BAB 20 Ⅱ Jaka

5K 687 50
                                    

JAKA
Setelah mengunjungi Icha selama beberapa saat, aku langsung meluncur ke lokasi yang Artha minta kemarin. The Coffee Bean & Tea Leaf, di Transmart, Cempaka Putih. Gadis itu sudah duduk manis di salah satu kursi, ditemani sebuah laptop dengan segelas minumannya, entah apa isinya. Aku melirik jam sekilas sebelum menyapanya.

Oh, bodoh. Aku terlambat setengah jam.

Tanpa berpikir lagi, aku langsung duduk di hadapannya, dan menyapa dengan penuh rasa bersalah, "Ar, sorry, tadi gue ketemu Icha sebentar, dan gue hampir lupa kalau gue punya janji sama lo."

Artha mengangkat pandangannya dari layar laptopnya, menatapku lekat-lekat. "Jadi...," aku mengernyitkan keningku menunggu lanjutan kalimatnya yang dijeda lama. Artha menghela napasnya, "...lo udah ketemu Icha?"

Aku mengangguk. "Eh by the way, sebentar, gue mau mesen makanan," ucapku sambil bangkit dari kursi. Setelah melihat Artha mengangguk, aku langsung beranjak ke kasir, dan memesan Hot double chocolate dan Royal choco cake.

Diam-diam, aku menoleh ke arahnya. Memandangi Artha tanpa mengalihkan pandang. Sampai lelaki penjaga kasir itu berdeham, "Maaf, Kak, ini pesanannya." Aku menoleh ke arahnya, dan segera menerima pesananku, lalu langsung pergi dari hadapannya.

"Lo enggak ada pilihan lain selain cokelat gitu, Jak?" tanya Artha begitu aku kembali duduk di hadapannya. Aku hanya mengedikkan bahu. "It's not really delicious, does it?"

"Nothing is more perfect than chocolates, Artha," sahutku enteng sambil menyendokkan kuenya ke mulutku. Artha hanya mengerlingkan matanya, sementara aku hanya tersenyum. "Mau?"

Artha menyungging senyum, "Why not?" katanya. Aku langsung menyuapkan kuenya ke Artha. Kuyakin ia langsung menyesali ucapannya yang tadi.

"Jadi, kenapa lo minta ketemuan di sini? It's quite far." Aku bertanya lugas sambil terus menikmati kueku.

Artha diam sejenak. Ia melepaskan earphone yang menyangkut di telinganya sebentar, dan menatapku tanpa bicara apapun. Kami bersitatap dalam diam. Aku menunggunya bicara. Tapi tak ada perubahan. Artha hanya terus-menerus memandangku.

Aku berdeham, kemudian mengalihkan pandanganku ke mana-mana. Tapi ketika pandanganku kembali ke Artha, senyumnya semakin lebar.

"Ar, I'm serious." Artha mengangguk tanpa memudarkan senyumnya. "Kenapa lo minta ketemuan di sini?"

Artha merogoh ranselnya yang ada di bawah meja, mengeluarkan sebuah kotak silver yang diikat rapi dengan pita. "Happy birthday for the seventeenth time. Maaf gue enggak bisa kasih apa-apa. Gue cuma bisa kasih satu titipan dari seseorang. Dan gue cuma bisa nunjukkin lo sesuatu." Ia memutar laptopnya ke arahku, dan menyodorkan kotak tersebut, dan earphone yang baru ia lepas.

"Maafin Billa ya Jak. Dia pergi tanpa pamit."

Aku memasangkan earphone ke telingaku, kemudian memutar video di laptop Artha. Melihat Icha tampak di sana. Icha. Ritha Arsabilla, satu-satunya gadis yang pernah kusukai. Orang yang datang dan pergi tanpa permisi dan pamit.

Aku menyimak videonya sungguh-sungguh. Menyaksikannya sampai habis. Mendengarkan seantero curahan hati Icha. Untuk Gheo, untuk Artha. Tentang Gheo, tentang Artha, dan tentang seorang laki-laki yang disukainya.

"...Artha bener-bener sayang sama kak Ghe, jauh lebih besar daripada rasa sayang kak Ghe ke Billa...."

Aku melirik ke Artha beberapa saat sambil terus mendengarkan. Jadi, selama ini Artha menyukai Gheo. Semua perkiraanku salah. Salah besar, bahkan.

[TJS 1.0] JakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang