Lovely Rain [ 11 ]

749 85 13
                                    

Naruto © Masashi Kishimoto
Dedicated : Azu_Hime

Malu.

Setiap mereka bertemu, mereka kerap saling membuang muka. Wajah mereka berdua juga ikut mendukung atas rasa memalukan tersebut. Meskipun hanya sebuah kecelakan, tetap saja bukan hal mudah untuk dihapuskan dalam ingatan.

Kejadian itu memang tidak berangsur lama. Hanya beberapa hitungan detik. Tetapi, itu adalah ciuman. Tidak bisa disebutkan ‘hanya’ atau menyepelekannya. Naruto bahkan cukup shock dan masih belum mempercayai jika hal itu akhirnya terjadi.

Memang tidak bisa dipungkiri, disatu sisi pria itu cukup senang. Seseorang yang berhasil menyentuh lembut bibir miliknya ialah gadis yang sangat Naruto nantikan. Dengan kata lain, Hinata adalah yang pertama mengambil ciuman perdana Naruto. First kiss. Pula, disisi lain, Naruto juga menyesalinya. Naruto selalu berharap jika ia bisa melakukan first kiss-nya saat dia dan Hinata sudah menjalin sebuah hubungan. Naruto sadari, pertempurannya dengan Shikamaru belum memperlihatkan hasil akhir. Bahkan yang lebih parahnya, perasaan bersalah juga menghantui Naruto.

Bagaimana pun, Hinata masihlah berstatus kekasih Shikamaru, ‘kan?

Senja itu mulai menutup langit yang semula biru, mengarsir sebagian besar atmosfer dengan warna jingga menyala. Jingga sama dengan oranye, warna yang mendominasi sebuah ruang tidur milik seseorang diseberang sana. Warna cerah yang hangat, tetapi memiliki sisi keraguan. Dia bisa berubah kaku dalam beberapa hal. Makanya, jingga adalah Naruto. Sebuah warna yang begitu dicintai pemuda tersebut. Begitulah persepsi Hinata.

Iris kelabunya masih betah memperhatikan langit sore disana. Kedua pipi gadis itu bahkan merona samar. Sesekali, matanya bergerak lincah ke sebuah kamar disana, mengharapkan sosok senja yang menjelema sebagai lelaki pirang berdiri di balkon.

Hinata, gadis itu mendesah gelisah. Harapan yang ia miliki terlampau jauh sampai-sampai membuat kecewa. Entah bagaimana menafsirkannya, Hinata hanya ingin melihat lelaki itu sebentar, memastikan bahwa semuanya baik-baik saja.

Dan untuk kesekian kalinya, Hinata mendesah kembali. Ia menyembunyikan wajahnya diantara silangan lengan yang sejak tadi bersandar di atas meja belajar. Rambut gelap itu pun ikut tergerak akibat perubahan posisi Hinata.

“Dia…” gadis itu tidak berminat melanjutkan perkataannya barusan. Memilih diam kembali dan mendalami sebuah pemikiran tabu. Perasaan Hinata cukup dikatakan kacau balau akhir-akhir ini.

Beberapa saat berlalu, getar ponsel membangkitkan harapan yang sempat sirna. Di layar smartphone, terukir sebuah kata ‘Shikamaru is calling…’.

“Wah…, wah…, setelah dua bulan berlalu, kamu baru menghubungiku sekarang.” Gerutunya.

Tak membuang banyak waktu, jempol Hinata bergerak menekan warna hijau di ponselnya, seraya menjawab panggilan berupa video call tersebut. Gadis itu memposisikan diri, menampilkan wajah masam ketika pemuda bermata sipit muncul dilayar ponsel.

Nee, baru ingat padaku? Kemana saja kamu selama ini, baka-Shika?” kemudian membuang muka seolah marah.

Shikamaru yang mendapat suguhan manja dari Hinata hanya bisa menggaruk tengkuk, “Aku kira kamu bisa berubah tidak merepotkan lagi setelah aku tinggal dua bulan. Ternyata sama saja.

Sejujurnya, Shikamaru tidak masalah dengan sikap merajuk yang ditunjukkan oleh sang kekasih. Itu wajar. Bagaimana pun, lelaki berambut runcing tersebut mengakui bahwa dirinyalah yang membuat Hinata seperti sekarang. Namun, dunia baru Shikamaru memaksa ia untuk tetap fokus dan melupakan perasaan rindu pada Hinata. Waktu yang ia punya hanya untuk belajar dan bekerja. Selain itu, Shikamaru pun memiliki beberapa alasan tersendiri. Apalagi, rutinitas tidurnya juga semakin menipis. Ya, semua itu sangat-sangat merepotkan.

Baka, semua hal selalu saja merepotkan bagimu. Dasar Nara.”

Hai, hai.” Lelaki Nara itu tersenyum tipis, lalu menunjukkan beberapa dokumen dan tumpukan tugas pada Hinata, “Kamu sudah melihatnya, ‘kan? Sekarang, aku bukan hanya sekolah tapi mengerjakan berkas-berkas merepotkan ini. Jadi, kamu tidak perlu khawatir padaku. Dan aku juga baik-baik saja disini.

“Ya, baiklah. Aku juga baik, ko.” Hinata pun akhirnya tersenyum.

Ya, aku tau.” Shikamaru memicingkan matanya, lalu menguap perlahan.

“Mengantuk?” tanya Hinata, lalu dibalas anggukan singkat dari lawan bincangnya. Membuat Hinata menggeleng-gelengkan kepala. Kebiasaan itu ternyata masih melekat kuat dalam diri Shikamaru meskipun disibukkan dengan berbagai macam tanggung jawab.

Shikamaru menatap malas, “Kamu harus tau, aku belum tidur semalaman. Untung saja hari ini libur.”

“Iya, iya. Kamu ini cerewet sekali, ya.” menjeda sebentar, “Bagaimana kota Suna?” topik baru pun Hinata awali.

Hm?

“Bagaimana kota Suna? Apakah bagus? Bagaimana perempuan disana?”

Ya…, begitulah.”

Entah mengapa, tiba-tiba saja Shikamaru merasa kalau dirinya diintrogasi. Tidak. Mata bulan Hinata sama sekali tidak menampilkan sisi emosi yang mengarah pada rasa curiga. Shikamaru tau tatapan itu, tatapan keingintahuan yang sangat antusias. Hinata penasaran akan kehidupan yang kekasihnya lalui dengan hirupan udara baru. Kota berbeda meski dinaungi oleh langit yang sama.

“Apakah kamu punya fans?”

Dan perkiraan Shikamaru sangat tepat, Hinata akan menanyakan hal semacam itu.

Ada. Dia seorang mahasiswa. Lumayan cantik, bahkan lebih agresif darimu. Dan dia juga selalu mengirim surat untukku melalui adiknya.” Lelaki itu memperlihatkan lembaran surat cinta pada Hinata.

Amethyst Hinata berbinar, “Sugoi! Baru dua bulan saja kamu sudah memiliki fans.”

Ya, bukankah kamu juga sama? Bagaimana hubunganmu dengan Naruto, apa ada perkembangan?” rentetan pertanyaan Shikamaru membuat degupan jantung Hinata meningkat.

“A-ah…, et-to…, a-aku baik-baik saja, ko. Ya…, sangat baik.”

Hm, merepotkan. Wajahmu merah, Hinata.”

“T-tidak. K-kamu ini apa-apaan, sih!”

Kegugupan yang ditunjukkan oleh Hinata, mengundang seringaian tipis terpatri di wajah Shikamaru, “Hal apa yang kamu lakukan dengan bocah pirang itu sampai-sampai membuatmu merah begitu?

Baka! A-aku tidak melakukan apa-apa. Kamu mencurigaiku?”

Tidak.”

“Y-ya sudah. Ja-jangan menggodaku lagi.”

Setelah itu, candaan dan beberapa obrolan ringan tercipta antara mereka. Hinata menceritakan hal-hal yang ia lalui selama dua bulan ini pada Shikamaru. Lelaki itu hanya menjadi pendengar yang baik, walau merespon curahat hati kekasihnya dengan menguap bosan.

Ya, sudah aku tidur dulu.

Wakatta. Oyasumi, Shika.”

Bersambung…

A/n : mungkin 2-3 chapter ini bakal ending... #lapkeringat.
Terimakasih pada teman2 semua udah baca karya2ku selama ini. Mungkin ini bisa jadi perpisahan kita 😂😂😂 aku berencana untuk pensiun setelah fanfic dan request fanfic selesai. Aku juga minta maaf yg sebesar2nya buat semuanya kalau2 ada salah. Makasih bgtt ya, selama ini udah mendukung karya2ku. Ah, pokonya banyak hal yang ingin aku sampaikan pada semuanya. Intinya terimakasih banyak dan mohon maaf bgtt 🙏🙏🙏

[ 12 ] Lovely Rain [ Completed ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang