Bab 15

108 3 0
                                    

Benar kata orang bijak,

Hidup adalah ladang ujian

Lapang adalah ujian untuk bersyukur,

dan sempit adalahujian untuk bersabar   


Senin siang, tampak jelas kesibukan di kantor butik. Jumlah pesanan hari ini meningkat tajam, terutama melalui website online. Belum juga beberapa pesanan yang sudah harus terkirim di hari itu.

"Assalamu alaikum. Maaf Mas telepon lagi. Ini dari marketing... Ada pesanan borong, 100 stel pashmina instan, terus 40 stel gamis dan 50 stel kerudung model terbaru kita. Pelanggannya minta kirim lusa. Iya, lusa. Nanti detail pesanannya saya kirim lewat email. Bisa? Alhamdulillah. Oh ya, pesanan satuan sampai jam 2 siang tadi sudah saya rekap dan kirim, ya. Makasih, Mas." Selaku staf digital marketing, sudah barang tentu Ratman pun sama sibuknya. Sedari tadi, sambungan masuk dan keluar telepon saling bergantian. Terutama dari tim produksi dan distribusi terkait konfirmasi pesanan dan pengiriman barang.

Telepon berdering lagi. Kali ini yang mengangkat Rita, rekan kerja satu timnya.

"Ya, Assalamu alaikum dengan divisi marketing, ada yang bisa dibantu? Oh, maaf Pak. Sebentar"

"Mas Ratman, telepon dari Pak Sultan." Rita memanggil Ratman, yang lantas segera menerima gagang telepon.

"Iya, Pak? Rekap pemesanan hari ini... baru sampai jam 2 siang, Pak. Kalau rekap distribusi...." Ia lantas menoleh ke Bayu dan Adi, rekan tim marketing yang bertugas di bidang itu lalu menjawab seperti yang mereka pinta, "Belum selesai semua, Pak. Masih ada beberapa yang belum terkirim. Baik, Insya Allah kami usahakan. Ah, ya terima kasih, Pak. Oh... Baik, Pak. Saya ke sana sekarang. Waalaikum salam." ia mengembalikan gagang telepon.

"Pak Sultan minta jam 4 laporan pemasaran dan distribusi seminggu ini sudah selesai dikerjakan. Untuk rapat mingguan direksi besok," lanjutnya.

"Walah. Sip, insya Allah." jawab Adi.

"Fuhh... Untung kemarin-kemarin kita grecep buat laporannya. Seminggu ini order rame banget. Jadi tinggal di-compile." Bayu menghela napas, melepas lelah.

"Semangat, gengs! Kalau rame terus kaya gini, kita dapat bonus banyak. Aku bisa belanja lagi, deh." Berbeda dengan yang lain, Rita malah terlihat senang.

"Bonus mulu, lu. Kerja dulu yang bener." Bayu menimpali. Rita cemberut.

"Hahaha... udah, udah. Yuk fokus. Tinggal satu jam lagi," Ratman mengingatkan. Pandangan mereka bertiga pun kembali berkutat depan layar komputer,

"Oh, ya Rita..."

"Ya, Mas?" Rita menoleh saat Ratman memanggilnya.

"Saya titip lanjutin tugas rekap, ya. Pak Sultan manggil saya. Maaf, nih," ujarnya.

Rita mengacungkan jempolnya, "Beres, Mas. Santai aja. Lagian tinggal dikit ini."

Ratman tersenyum lega. Ia segera menuju ruang Pak Sultan. Setelah dipersilakan, ia pun masuk dan duduk.

"Ada apa, Pak?"

"Ini ada beberapa surat terkait perizinan periklanan, harus ditandatangani ibu kepala. Saya bisa minta tolong untuk dibawakan ke ruang beliau untuk ditandatangani?" Pak Sultan kemudian menyodorkan map itu kepada Ratman, "Maaf, saya soalnya sedang buat presentasi untuk rapat direksi besok."

Juz Amma yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang