergetar singkat. Sebuah pesan online masuk dari seseorang.

From : Nara Shika
To : Hinata S.
Subject : —

Maaf baru menghubungimu. Aku sedikit sibuk karena harus pindah lagi dari Kiri. Ayah dan Ibu menyuruh pergi ke Suna. Bukankah itu sangat merepotkan?

Raut Hinata berubah. Ia sedikit membersut karena kata-kata membosankan dari mulut kekasihnya yang kembali muncul. Ternyata, imbuhan itu masih berlaku meski di dalam sebuah pesan. Kini jemari lentik Hinata menyentuh lembut keyboard di layar touchscreen ponselnya, memilih banyak huruf dan menjadikan sebuah kalimat berisi protesan tidak penting.

To : Nara Shika
From : Hinata S.
Subject : “Berhenti mengatakan MEREPOTKAN!”

Ayolah, Shika… Aku bosan sekali dengan imbuhan kamu itu. Aku kira, kata itu tidak akan tertulis dalam sebuah pesan. Dasar baka-Shikamaru! Dan, aku punya kabar baik. Aku dan Naruto sudah baikan!! Sekarang saja, aku sedang menjenguk Naruto di rumahnya. Dia sakit gara-gara kemarin kehujanan. Itu juga karena aku…

Pesannya pun sukses terkirim.

Hinata kembali mengantongi ponselnya. Dia yakin, kekasihnya tidak akan kilat membalas pesan tersebut. Shikamaru tidak terlalu memprioritaskan dering ponselnya sebagai urutan paling utama. Hinata menebak-nebak, mungkin saat ini pria tersebut sudah tertidur lelap. Dasar tukang tidur.

Tanpa gadis itu sadari, pria yang ia tunggu-tunggu untuk siaga akhirnya terbangun. Naruto menyapa Hinata dengan sedikit terkejut, kemudian mengundang tawa singkat yang lolos dari bibir mungil gadis tersebut.

“Akhirnya kamu bangun, Naruto-kun. Bagaimana keadaanmu?” ia tak menggubris keterkejutan anak sematawayang Uzumaki itu. Malah, Hinata sangat antusias ketika mengetahui Naruto sudah siuman. Kedua pipi gadis itu sedikit merona, menambah kesan imut yang berhasil mengguncang debaran dari dalam dada Naruto.

Hal tersebut membuat Naruto salah tingkah, “U-uhm…, aku, aku merasa baikan, kok. K-kamu tidak perlu merasa khawatir, —ttebayo!” kemudian menggaruk pipi kanannya.

“Ah, syukurlah! Aku senang mendengarnya. Kamu tau, aku sangat khawatir, lho…, aku merasa bersalah karena gara-gara aku, kamu jadi sakit begini.” sesal Hinata.

Naruto mengibas-kibas kedua tangannya, “I-ini bukan salahmu, Hinata-san! Tidak perlu merasa seperti itu.”

Gadis itu pun tersenyum lega, “Tapi, aku lebih merasa bersyukur kamu mau menyapaku kembali. Sekarang aku merasa senang, karena kita bisa akrab lagi.”

Desiran asing menggelitik uluh hati Naruto. Melihat wajah Hinata tersenyum manis dan penuh rasa lega, sekali lagi membuatnya jatuh cinta. Samar-samar, pipinya kembali memerah, namun Hinata tidak mencurigai perubahan tersebut.

Detik ini, pria itu mulai memantapkan hati. Sepenuh rasa yang ia miliki, Naruto akan tunjukkan pada gadis yang bisa membolak-balik perasaannya itu. Berusaha agar hatinya disambut dengan rasa cinta terbalas. Meskipun butuh perjalanan panjang agar Hinata bisa menyadari itu semua.

Bersambung…

[ 12 ] Lovely Rain [ Completed ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang