Lovely Rain [ 6 ]

1K 94 27
                                    

Naruto © Masashi Kishimoto
Dedicated : Azu_Hime

“Jadi?”

“Yah… mau bagaimana lagi.”

Membuang nafas. Tiba-tiba perasaan ini berubah getir. Semua kenyataan bagaikan mimpi buruk yang tidak pernah terprediksi. Sungguh, aku tak mengerti motif khususnya, semua terjadi begitu saja. Bahkan Shikamaru juga tidak memberitahukan persoalan ini jauh-jauh hari.

Dia begitu kentara menatap irisku. Terlihat jelas rasa iba dari sorotan manik itu. Tatapan yang berbeda, entah aku yang tak pernah sadar. Tetapi, aku memahami perasaan dia. Aku juga sama, diriku merasakan hal itu.

Aku tersenyum. Ini tidak akan seburuk seperti yang aku dan Shikamaru pikirkan. Kekalutan ini akan berlalu. Semua akan hilang dengan sendirinya. Yang terpenting adalah bagaimana aku ataupun dia saling menjaga dan memahami.

Ku tepuk pelan pipi milik si pria nanas, lalu berkata dengan tenang, “Ya sudah, Shika. Aku mengerti.”

Sekali lagi aku tersenyum, namun, sebuah senyum yang menampilkan deretan gigi putihku. Ya, aku menyengir. Aku tidak ingin terlihat lemah di depan kekasihku. Aku tak mau menjadi parasit untuk dia. Aku tak mau membelenggu perasaan Shikamaru. Aku yakin, ada faktor lain yang membuat Shikamaru tetap bungkam dan tak menghendaki aku mengetahui detailnya.

Kulihat Shikamaru memejamkan mata dengan segaris senyum teramat tipis, “Setidaknya masih banyak waktu, kamu tidak perlu memaksakan diri untuk tersenyum seperti itu. Dan ingat? Aku ini tidak akan mati! Dasar merepotkan.” Akhirnya kami bisa tertawa bersama.

Kami banyak bercanda setelah membahas hal yang dibilang merepotkan tadi. Shikamaru benar, aku memiliki banyak waktu. Besok, lusa ataupun minggu depan juga masih bisa. Shikamaru juga benar, kalau bersedih karena hal semacam itu hanya akan semakin memperburuk keadaan. Bagaimanapun cintalah yang menguatkan segalanya. Cinta yang membangun kebahagiaan. Dan itu sebagian persepsiku, sih.

“Oh ya, Hinata, bukannya kamu punya tetangga yang namanya Uzumaki Ramen itu ‘kan? Dan sekelas juga kalau tidak salah,”

Aku mendecih, “Yang benar adalah Naruto, Shika. U-zu-ma-ki Na-ru-to. Kamu sembarangan sekali mengganti-ganti nama orang, nanti kalau dituntut ke pengadilan bagaimana?”

“Namanya mirip sekali dengan topping Ramen. Emang apa salahnya? Merepotkan.”

Ya Tuhan, sekali saja aku tidak mau mendengar Shikamaru menyisipkan kata ‘merepotkan’ itu acap kali ia bicara. Aku bosan. Tapi, Naruto bahkan lebih aneh lagi. Di akhir kalimat pria Uzumaki itu berseru kadang tersisip kata ‘dattebayo’ atau ‘—ttebayo’. Kalau Bibi Kushina, selalu menggunakan kata sisipan ‘dattebane’ atau ‘—ttebane’. Apakah mungkin nanti jika Naruto menikah dan punya anak, akan memiliki kata sisipan semacam begitu? Kira-kira, kata apa yang akan dipakai untuk generasi penerus Uzumaki itu, ya? Datte… basa?

Haha… intinya begitulah. Memang lucu juga, dan unik. Setiap berbicara dengan Naruto aku merasa ingin tertawa, tetapi aku tahan. Nanti pria itu mengira kalau aku tidak waras.

Memikirkan soal Naruto, rasanya sedikit… menyenangkan. Dia pria yang ramah, murah senyum, baik, suka menolong, dan ceria walau terkadang suka gugupan. Ibunya juga baik sekali. Beliau selalu memujiku bahkan tak segan untuk memeluk setiap kali bertemu. Melihat Bibi Kushina, aku teringat pada Ibuku yang sudah tiada. Aku menemukan sosok seorang Ibu dari Bibi Kushina.

Ibu, apakah kau bahagia di atas sana?

“Hinata? Kamu melamun?”

“Eh,” aku terkejut.

“Apa ada yang mengganggu pikiranmu? Kamu barusan melamun,”

Aku mengedip beberapa kali, lalu tersadar maksud perkataan Shikamaru, “Ah, gomen ne, Shika. Tiba-tiba saja aku ingat pada Okaa-san.”

Raut wajah Shikamaru terlihat cemas. Ya, aku tau dia mencemaskanku. Shikamaru memang tidak bisa bersikap hangat tetapi bukan berarti dia juga bisa sangat tidak peduli. Aku mencoba tersenyum lagi, walau rasa rindu ini sangat menyiksa. Tapi…

“Tidak apa Shika, aku baik-baik saja. Kamu tau? Saat aku merindukan Okaa-san, Kushina-baasan –lah yang bisa menetralisir rasa rindu ini.”

Shikamaru mengernyit, aku mengerti dia tidak tau siapa wanita yang aku panggil Bibi tersebut.

“Beliau adalah Ibu Naruto.” jelasku.

“Hm, begitu. Memangnya seberapa dekat kamu dengan keluarga Si topping Ramen itu?”

“Ya… normal saja, sih. Awal mulanya karena Naruto bingung mencari sekolah dan aku menawarinya untuk mendaftar kesini. Disaat itu pulalah aku bertemu dengan Ibunya. Kamu tau, Shika? Ibu Naruto itu baik sekali! Bahkan beberapa hari yang lalu beliau memberi kue brownies padaku!”

Tak tau mengapa, bisa-bisanya aku begitu bahagia menceritakan tentang keluarga Naruto pada Shikamaru. Beruntunglah kekasihku mengerti dan ikut tersenyum. Dia menepuk-tepuk kepalaku lalu memelukku dengan erat.

Ya, Shikamaru… aku akan terus menyayangimu, sampai kapanpun. Inilah ikrarku.

Naruto menatap sendu tumpahan air hujan yang berhamburan terjun ke bumi. Hujan mengingatkannya pada sebuah cinta yang begitu indah di awal berjumpa. Hujan mengukir kenangan manis ketika indera peraba tak sengaja memeluk tubuh mungil milik sang pujaan. Hujan, ia menjadi saksi rasa untuk pertama kalinya melihat malaikat cantik menari-nari disana. Hujan mempertemukan kisah asmara saat memijak kota Konoha.

Kota Konoha, hujan, dan rumah yang ia singgahi. Semua itu adalah perantara bagaimana fiksi ini bermula. Semua ini adalah saksi dari segala kisah manis itu. Kisah manis yang berujung tragis.

Tragis? Mengapa?

Mengapa kisah ini berubah menjadi alur yang kelam? Mengapa kisah ini memiliki keceriaan di awal semata? Begitulah hati Naruto mengeluh. Tak bisa dipungkiri, kejadian seperti ini akan membuat dirinya hancur lebur. Naruto berkali-kali tak bisa menerima kenyataan pahit bahwa gadis yang ia kagumi ternyata sudah memiliki sosok kekasih.

Pernah sekali ia mendengar dari percakapan kawan-kawan sekelas perihal Hinata yang sudah memiliki pacar, namun Naruto tak menggubris gosip itu. Tetapi, pada akhirnya ia percaya setelah sang empu sendiri yang mengakui atas tudingan tersebut.

“… a-aku baru pulang k-kencan dengan Shikamaru.”

Suara Hinata masih teringat jelas meskipun peristiwanya sudah berlalu cukup jauh. Untuk pertama kalinya Naruto melihat seulas bahagia dengan semburat kemerahan menghiasi kedua bilah pipi tembam gadis itu. Dan untuk pertama kalinya pula, Hinata bicara tergagap. Itu sudah sangat membuktikan kalau semuanya bukanlah omong kosong.

Lalu apa arti perhatian Hinata selama ini?

Setelah semua fakta terungkap, Naruto mulai membuat jarak. Ia tak pernah lagi mau menyapa gadis yang telah menyayat perasaannya. Naruto tak pernah sudi walaupun sekedar untuk tersenyum. Si Pirang ingin gadis itu menyadari bagaimana sakitnya hati yang telah memendam sejuta harapan. Harapan ingin memiliki seutuhnya. Namun semua tinggallah angan dan menoreh kepedihan.

Dan sekarang, pemandangan tidak mengenakan telah ia tangkap dari bawah sana. Dua sejoli pengukir lukanya kini saling bercumbu di bawah terkaan air hujan. Dan, apakah hujan juga akan menjadi saksi atas perih ini?

Naruto meringis. Kedua tangannya mengepal sampai memutih. Tidakkah mereka sadar jika disini ada yang menyaksikan kemesrasaan mereka berdua?

Beberapa menit berlalu, ciuman itu akhirnya terlepas. Mata sipit milik pria berambut hitam runcing itu tak sengaja memergoki Naruto yang menatap dingin. Mereka terlihat memuakan diimajinasi Naruto, untuk itulah ia memilih menyerah dan masuk ke dalam kamar.

SREK!

Sang pria Nara mengernyit bingung sesaat suara pintu geser balkon di atas sana membanting cukup keras.

Naruto?

Bersambung…

[ 12 ] Lovely Rain [ Completed ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang