Bab 02

251 6 0
                                    


Entah apa artinya hidup

Bila kemapanan jadi teman sejak lahir

Karena sesungguhnya dengan berbagai luka dan sendu itu

Jiwa ini bertumbuh


Kini, Ratman harus menerima kenyataan bahwa ia tak memiliki tempat tinggal dan pekerjaan. Itu berarti dia seorang gelandangan.

Bus yang ditumpanginya berakhir di terminal Ledeng. Ratman sadar bahwa terlalu riskan bila bersembunyi di sini. Sebab jaringan preman Bos Gendot sangat luas, meliputi sebagian besar Jawa Barat dan Pantura. Maka, Ledeng jelas bukan daerah yang aman baginya. Ia melihat isi dompetnya. Masih ada beberapa lembar uang hasil mengerjakan kerajinan di penjara dan uang saku pulang. Totalnya tiga ratus ribu.

Ratman pun naik sembarang bus. Ia membeli tiket perjalanan terjauh, tanpa memperhatikan tujuannya, sebab ia tak peduli akan berakhir ke mana bus ini. Yang terpenting, ia bisa lari sejauh-jauhnya, meninggalkan dan melupakan semua yang terjadi. Sempat berdesak-desakan dengan penumpang lain, Ratman akhirnya bisa menemukan kursi untuk bersandar. Letih akibat pikiran yang berkecamuk, ditambah angin sepoi-sepoi dari jendela bus berhasil mengantarkannya tertidur lelap.

Saat kembali membuka mata, Ratman lantas melihat ke luar. Dirinya terkejut bahwa ia sama sekali tak mengenali di mana keberadaannya sekarang. Ia pun bertanya pada kernet bus.

"Kang, ini sekarang di mana ya?"

"Purwokerto, kang! Kenapa? Ketiduran? Kebablasan?" tanya balik kernet tersebut.

Ratman kaget saat menyadari bahwa bus yang ia naiki ternyata melalui perjalanan lintas provinsi. Tak percaya, ia kembali melihat ke luar jendela. Sebuah plang di seberang jalan menjawab kegusarannya dengan tegas: "Terminal Bus Purwokerto".

Melihat pertanyaannya tak dijawab, kernet tersebut melengos pergi. Ratman akhirnya memutuskan untuk mengakhiri perjalanannya di sini. Entah apa alasannya. Tapi, yang pasti ia yakin bahwa anak buah Bos Gendot tidak akan berkeliaran jauh sampai sini.

Saat itu masih pukul satu malam. Terminal sepi. Toko-toko tutup. Ratman melangkahkan kaki, duduk di bangku depan emperan toko lalu menaruh tas ranselnya. Seluruh badannya masih terasa letih, apalagi ia baru saja terbangun dari tidur. Matanya melihat sekitar. Tempat ini benar-benar asing baginya. Seumur hidup dia belum pernah menginjakkan kaki di kota ini.

Ratman menghela napas panjang. Pikirannya berandai-andai. Jika saja waktu itu dia tak meminjam uang ke Bos Gendot, mungkin cerita hidupnya akan berbeda. Ia tidak akan dipenjara dan terpisah dari keluarganya selama lima tahun. Dirinya dapat menyelamatkan keluarganya saat kebakaran itu terjadi, sehingga takkan sendiri seperti sekarang.

Ratman merunduk sedih saat sadar bahwa kini tak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Sepengetahuannya, kedua orangtuanya tak pernah bercerita tentang asal-usul mereka, sehingga ia tidak tahu sanak keluarga lain yang dikenalnya.

Ratman begitu menyesal saat ibu, ayah dan adiknya membutuhkannya, ia tidak ada di rumah. Ia merasa bersalah telah merepotkan ayahnya yang sudah tua itu untuk mencarinya. Benaknya tak bisa membayangkan bagaimana perasaan ibu saat ia menghilang dari rumah. Yang paling menyesakkan, saat kembali, mereka semua sudah tiada.

Ratman menangis. Ia rindu keluarganya. Rindu senyum ibunya yang tak pernah hilang meski penyakit kanker itu menggerogoti habis fisiknya. Rindu semua nasihat ayahnya. Meskipun sering menegur dan kadang memukulnya saat lelaki itu mengetahui kebohongannya, mengaku mencari pekerjaan padahal sedang mengikuti latihan tinju bersama preman kampung sebelah. Ia tahu, ayah melakukan semua itu karena tak ingin Ratman menjadi lelaki yang berpikir bahwa semua masalah harus diselesaikan secara fisik.

Juz Amma yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang