BAB 02 Ⅱ Jaka

7.8K 989 94
                                    

JAKA

Aku membelalak ketika mendengar tiga kata terakhir pak Hasan. Kandidat ketua OSIS. Sungguh, aku tak percaya kalau siswa sesantaiku bisa ditunjuk menjadi tim inti, bahkan sampai kandidat ketua OSIS. Meskipun aku tahu bahwa aku tidak akan terpilih menjadi seorang ketua OSIS, tapi tetap saja, ini akan terasa menyiksaku. Setelah keluar dari ruangan ini, aku harus bersikap empat kali lebih disiplin, empat kali lebih sopan, empat kali lebih rajin, empat kali lebih ... berwibawa. Iya, aku harus berwibawa.

Kulihat Artha terbelalak kaget, tapi kulihat cahaya memberkas di matanya yang bulat. Mungkin ia senang tak kepalang, tidak sepertiku yang justru sebaliknya. Jika Artha ingin maju ke podium untuk mendeklarasikan bahwa dirinya resmi menjadi ketua OSIS, maka aku sebaliknya. Aku hanya ingin menyaksikan dari barisan peserta upacara, dan berbangga saja atas kemenangannya.

Menjadi seorang ketua OSIS adalah sesuatu yang menyiksa. Setidaknya bagiku begitu.

Selepas dibubarkan oleh pak Hasan, aku berjalan keluar dari ruang OSIS dengan pikiran acak yang berkecamuk. Aku berjalan sambil melamun, sampai Artha berkali-kali menegurku karena hampir menabrak orang, dinding, maupun tiang.

"Jaka, kita saingan!" Tiga kata itu terdengar penuh keyakinan bahwa ia akan memenangkan pemilihan suara. Aku tersenyum sekilas ke Artha. Aku tahu, Artha dan aku sekarang bersaing untuk memperebutkan posisi tertinggi di organisasi itu, tapi, bukan ini yang kuinginkan. Aku ingin Artha bersanding denganku, bukannya justru bersaing.

Artha berbalik ke arahku sekarang, dan berjalan mundur selagi aku tetap melangkah maju. Tangannya saling bertaut di belakang punggungnya, kepalanya condong ke arahku, dan senyumnya mengembang lebar lagi, membuatku ikut-ikutan tersenyum. Kemudian, telunjuk kanannya mengacung ke arahku, "Sampe lo menang, kita musuhan."

Senyumku berubah jadi kekehan pelan, membuat senyum di wajahnya memudar, dan matanya itu menyorot lurus ke arahku. "Gue? Menang dari lo? Ar, kalau gue bisa, bahkan gue bakalan langsung mundur. Gue enggak mau jadi kandidat ketua OSIS tau, enggak?"

Alis Artha bertaut. Langkahnya melambat, pandangannya penuh tanda tanya besar. "Kenapa? Kan lo dipercaya jadi kandidat, tapi kenapa lo malah enggak mau?"

Aku hanya mengedikkan bahu tanpa menjawab pertanyaan Artha.

+ + +

"...menjadikan SMA Saka menjadi SMA yang cerdas, aktif, berkualitas, disiplin, serta mandiri." Suara yang sejak dua menit lalu terdengar itu menyita perhatian segenap lapangan SMA Saka. Sementara melihat punggung gadis itu yang terbalut kemeja putih yang bersih dan rapi, aku tersenyum kecil. Aku yakin, Artha berhasil.

Visi, misi, serta motto yang dikarangnya sendiri sudah Artha bacakan dengan lancar dan tegas di atas podium pembina upacara. Raut wajahnya begitu yakin, bahwa dirinyalah yang akan menerima suara terbanyak.

Setelah lima belas menit berdiri di atas podium, dan berhadapan dengan mik, orasinya diakhiri dengan salam penutup, dan disahuti dengan tepuk tangan riuh membahana. Senyumnya merekah. Pandangannya menyapu seisi lapangan, kemudian sekali lagi berterima kasih sebelum ia akhirnya turun dari podium.

Lima menit setelahnya, lapangan sudah mulai ditinggalkan. Siswa dan siswi berhamburan kembali ke kelas setelah mendapat sedikit informasi dari pak Hasan tentang pemungutan suara. Aku menghela napas, kemudian menyambut Artha yang berlari kembali ke arah kami berlima-Rendi, Shafa, Affan, Pandu, dan aku-dengan senyuman yang tak kalah lebar dari senyumnya.

"Semoga dapetin jabatan yang lo mau, Ar," aku mendoakan. Benar-benar mendoakan dari hati. Artha mengangguk semangat. "Gue yakin kok sama lo."

Aku yakin Artha menang, dan aku yakin, aku tidak akan menyesal akan hal ini. Mungkin tak apa jika aku tetap akan tergabung dalam tim enam inti di OSIS, tapi untuk jabatan ketua OSIS, kuharap tidak. Tidak sama sekali.

"Kalian hebat," ocehan-ocehan di antara kami berenam mereda ketika pak Hasan datang dengan pujiannya. "nanti, apapun hasilnya, kalian harus terima, dan jangan pernah putus asa." Kami mengangguk serentak. Pak Hasan menyungging senyumnya, "Ya udah, kalian boleh kembali ke kelas."

Artha, Pandu, dan aku berjalan seiringan berhubung kami bertiga berada di kelas yang jaraknya dekat. Sementara tiga lainnya, berasal dari kelas XI-IPA. Sepanjang jalan ke kelas, kami terdiam, Artha memimpin jalan, sampai kami tiba di kelas, dan disambut riuh oleh kawan sekelas.

"Jaka dan Artha! Gila gila, kelas kita doang yang kandidat ketosnya ada dua!" Aku hanya tersenyum menanggapinya, tapi tidak dengan Artha. Gadis itu merespons dengan sangat antusias. "Kita sekelas tiga puluh enam. Berarti mesti bagi rata! Dua barisan sebelah kanan kasih suara buat Jaka, dua baris sebelah kiri buat Artha!"

Aku menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Bayu yang lebih terkesan heboh sendiri. Bagi rata, hah? Padahal aku lebih menginginkan mereka mendukung Artha saja daripada mendukungku. Lagi pula, aku yakin dialah pemenangnya. Secara, Artha memiliki hampir semua kriteria sebagai ketua OSIS.

Artha adalah orang yang tegas, meskipun terkadang orang malah menyimpulkan kalau ia galak. Artha juga disiplin, sangat cocok jika dijadikan contoh bagi warga sekolah. Yah, intinya aku mendukungnya sebagai ketua OSIS.

"Eh, bu Alda, bu Alda!" Dari luar, Fikri berlari dengan cepat kemudian segera menutup pintu kelas. Kegaduhan di dalam ruangan XI-IPS-2 seketika hilang, semuanya serta-merta berlari kembali ke kursi masing-masing, dan mengeluarkan buku pelajaran Agama masing-masing. "Pi Boong."

Dan sedetik kemudian, sorakan-sorakan kesal langsung terlontar dari tiap-tiap mulut orang yang telanjur panik karena kelakuan Fikri, sementara laki-laki itu hanya tertawa-tawa bahagia. Ketika pintu kelas terdorong sedikit, semuanya langsung berhenti berceloteh. Semuanya duduk sigap di kursi masing-masing, sampai tampaklah wajah Naya ketika pintunya terbuka.

"Permisi," katanya. Semuanya serempak menyahut singkat, kemudian Naya dan dua orang kawannya-anggota OSIS-masuk ke kelas dengan kardus yang masing-masing mereka pegang. Naya berdeham, menyita perhatian seisi kelas, "Oke, tadi kalian udah denger orasi dari calon-calon ketua OSIS, kan? Sekarang saya minta suaranya. Tolong jangan kosongin kertasnya, ya. Pilih salah satu di antara enam orang tadi."

Aku melirik-lirik setelah menuliskan nama Artha di kertasku. Aku harus memastikan bahwa mereka semua menuliskan nama Artha. Memang mereka yang disekitarku menuliskan nama Artha. Tapi, beberapa saat kemudian, baru aku sadar, kalau posisi dudukku berada di barisan paling kiri. Jadi, sesuai dengan kesepakatan spontan tadi, semua yang di sebelah kiri memberikan suara untuk Artha, dan yang di kanan untukku.

Ya Tuhan, kuharap yang di sebelah kanan sana juga memberikan suara untuk Artha.

Setelah kutulis nama Artha dengan jelas, aku menggulung kertas kecil putih ini, kemudian memasukkannya ke kardus yang dibawa Naya. Gadis itu tersenyum ramah ke arahku sambil berkata, "Semoga sukses, Jak."

Aku hanya merespons dengan senyuman singkat. Semoga sukses? Ah, iya, Naya pasti juga mengatakannya kepada lima kandidat lainnya. Dalam hati aku berharap, ucapannya yang terkabul bukanlah yang tertuju kepadaku.

[TJS 1.0] JakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang