Ketika sepi menyapa
Memenjara kesenduan dalam hati
Percayalah, sesungguhnya kau tak sendiri
Ketika titik nadir hanya berjarak sehasta
Dan asa seakan enggan 'tuk terbit
Percayalah, sabar takkan pernah mengkhianati
Malam itu selepas mengajar santri, Ustad Iqbal menepati janjinya. Beliau mengaku bahwa perasaannya sangat senang saat mendengar Ratman ingin kembali belajar shalat dan membaca Quran. Beliau juga menyampaikan bahwa dirinya yakin Ratman sebenarnya anak yang baik. Hanya saja, tekanan hidup membuatnya terpaksa menekuni dunia kelam. Ia juga mengaku bahwa selalu berdoa agar Ratman diberikan hidayah untuk mempelajari lagi Islam sebagai agamanya. Mendengar semua ucapan Ustad Iqbal tentangnya, Ratman terkejut sekaligus terharu. Ia tak menyangka bahwa beliau begitu peduli padanya.
Ustad Iqbal kemudian memberikannya sebuah buku shalat dan buku Iqro tahap 1. Ia meminta Ratman menguasainya dalam seminggu. Karena masih dalam bulan Ramadhan meskipun hanya tinggal 6 hari lagi, Ustad Iqbal meminta Ratman juga berlatih puasa. Setelah lebaran, beliau akan mengujinya. Ratman mengangguk, ia bersedia menyanggupi semua itu.
Tapi ternyata, tak mudah bagi Ratman untuk menjalankannya. Suasana pasar yang berisik, serta pekerjaan yang menyita tenaga dan waktu jadi kendala terbesar. Ia kesulitan menghapal bacaan shalat dan tak nyaman harus membawa buku shalat itu kemana-mana. Ia juga coba mulai berlatih puasa. Tapi, ketika teman kulinya yang lain tahu, kebanyakan dari mereka malah tidak mendukungnya.
"Nggak ada waktu buat begituan, Man. Kerjaan kita udah banyak!!" itu kata Ebot.
"Kalau shalat bisa bikin kita jadi kaya dan sukses, harusnya dari dulu inyong udah kaya. Nyong waktu kecil rajin shalat, sih." kalau itu kata Tarjo.
"Kok lemas banget, Man? Apa? Kamu puasa? Makan saja lah sekarang! Daripada kamu pingsan waktu tugas, kita yang repot!" kalau yang ini komentar Iwan.
Abdu sendiri tak berkomentar apa-apa saat mengetahui kebiasaan baru Ratman. Ia hanya berpesan: "Apapun yang kamu lakukan, tetap tunaikan tugasmu dengan baik."
Karena saking lelahnya, setiap siang Ratman terpaksa membatalkan puasa. Ia merasa bisa pingsan karena kelaparan kalau terus melanjutkan puasa.
Sudah hari ketiga, namun Ratman masih kesulitan untuk menghapal bacaan shalat. Saat malam, ia hanya bisa menghapal paling lama satu jam sebelum tertidur sambil memegang buku bacaan shalat. Iqro-nya bahkan sama sekali belum tersentuh. Malam itu, selepas para santri menjalankan shalat tarawih, Ratman sedang kembali menghapal bacaan shalat. Ia menargetkan di hari keempat sudah bisa menghapal semuanya. Sehingga tiga hari berikutnya digunakan untuk belajar gerakan shalat serta membaca Iqro.
"Rab.. Rabbana.. lakal hamdu.. lakal hamdu..."
Sepuluh menit berselang, seseorang datang mengucap salam. Ratman melongok ke luar. Saat itu, ia sengaja tak menutup pintu kamar. Seorang laki-laki dewasa muda berdiri depan kamarnya. Lelaki itu memakai sarung dengan peci hitam yang menutupi kepalanya, beserta baju koko warna putih yang sudah menjadi lusuh dan kekuningan karena terlalu sering dicuci. Wajahnya tirus, berjenggot pendek dengan kumis tipis. Terlihat raut-raut tegas di wajahnya, menggambarkan bahwa meski belum terlihat tua, ia sudah mengalami asam garam kehidupan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Juz Amma yang Hilang
General FictionRatman, seorang lelaki yang terpaksa menjalani hidup yang kelam untuk membantu ayah dan ibunya. Kematian ibu, ayah dan adiknya akibat kebakaran besar serta berbagai masalah hidup yang terus datang beruntun membuatnya tak percaya akan kehadiran Tuhan...