ARTHA
Jaka masih bengong sejak aku bilang padanya, "Ini adik gue, Jak. Namanya Ritha, tapi lebih sering dipanggil Billa, sih."Senyum Jaka tak bisa kuartikan. Juga dengan raut wajahnya. Sekilas matanya tampak berkaca. Laki-laki itu bercangkung di seberangku, kemudian ia menadahkan kedua tangannya, memanjatkan doa-doa di dalam hatinya. Ia tampak bersungguh-sungguh.
Aku turut berdoa. Tak lama setelahnya, kami bersamaan menaburkan bunga, kemudian beranjak.
"Ar, lo katanya mau ngomong sesuatu sama ... Ritha?" aku menghentikan langkahku ketika Jaka tiba-tiba melontarkan pertanyaan tersebut. Aku berbalik, kemudian tersenyum singkat kepadanya. "Kenapa?"
Aku menggeleng, lalu bilang, "Gue masih belum kepikir gimana caranya gue minta maaf sama Billa," Jaka menautkan alisnya heran. "Ini udah kedua kalinya gue ngecewain Billa, Jak. Padahal, sejak dua tahun lalu, gue udah janji sama Billa di sini, gue janji gue bakalan menangin kompetisi waktu SMP."
Jaka masih diam di tempatnya berdiri, masih memandangku dengan tenang. Sejurus kemudian, ia berdesah, dan tersenyum lebar, "Ich ... Ritha pasti ngerti, Ar."
Ich?
"By the way, udah yuk, balik ke rumah kak Hanif. Enggak enak nih kalau kelamaan," Jaka melirik Arlojinya beberapa saat, kemudian langsung melangkah mendahuluiku. Aku hanya tersenyum tipis, kemudian mengekorinya kembali ke motornya, dan kembali ke rumah Hanif.
Jaka menutup mulutnya sepanjang perjalanan. Aku bercerita macam-macam tentang masa-masa SMPku dengan Billa, tapi ia tidak sekali pun menggubris. Ketika aku melontaskan pertanyaan, Jaka hanya menjawab seadanya. Aku tidak mengerti kenapa, tapi kelihatannya, mood-nya tiba-tiba runyam.
Tapi nyatanya, tidak hanya mood Jaka yang runyam. Ketika kami tiba di depan rumah Hanif, Gheo dan Naya juga baru datang dari arah berlawanan. Ya Tuhan, aku bahkan tidak mengerti apa salahku sehingga harus terlalu sering dibuat panas ketika melihat keduanya sedang lekat begitu.
Kuakui ini egois, tapi aku memang cemburu melihatnya. Aku paham, mungkin Naya memang bisa Gheo jadikan seorang pelarian yang paling baik, dan paling sempurna. Naya yang ceria, sama seperti Billa. Naya yang tegas, persis seperti Billa. Naya yang selalu berada di sisinya, seperti Billa yang pernah menempati posisinya.
"Ar," petikan jari serta panggilan Jaka langsung membuyarkan lamunanku. Aku menggelengkan kepalaku beberapa saat, kemudian menyadari, sudah tidak ada Gheo dan Naya yang tadi kulihat. "lo mikirin apa?"
Aku hanya menggeleng menanggapi Jaka, kemudian langsung menarik lengan kemejanya sambil melangkah, "Enggak apa-apa, ayo masuk."
Jaka dan aku kembali bergabung dengan anak-anak lainnya. Menikmati hidangan yang disediakan, menikmati segarnya minuman, turut bernyanyi ketika musik mengalun, tertawa-tawa akan guyon yang dilontarkan, dan ikut bermain macam-macam permainan yang dijalankan dalam acara.
Sampai ada saatnya aku mulai bosan sendiri, dan akhirnya melangkah mundur dari segenlintir orang yang tengah membuat lingkaran bersama. Bertepatan dengan mundurnya aku, kulihat Gheo turut mundur, kemudian langsung menarik tanganku, "Gue mau bicara sama lo, Bil."
Aku tak bisa mengelak. Cengkeramannya cukup kencang, dan cara bicaranya. Cara Gheo meminta barusan benar-benar terdengar tegas, dan menunjukkan bahwa Gheo tidak menerima penolakan. Entah Gheo hendak ke mana. Langkah kami tidak berhenti di depan rumah Hanif, tapi Gheo mengeluarkan kunci motornya.
"Kak, mau ke mana sih?" tanyaku begitu Gheo menancap gas dengan kecepatan cukup tinggi. Tapi Gheo tak berkutik. Ia tidak menjawab secara langsung. Hanya menjawab ketika motornya sudah berhenti. Di pinggir lapangan besar yang ada di dalam perumahan ini. Letaknya berada tepat di seberang sebuah Masjid. "Terus, mau ngapain?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[TJS 1.0] Jakarta
Fiksi Remaja[The Jakarta Series 1.0] ARTHA: Satu tujuanku setelah masuk ke Organisasi Siswa Intra Sekolah: menjadi seorang Ketua OSIS. Aku harus memenangkan persaingan, seandainya aku terpilih menjadi kandidat Ketua OSIS nanti. Aku harus membuat Gheo melihatku...