Bab 07

126 4 1
                                    


Sejauh-jauh ku berkelana mencari persinggahan

Seumur diri ini mencari tempat bersandar

Tak ada yang lebih nyaman

Selain dalam dekapanMu


"Mas Ratman memintaku jadi guru mengaji dan shalat untuk Mas?"

Ratman mengangguk mantap menjawab pertanyaan Rina barusan. Saat itu, kelas telah usai. Mereka sedang sibuk membereskan ruangan. Ratman membantu membereskan buku-buku, termasuk kumpulan Juz 'Amma yang berantakan di sekitar ruangan oleh anak-anak.

Itulah ide yang menari di pikirannya sejak kemarin. Dengan belajar mengaji dan shalat dari Rina, ia bisa mendapatkan banyak keuntungan. Pertama, jelas ia mendapatkan guru untuk belajar shalat dan membaca Quran. Kedua, ia merasa tidak perlu segan karena diajari oleh orang yang sudah dikenalnya. Ketiga, ia bisa semakin dekat dengan Rina.

Tentu saja, Ratman sangat berharap bila Rina berkenan menjadi gurunya. Dia berpikir Rina pasti tidak akan menolaknya karena yakin bahwa gadis itu paham mengajar kebaikan untuk seseorang itu pahalanya sangat besar. Ia yakin Rina pasti takkan melewatkan kesempatan itu.

Rina masih diam. Pikirannya menimbang-menimbang, sebelum akhirnya ia berkata sesuatu, "Maaf Mas Ratman. Aku nggak bisa jadi guru ngajinya Mas Ratman."

Ratman terkejut setengah mati. Tak menyangka kalau Rina menolak permintaannya.

"Ke, kenapa nggak bisa?"

Rina tersenyum lemah pada Ratman.

"Soalnya, kita berdua bukan muhrim, Mas. Mas Ratman laki-laki. Rina perempuan."

"Terus? Masalah?" Ratman masih tak mau menyerah.

Rina mendesah pelan, "Emm... Bukan gimana-gimana, Mas. Tapi kan mengajar shalat dan mengaji itu perlu sering bertemu. Maaf sekali, Mas. Aku sepertinya akan sedikit... kaku kalau hanya berdua dengan Mas Ratman..." jawabnya pelan.

Ratman kecewa, tak bisa menerima keputusan Rina.

"... Aku minta maaf, Mas." Rina merasa bersalah melihat perubahan wajah Ratman. Lelaki itu masih merunduk, tak menatapnya.

"Ada apa ini? Mas Ratman kenapa?" Fahri datang dan ia heran saat melihat Ratman.

Rina pun menjelaskan semuanya. Fahri lalu manggut-manggut.

"Tapi, Rina... Bener kamu tidak mau mengajarkan saya?" Ratman menengadahkan lagi wajahnya. Ia belum mau menyerah.

Rina menarik napas panjang, "Maaf, Mas. Bukannya aku tidak mau. Tapi... tapi kita kan beda muhrim, Mas. Maaf..."

Ratman kali ini menyerah. Ia benar-benar kesal mengetahui rencananya gagal.

"Kalau begitu sama aku saja, Mas! Aku siap mengajarkan Mas Ratman untuk..."

"Sudah! Lupakan saja!" teriakan Ratman menghentikan ucapan Fahri barusan. Fira yang sedang membereskan bangku pun terkejut.

"Apakah kamu tidak mau untuk membantuku untuk berubah menjadi lebih baik? Aku ingin belajar membaca Quran lagi, ingin bisa shalat lagi! Aku sudah berharap kau mau membantuku, tapi ternyata tidak!" Ratman menumpahkan kekesalannya pada Rina.

Rina kaget dan ia hanya terdiam.

"Sudahlah! Aku pulang saja!" Ratman lantas pergi dari situ.

Rina masih terdiam dengan ekspresi wajah yang sulit dibaca.

"Mas, Mas Ratman!" karena Rina hanya diam saja, Fahri coba mencegah Ratman pergi. Namun Ratman sudah terlanjur jauh.

***

Tanpa disadari, saat kabur dari tempat pengajian anak-anak itu, sebuah buku kecil berisi Juz 'Amma bersampul kuning terbawa oleh Ratman. Malu untuk kembali ke sana, Ratman membawa pulang buku kecil itu dan menyimpannya di lemari.

Malam itu, Ratman terbaring di atas kasur dengan perasaan gusar dan gelisah. Ia baru menyadari bahwa tak seharusnya berkata seperti itu pada Rina. Gadis itu pasti sedih dan bahkan mungkin membencinya. Ratman memukuli kepala, menyesali kesalahannya.

Dalam waktu dekat, ia berpikir mungkin tak bisa kembali ke tempat mengaji itu karena malu serta takut menunjukkan wajahnya di sana. Saat ini, Ratman kebingungan karena tak tahu siapa lagi yang bisa dimintanya mengajari shalat dan mengaji. Di pesantren masjid ini saja, hampir semua orang tidak menghiraukan keberadaannya.

Ratman tiba-tiba teringat sesuatu.

Tidak. Masih ada orang yang bisa membantuku.

Jam kecil di sebelah kasurnya menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Belum terlalu larut. Ia bergegas keluar kamar. Saat sedang berjalan melewati teras masjid, Ratman sempat mengintip sebentar ke dalam.

"Itu dia," gumamnya. Ia segera membuka pintu masjid dan masuk.

Beberapa santri yang sedang melingkar sontak menoleh saat mendengar suara pintu terbuka. Mereka heran melihat Ratman masuk begitu saja, mendekat, lalu menerobos masuk ke dalam lingkaran yang mereka buat dan langsung duduk di hadapan lelaki paruh baya yang sedang memberikan materi kepada mereka.

Lelaki itu pun heran melihat kedatangan Ratman.

"Ustad Iqbal..."

Ratman menunduk dalam-dalam di depannya sambil menangkupkan kedua tangan.

"Saya mohon Ustad, tolong ajari saya shalat dan membaca Al-Quran!"

Ustad Iqbal dan semua santri di situ terkejut mendengar permintaannya. Amat yang tak suka dengan kehadiran Ratman, langsung angkat bicara.

"Hei! Mana sopan santunmu! Nyelonong aja masuk masjid, tiba-tiba berdiri di hadapan Ustad tanpa mengucap salam! Kita ini lagi belajar! Dasar orang..."

"Jaga mulutmu, Amat."

Amat langsung terdiam saat Ustad Iqbal menegurnya. Wajahnya terlihat kesal.

"Apa yang kau katakan barusan, Ratman?" Ustad Iqbal ingin memastikan bahwa ia tak salah dengar.

"Sa, saya... mohon Ustad... mengajari saya cara shalat dan membaca Quran... Saya ingin bisa shalat dan mengaji lagi... Maafkan saya... kalau saya lancang, Ustad..." lirihnya pelan seraya merundukkan kepala.

Ustad Iqbal menghela napas pendek, "Angkat kepalamu, Ratman."

Ratman mematuhinya. Ia lalu menatap wajah Ustad Iqbal.

"Insya Allah aku bersedia mengajarimu."

Ratman terkejut, tetapi senang mendengar jawaban itu. Santri lain pun tampak tak percaya dengan keputusan Ustad Iqbal, termasuk Amat.

"Ta, tapi Ustad... Orang ini kan..."

"Tapi apa, Amat?!" Ustad Iqbal memotong komentar Amat, "Tidak ada alasan untuk tidak menerima permintaan Ratman. Dia mau belajar, berubah menjadi lebih baik. Kenapa harus kita halangi? Bukannya kamu tahu sendiri, sesama muslim harus saling membantu? Apalagi membantu saudaranya untuk berubah menjadi baik itu pahalanya besar!"

Amat kembali terdiam. Setelah itu, ia tak berani berbicara lagi.

Ustad Iqbal beralih menatap Ratman, "Sekarang, kamu bisa keluar dari masjid. Saat ini aku sedang mengajari para santri. Selepas ini, akan kuberikan beberapa buku untuk kau pelajari. Tunggu aku di kamarmu," ujarnya tersenyum.

Ratman mengangguk. Wajahnya nampak cerah karena harapnya berbalas baik.

***

Juz Amma yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang