Naruto © Masashi Kishimoto
Dedicated : Azu_Hime…
…
“Kapan tugas ini dikumpulkan?”
Shappire Naruto begitu jeli menatap catatan tugas yang Hinata berikan. Tulisan gadis beriris amethyst itu, menafsirkan sebuah perintah yang mengharuskan mereka mencari sumber materi sendiri. Semacam mengisi soal-soal dengan cara menemukan jawabannya melalui riset dari berbagai media, kemudian hasilnya dipersentasikan. Tetapi bedanya, ini adalah sebuah riset sejarah yang syaratnya para murid mendapatkan informasi lengkap dari media buku.
Sebenarnya, taktik seperti itu sudah kuno di kalangan masyarakat zaman sekarang. Melesatnya perubahan membuat kehidupan manusia semakin praktis. Contoh kecil, jaringan internet sudah dapat di akses bebas sampai ke pelosok-pelosok belahan dunia. Kegagahan masa kini memang mengundang banyak kemajuan.
Namun demikian, keakuratan masih tetap dibatasi. Situs internet yang beredar terkadang bukanlah berasal dari para pemuka terpercaya. Keberadaan sisi miring dari majunya teknologi yang meracuni pikiran orang memang bukan keadaan yang bisa dielakkan lagi. Untuk itulah, jembatan ilmu yang masih mengisi predikat pertama tetaplah buku.
Kembali pada pertanyaan yang Naruto lontarkan, Hinata mulai memikirkan jawabannya.
“Hm…, setauku, sih, minggu-minggu sekarang. Tepatnya hari Rabu.” Hinata mengambil beberapa camilan yang disuguhkan padanya beberapa saat yang lalu.
Setelah skandal yang memisahkan keakraban mereka, gadis itu mulai sering berkunjung ke rumah Naruto. Kedekatan mereka tampak bukan dikatakan sekedar berteman. Banyak yang mengira, hubungan Hinata dan Naruto merupakan sebuah ikatan yang dinamakan pacaran, namun tudingan tersebut selalu ditepis keras.
Naruto membuang nafas lelah. Ketika dirinya mengetahui sisa waktu yang ia punya untuk menyelesaikan tugas sekolahnya, Naruto mulai merutuki sisi pelupa dalam dirinya. Astaga, bagaimana bisa lelaki itu melupakan tugas yang satu ini? Bukanlah minggu kemarin Naruto masuk sekolah?
Ia mulai berjalan ke arah tempat tidur, menjatuhkan diri karena kecewa akan kelalaiannya sendiri. Hinata hanya bisa menggelengkan kepala ketika melihat perilaku Naruto. Gadis itu pun berinisiatif mendekat, memberi beberapa kalimat yang mungkin bisa mendorong semangat Naruto kembali.
“Daijoubu,” jemari putih itu menyentuh bahu Naruto, “Aku akan membantu.”
Dalam kondisi tengkurapnya, tiba-tiba wajah pria itu terasa gerah.
“Ayo kita pergi ke Perpustakaan di pusat kota! Disana koleksi bukunya cukup lengkap, kok.” seru Hinata sekali lagi.
Naruto terdiam sebentar, mencoba mendominasi anggota tubuhnya agar bisa terlihat normal. Detak jantung yang kian cepat, menambah rasa panas disekitar wajah tampan miliknya. Sumpah serapah menjerit dalam benak Naruto. Disituasi seperti ini, mengapa ia harus merasa awkward?
Naruto dan Hinata sudah berbaikan sejak satu bulan terakhir ini, mereka kerap melakukan apa saja bersama-sama. Seharusnya, Naruto bisa meminimalisir perasaan canggung yang sering menyerang tanpa permisi itu tanpa perlu pendekatan lebih jauh. Tetapi, perkiraan tersebut malah memperparah isi hati Naruto. Cintanya seolah tak bisa dibendung lagi. Naruto dibuat gila dengan rasa terpendamnya sendiri.
Pria itu mulai bangkit, sebelah tangannya menghalau wajah yang masih terlihat merona. Naruto berpura-pura mengusap mukanya seakan frustasi.
“Kapan kita akan pergi kesana?” tanya Naruto.
“Terserah kamu, aku akan selalu siap!” dan lagi-lagi, tingkah hyper aktive Hinata membuat jantung Naruto meronta-ronta.
Naruto merenggangkan jemari yang masih menutupi wajahnya, mencoba melihat sang gadis pujaan tersenyum begitu manis. Sekali lagi, Naruto merasa gemas pada Hinata.
“Ya sudah, ayo kita bersepeda untuk pergi kesana.”
…
…
Lorong-lorong itu dipenuhi berbagai macam buku yang tersimpan rapi di rak. Semua sumber dari informasi juga pengetahuan, sampai beberapa novel terkenal pun ikut andil melengkapi perpustakaan ini. Hinata berdecak kagum, kala melihat untuk pertama kalinya masuk pada segudang buku yang tersorot disepanjang mata memandang.
Mungkin, jika dibandingkan dengan perpustakaan sekolah, itu hanya mengisi seperempat bagian dari perpustakaan umum ini. Disini sangat luas. Ya, namanya juga perpustakaan umum.
Naruto berbisik pelan, “Kamu pernah kesini?”
Hinata menggeleng, “Ini adalah pertama kalinya. Aku hanya tau saja dari Karui-chan, katanya perpustakaan umum bukunya lebih banyak dan lengkap.”
Naruto pun hanya membalas dengan anggukan singkat. Sesuai rencana awal, tujuan mereka datang kesini adalah menuntaskan tugas yang belum Naruto tunaikan. Ini adalah langkah awal sebelum pria itu menghimpun bagian-bagian penting yang ia peroleh dari sebuah buku pilihannya, kemudian memahami dengan jelas pokok permasalahan mengapa sejarah tersebut bisa tercipta. Dan di hari Rabu nanti, Naruto harus siap menyajikan tugasnya dengan mempresentasikan hasil kerja keras hari ini.
“Kalau kamu sudah dapat bukunya, temui aku di lorong Novel. Aku ingin mencari referensi tentang hujan.”
Naruto mengernyit, “Referensi? Kalau mencari referensi, bukannya lebih baik mencari di sumber yang berkaitan, bukan dari Novel, dattebay—”
“Sudahlah, Naruto-kun. Cepat selesaikan tugasmu!” Hinata pun melenggang pergi, lalu menghilang setelah melewati tiga lorong disana. Sementara Naruto, ia hanya tersenyum geli melihat tingkah kekanakan gadis indigo itu.
…
…
“Ya ampun…, tinggi sekali!” salah satu tangan Hinata menempel didahi seolah memperjelas pengelihatan. Hampir tiga puluh menit berlalu, dirinya mengobrak-abrik isi otaknya demi mencari cara agar maksudnya tercapai.
Buku-buku novel yang berjejer di rak paling bawah sama sekali tidak menarik minat. Akan tetapi, salah satu sampul di atas sana membuat gadis itu penasaran. Yang menjadi permasalahannya, bagaimana ia menggapai buku itu? Hinata tidak menemukan tangga berjalan kecuali dua buah kursi yang berada di ujung lorong.
Sesaat gadis itu berinisiatif meminta bantuan dari Naruto, tetapi ia urungkan kembali. Hinata tidak mau merepotkan lelaki pirang itu. Tugas Naruto lebih penting dari sebuah buku novel keinginannya.
“Apa tidak apa-apa, ya?” menggunakan dua kursi itu untuk menyangga dirinya?
Dengan tekad yang sedikit dipaksakan, akhirnya Hinata membunuh keraguan yang sempat menghambat niatnya. Kedua kursi itu adalah salah satu alternatif paling praktis daripada repot-repot mencari bantuan.
Astaga, Shikamaru telah mempengaruhi Hinata.
Dengan penuh kehati-hatian, Hinata menumpuk kedua kursi itu dan berusaha memanjatnya. Butuh waktu yang cukup lama agar dia bisa berdiri seimbang menaiki dua kursi tersebut.
“Aku bukan seorang akrobat atau pemain sirkus! Sumpah demi apapun, aku takut sekali!” racau Hinata tak jelas.
Perlahan tapi pasti, tangan kanan Hinata mulai berusaha menyentuh sampul novel itu. Nafasnya seolah tertahan akibat rasa takutnya sendiri.
“Hinata-san!” suara baritone penuh kecemasan itu membuat Hinata melejit kaget, merobohkan kekokohan kursi yang menyangga dirinya.
“Kyaa!” Hinata tumbang disana, menimpa Naruto yang secara refleks menangkap gadis itu dari bawah. Namun, lelaki itu lantas ikut oleng karena ketidaksiapan tubuhnya mengimbangi hantaman tubuh Hinata.
BRUKK!
Beberapa saat, waktu terasa berhenti untuk melaju. Hinata merasakan sebuah kehangatan menguar disekitar bibir miliknya. Matanya terbelalak. Wajahnya merona hebat.
Insiden ini mengantarkan pada moment paling mustahil bagi mereka berdua. Mereka… berciuman.
…
Bersambung…
KAMU SEDANG MEMBACA
[ 12 ] Lovely Rain [ Completed ]
Fiksi PenggemarNaruto © Masashi Kishimoto [ AU ] [ NaruHina Fanfict Story ] [ Dedicated : @PipitIswanti ] ... Hujan. Tak ada hal terindah ketika butiran permata itu turun dari langit luas, membawa sejuta kedamaian untuk hati yang lara. Bagai pelita dikala gelap. B...