Bab 05

182 5 0
                                    

Rindu, aku benar rindu

Pada wajah bulat dan mata bundar itu

Setiap senyum dan katanya

Seperti candu yang takkan buatku jemu


Setiap pagi, segelas kopi panas dipastikan berdiri tegak di meja kecil kamar Ratman. Selepas berganti pakaian, kopi itu akan langsung diminumnya hingga tandas sebelum ia berangkat menuju pasar.

Setiap hari kerjanya, Ratman selalu bangun dan mandi sebelum azan Subuh berkumandang karena jam 5 pagi tepat ia harus sudah berada di pasar. Tak memiliki kendaraan apapun, Ratman terpaksa berjalan hingga mencapai jalan raya, lalu menunggu angkot ataupun ojek di sana. Namun tak jarang, ia harus menuju terminal bila tak ada ojek ataupun angkot yang datang.

Di terminal, ia beberapa kali bertemu Joko yang sedang berlari pagi. Mereka masih sering berbagi cerita. Joko mengaku senang mengetahui Ratman sudah mendapatkan pekerjaan di pasar. Namun, ia tak jemu mengajak Ratman kembali lagi ke terminal meskipun ajakannya ditolak halus oleh Ratman.

Kembali lagi ke cerita semula.

Tiga hari telah berlalu sejak Ratman memukul mundur copet di pasar itu. Semua berjalan seperti biasa. Namun, kali ini saat hendak berangkat, Ratman kebingungan mencari sandalnya. Ia pun teringat bahwa tadi sempat memakainya ke kamar mandi dan mungkin tertinggal di sana. Melihat keadaan masjid masih sepi, ia segera mengambilnya sebab Ratman masih segan bertemu dengan para santri, terutama dengan Amat. Setibanya di depan teras masjid, matanya menemukan sesuatu yang mengejutkan.

Wanita yang kemarin ditolongnya di pasar, datang ke masjid ini! Ia sedang berjalan bersama seorang ibu paruh baya dan diikuti beberapa santriwati di belakangnya.

Ratman berulang kali mengucek matanya, memastikan bahwa yang dilihatnya nyata.

Benar, itu nyata. Itu benar wanita berwajah bulat nan menggemaskan dengan mata indah yang kemarin ditolongnya. Sekarang, wanita itu memakai kerudung abu-abu. Dan yang paling diingat Ratman... saat wanita itu menyunggingkan senyuman ramahnya. Tanpa pikir panjang, Ratman bergegas mendekat, ingin berkenalan dengannya.

Tapi sayang, ia sudah duluan masuk bilik perempuan terlebih dahulu. Ratman mendesah kecewa karena harapannya untuk mengetahui siapa nama wanita itu pupuslah sudah. Jelas amat konyol kalau dirinya memaksa masuk hanya untuk berkenalan.

Sepanjang jalan, berbagai pertanyaan tentang wanita itu memenuhi pikirannya. Kenapa wanita itu bisa ada di masjid tempat tinggalnya? Apakah dia juga seorang santri? Tapi, kenapa aku tak pernah melihatnya sebelumnya, padahal sudah hampir sebulan aku tinggal di masjid itu? Terus, jika wanita itu seorang santri, kenapa minggu lalu dia berjalan sendirian di pasar?

"Aaaahhhh!!" Ratman mengacak-acak rambutnya. Ia harus bisa melupakan semua pertanyaan itu. Siapa dirinya bagi wanita itu? Kenapa pula ia harus memikirkan wanita itu?

Tapi kenyataannya, semua tanya itu tak berhenti menari di pikirannya. Membuat Ratman tak fokus sampai Abdu menegurnya karena lambat dan terlalu banyak melamun.

"Hei, Ratman!"

Ratman terkesiap.

"Ya ampun. Ono opo toh, le? Koe jadi melamun terus seharian ini." tanya Abdu sambil menghampirinya. Ratman hanya balas menyengir. Tentu ia segan menceritakan alasan sesungguhnya.

"Sepertinya aku harus memberikanmu terapi kejut."

Terapi kejut?

PLAAAKKKK!!!!

Juz Amma yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang