ARTHA
Sepanjang jalan pulang, Billa dan Jaka memenuhi pikiranku. Mawar putih itu juga turut meramaikan. Sungguh, aku merasa begitu bersalah telah mengabaikannya mentah-mentah saat itu. Billa pasti kecewa jika tahu aku melakukan hal itu, sementara orang yang memberikan bunga kepadanya saat itu adalah orang yang spesial.Wait. Orang berinisial J.A.S itu ... Jaka? Jaka Almi Syahidan, orang berpredikat ketua OSIS di SMA Saka, yang pernah benar-benar kubenci itu? Bahkan aku tidak tahu apapun kalau Billa memiliki rasa terhadap laki-laki yang kini bersanding denganku.
Tapi, benarkah?
"Jak," aku berpikir lagi setelah Jaka menoleh lalu menaikkan kedua alisnya bersamaan. Jika aku bertanya dengan lugas, aku akan terkesan sok tahu, dan bisa-bisa aku dicap sebagai seorang yang tidak bisa dipercaya, jika saja Jaka tahu bahwa aku membaca inisial namanya di buku harian Billa. "enggak jadi. Nanti aja."
Jaka mengerlingkan matanya, "Ih, PHP."
Sekarang, jika aku membiarkan, bahkan mendorong Jaka untuk lekas-lekas melupakan Billa, kenapa rasa-rasanya seperti aku terlalu memaksakan? Padahal seharusnya aku tidak memiliki hak. Dan, seandainya saja Jaka tahu bahwa aku sadar siapa Icha, pasti Jaka akan mengecapku bodoh. Karena sikapku yang seperti ini justru terlihat selayaknya aku ... cemburu.
Tapi tidak. Aku tidak mungkin cemburu hanya karena Billa dan Jaka sama-sama memiliki perasaan lebih. Lagi pula, sudah cukup aku pernah merasakan cemburu pada Billa perihal Gheo. Dan aku menyesal. Sangat menyesal telah mencemburui Billa.
Dddrrttt.
Musik yang mengalun bebas di telingaku seketika terinterupsi karena getaran tanda notifikasi. Aku merogoh saku rokku, mengambil ponsel, dan langsung membuka pesan masuk dari Gheo.
Gheovino Pratama : Sampai kapan gue harus nunggu lo nonton CD itu, Bil?
Gheovino Pratama : Sorry. Ar. I meant Artha, not Billa
Aku mendengus. Kubiarkan ponselku beberapa saat selagi otakku berpikir. Aku tidak sebegitu penasaran apa isi dari CD tersebut. Namun, mungkin Gheo benar, soal aku tidak boleh membuat Billa kecewa. Billa pasti sudah susah payah merekam sesuatu di hari terakhirnya tersebut.
"Ar, ayo, udah Kampung Melayu tuh," Jaka bangkit dari kursi yang didudukinya. Kontan aku menoleh ke jendela, memastikan bahwa bus yang kami tumpangi memang sudah tiba di halte terakhir. Aku tak membalas ucapannya, hanya ikut berdiri, kemudian keluar ketika pintu dibuka.
Dan pada akhirnya, aku tidak membalas pesan Gheo. Aku hanya membacanya berulang-ulang, memikirkan, lalu menimbang keputusan yang tak kunjung tiba ujungnya.
Begitu tiba di rumah, aku mencoba. Mencoba memberanikan diriku untuk membuka kotak CD kemarin, dan memberanikan diriku untuk menyaksikannya di laptopku. Aku memasang earphone ke telingaku, berjaga-jaga sebelum Bang Dhito mendengar apa yang sedang kusaksikan di laptop.
Ketika Video Player sudah kubuka, di detik kedua kulihat Billa muncul di kamera. Dengan kepala yang dibalut perban. Dengan tangan kanan yang sudah patah. Dengan kaki kanannya yang juga sudah patah. Dengan berbagai macam luka-luka yang tersebar di wajah, dan lengannya. Bahkan sebelah matanya tertutup perban.
Billa tersenyum begitu lebarnya, sambil berkata dengan ceria, "Kak Ghe! Artha! Selamat lihat ini untuk beberapa menit ke depan!" Di akhir katanya itu, senyumnya semakin lebar, semakin manis. Seakan-akan tidak ada beban yang memberatkan. Seakan-akan Billa masih sangat menikmati waktunya. Seakan-akan Billa tidak tahu, kalau saat itu, usianya tersisa tidak lebih dari 24 jam. "Billa mau ngomong dulu buat kak Ghe,"
"Kak, maaf ya, selama ini Billa enggak pernah bisa jadi seseorang yang kak Ghe mau. Makasih buat semuanya. Terutama buat waktu yang kak Ghe selalu luangin buat Billa. Tapi maaf, sampai detik ini Billa masih belum bisa jadi orang selalu ada di sisi kak Ghe. Billa cuma enggak mau bikin kak Ghe terbang tinggi terus jatuh. Billa mau semuanya ... biasa."
Dulu, yang aku tahu, Billa adalah orang yang selalu berada di sisi Gheo. Billa adalah orang yang sering menghabiskan waktu Gheo. Billa adalah ... orang paling penting untuk Gheo. Gheo begitu mencintai gadis ini. Mungkin rasa yang Gheo miliki, jauh lebih besar daripada rasa yang kumiliki untuknya. Maka dari itu, Gheo tidak pernah melangkah ke belakang meski aku mengejarnya. Meski Billa beberapa kali menolaknya.
Billa berdeham, dan diam beberapa saat. Ia tersenyum, tapi tidak ke kamera. Entahlah, mungkin ada seseorang di sana. Dan, sejurus kemudian, Billa berucap lagi tak kalah panjang, "Tapi kak, Billa enggak bisa. Billa punya hati ini buat seseorang di luar sana. Dan, menurut Billa, kak Ghe bakalan jaaauh lebih baik bersisian sama Artha daripada sama Billa. Artha sayang sama kak Ghe. Artha bener-bener sayang sama kak Ghe, jauh lebih besar daripada rasa sayang kak Ghe ke Billa. Dan Billa sayang sama Artha, kak."
Tenggorokanku rasanya sakit. Hanya Billa yang mengetahui betul seberapa besar rasa yang kumiliki terhadap Gheo. Billa sudah mendengar semuanya, dan mengerti segalanya.
"Kak Ghe, Billa udah bukan Billa yang kemarin kak Ghe tau. Billa juga enggak tau apa Billa masih punya banyak waktu apa enggak. Kalau Billa masih punya banyak waktu, Billa bakalan rela kok main-main lagi sama kak Ghe. Tapi...," Billa memalingkan pandangannya. Ia menggigit bibir bawahnya. Beberapa detik lampau, lalu Billa melanjutkan kalimat gantungnya, "...kalau seandainya Billa enggak punya banyak waktu, Billa mau dapet kabar kalau kak Ghe jagain Artha. Billa sayang banget sama Artha, kak. Dan Artha itu jauh lebih pantes bersanding sama kak Ghe daripada Billa yang ada di posisi itu. Jadi, kalau misalnya waktu yang Billa punya itu enggak banyak, Billa minta tolong sama kak Ghe buat jagain Artha."
"Oh iya, Billa lupa kalau Billa juga mau ngomong sama Artha," tiba-tiba topiknya hendak ia ganti. Aku tersenyum tipis ketika melihat Billa menyungging senyumnya. "Ar, gue cuma mau ngomong sedikit sekalian titip pesan."
Aku mengangguk, seolah-olah Billa benar-benar ada di hadapanku dan bicara secara langsung.
"Maaf ya Ar, selama ini gue enggak pernah cerita apapun sama lo tentang orang yang gue suka. Dari dulu gue takut lo berpendapat kalau gue ini bodoh banget. Karena ... believe it or not, gue suka sama seseorang yang bahkan sekadar kenal sama gue dari pertemuan enggak sengaja di kompetisi bahasa Inggris."
Aku percaya. Billa benar-benar sedang membicarakan Jaka.
"But that's the truth. Namanya Jaka. Lo boleh buka laci pribadi gue, Ar. Di sana ada buku harian warna pink yang ada pitanya. Di situ, gue nulis banyak banget hal tentang cowok ini. Di dalam laci itu juga ada stoples kecil, isinya gulungan kertas warna-warni. Gue selalu nulis semua harapan yang gue punya buat dia. Lo boleh baca-baca kalau lo mau. Tapi, gue mau titip satu hal, Ar,"
"Tanggal lima belas Oktober nanti di tahun dua ribu enam belas, cowok ini ulang tahun yang ke tujuh belas. Gue mau lo kasih buku harian sama stoples itu ke cowok ini. Alamat rumahnya ada di buku harian gue, di salah satu catatan gue. Kalau lo ketemu sama dia, tolong juga bilangin, maaf gue pergi tanpa pamit. Tapi lo jangan bilang kalau itu dari Billa. Bilang aja, dari Icha."
Lima belas Oktober.
"Oh iya, Ar," aku yang sempat berpikir beberapa saat, langsung menoleh kembali ke layar laptop. "Namanya itu Jaka Almi Syahidan. Pokoknya, kalau tahun-tahun depan lo ikutan kompetisi bahasa Inggris, kalau kebetulan sekolah kalian sekecamatan, kalian pasti ketemu kok. Rumah Jaka di Pasar Rebo sih seinget gue. Deket sini."
Jaka. Jaka Almi Syahidan. Pasar Rebo. Fix, J.A.S memang Jaka yang kukenal, yang menjabat sebagai ketua OSIS di SMA Saka. Laki-laki menyebalkan pada hari pertama masuk sekolah.
"Oh iya, buat kompetisinya, maaf ya Ar, gue harus nyuruh Anton milih lo yang gantiin gue. Gue berharap banget sama lo, A-"
"Billa, itu perban kamu kok tembus?" Billa belum selesai bicara, tiba-tiba aku mendengar suara Gheo menginterupsinya. Aku refleks melihat ke dahi Billa. Perbannya mulai memerah, dan semakin banyak. Tidak. Bukan hanya perban Billa yang memerah karena darah, tapi hidungnya juga mulai mengeluarkan darah. "Sebentar, Bil." Kamera langsung berputar entah ke mana, dan tiba-tiba semuanya gelap. Hanya ada suara Gheo yang terdengar begitu panik memanggil-manggil dokter sambil berlari-lari. Kuyakin ponselnya ia sakukan.
Jantungku berdebar kencang. Aku takut.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TJS 1.0] Jakarta
Teen Fiction[The Jakarta Series 1.0] ARTHA: Satu tujuanku setelah masuk ke Organisasi Siswa Intra Sekolah: menjadi seorang Ketua OSIS. Aku harus memenangkan persaingan, seandainya aku terpilih menjadi kandidat Ketua OSIS nanti. Aku harus membuat Gheo melihatku...