Lovely Rain [ 13 ]

847 78 26
                                    

Naruto © Masashi Kishimoto
Dedicated : Azu_Hime

“Kamu yakin?”

“Hm,” ia mengangguk. “Aku perlu kesana untuk sebuah urusan yang merepotkan. Jadi, Kaede-baba, tolong buat sebuah alasan yang masuk akal agar Tou-san tidak marah.”

Nenek yang disebut Kaede tersebut melengos. Cucu sematawayangnya memang sangat menyebalkan, seperti biasa. Jika cucunya memiliki keinginan, maka hal tersebut harus dipenuhi saat itu juga. Dan keinginannya, kali ini melibatkan beberapa masalah baru yang mungkin terjadi. Apalagi, ia juga meninggalkan banyak tanggung jawab, beberapa hal di antaranya termasuk yang paling penting.

Nenek Kaede bergumam keras. Beliau merasa bimbang sekaligus kasihan. Selama sang cucu tinggal disini, waktu yang dimilikinya hanya terus belajar dan bekerja. Cucunya tidak terlalu banyak bergaul, atau sekedar bermain seperti kebanyakan anak muda zaman sekarang. Ditambah, lingkungan yang dihidupi sang Nenek masih kental dengan ajaran leluhur juga terbilang tradisional. Lihat saja, penampilan Nenek Kaede masih mengenakan sebuah kimono putih polos dengan terusan berwarna merah. Ikat rambut yang ia gunakan masih berbahan kain putih tanpa motif. Di dalam rumahnya yang cukup luas, Nenek Kaede menyimpan beberapa senjata dan koleksi kertas mantra pengusir iblis. Dan itu hanyalah sebagian kecil.

“Tapi—“

“Hanya satu hari, aku akan segera kembali.”

“Ah, ya sudah.” akhirnya wanita tua tersebut pasrah, “Kalau begitu, aku akan memberikan beberapa jimat agar urusanmu bisa selesai dengan cepat. Dan juga, dunia luar itu sangatlah berbahaya.”

“Astaga, tidak perlu, Kaede-baba. Aku tidak akan dimakan siluman. Lagipula, semua urusanku disana sudah sesuai harapan. Jangan memberiku hal-hal yang merepotkan.”

Meski mendapat penolakan keras, pada akhirnya Nenek Kaede tetap memaksa sang cucu menerima jimat aneh tersebut. Sang cucu yang tidak mampu berkata apa-apa, hanya bisa menurut dan pasrah.


“Hi-hinata-san, b-berhenti—“

“Ada apa lagi, huh?!” gadis itu terus berjalan, tangannya masih mengait pada lengan Naruto yang diseret paksa untuk mengikuti langkahnya. Sesaat kemudian, si pemilik mata amethyst tersebut berhenti. Seluruh anggota tubuh berbalik, tertuju pada si pria pirang berada. Netranya menyipit tajam, kemudian berkata, “Apa kamu peduli pada gadis itu? Kamu menyukainya?!”

“Bukan seperti itu—“

“Lalu kenapa?!!” deru nafas Hinata kian terlihat menyesak, mengekspos jelas kemarahan yang hampir menyelimuti pikirannya.

Ada apa? Mengapa Hinata semarah itu? Selama Naruto tau, Hinata jarang meninggikan suaranya kecuali merasa senang. Dan untuk pertama kalinya, kemarahan Hinata terwujud akibat ulah Naruto sendiri. Kemarahan ambigu, yang semakin terpikir semakin tidak masuk akal.

Apa karena seorang gadis yang menyatakan perasaannya pada Naruto, membuat Hinata seperti itu? Bukankah wajar-wajar saja? Bahkan Naruto juga belum menjawab pernyataan cinta pertamanya. Meskipun begitu, jauh di dalam hati Naruto, ia tidak berminat menerimanya. Pria itu sama sekali tidak memiliki perasaan yang sama terhadap Ayame. Ia hanya ingin terus berjuang, memperjuangkan segenap perasaannya demi sosok gadis yang sudah mencuri seluruh hatinya. Hanya Hinata. Cukup Hinata saja. Tapi mengapa Hinata tidak mengerti?

Naruto merasa ini sangat tidak adil. Hinata sudah cukup menyesakkan perasaannya —lagi, namun sedikit saja kepekaan tidak muncul pada gadis itu. Naruto ingin berteriak, bahwa ia mencintai Hinata. Naruto tidak ingin emosi Hinata semakin menjadi-jadi karena kesalahpahaman, yang jelas akan usai sebelum gadis itu muncul dan merusak semuanya. Ya, Hinata benar-benar tidak adil padanya.

Pria pirang tersebut sedikit menggertakkan giginya ketika Hinata menatapinya seolah jijik. Sungguh, kali ini saja biarkan Naruto mementingkan perasaannya sendiri. Dia sudah muak. Selama ini, yang menjadi acuan hanya Hinata dan Hinata. Dan selama itu pula, pemuda tersebut jarang memperdulikan rasa sakit dalam hatinya. Jadi, biarkan Naruto mengatakan semua yang ia pendam pada Hinata.

Jemari tangan Naruto mengepal kuat, “Kenapa kamu harus marah, Hinata? Bukankah wajar jika Ayame-san mengatakan perasaannya padaku? Apakah aku tidak berhak dicintai oleh orang lain, dan terus bersamamu tanpa kejelasan?! Jika kamu berpikir, kamu sendiri memiliki pacar. Tapi sejauh ini, aku tidak pernah melarang atau menyuruhmu meninggalkan Shikamaru. Kamu tidak berpikir, Hinata? Ini benar-benar tidak adil, —ttebayo! Kamu memarahiku tanpa melihat dirimu sendiri!”

Dan jelas, pengutaraan Naruto berhasil menampar hatinya hingga hancur berkeping-keping. Sakit, begitu menyakitkan. Sampai tak terasa cairan liquid bening lolos menelusuri pipi Hinata.

“Hi-hina—“

“A-aku, a-aku… aku tidak suka dengan ucapanmu!!” Hinata pun berlari menjauh, meninggalkan Naruto yang membeku disana.

Rasa sesal merambat dalam lubuk hati Naruto. Tak henti lidah dan bibirnya memaki dirinya sendiri.

Bersambung…

A/n : Tadinya aku mau buat ini adalah chapter terakhir. Tapi, ada beberapa referensi muncul ketika aku nonton banyak anime tiap hari #apaan
Oke cukup, ini sama sekali gak penting! Jadi, aku ingin nanya sama kalian, kira-kira endingnya ini harus gimana? Dan tetep ya, ini bakal happy ending :v ditunggu cuap-cuapnya…

Note :Timeline ( Comming Soon ) Request by Yuki-chan
Akun Wp : YukiHime08

[ 12 ] Lovely Rain [ Completed ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang