BAB 16 Ⅱ Jaka

3.4K 605 10
                                    

JAKA
"Jak, gue laper." Pintu bus baru saja tertutup, dan Artha baru saja menyatakan itu. Aku mengerlingkan mataku dengan jengah ke arahnya. "Turun di Gramedia sebentar, ya? Pleaseee." Dua tangannya bertaut erat. Matanya membulat. Mau tidak mau aku harus menurutinya.

Aku hanya merespons dengan desahan berat. Dan di detik yang sama, senyumnya langsung melebar.

Kami turun di halte Tegalan, kemudian menyeberang ke arah gedung Gramedia hanya untuk makan-mungkin. Untungnya, hari ini sekolah dipulangkan lebih cepat karena seluruh guru harus rapat, sehingga seluruh siswa sudah dibiarkan bubar dari kelasnya pada pukul sebelas.

"Gue mau Dunkin'!" Ujar Artha semangat sambil berlari menyeberangi jembatan. Aku hanya bergumam beberapa kali, dan mengikutinya berjalan dengan benar-benar malas. Aku baru tahu kalau Artha bisa bersikap kekanak-kanakan juga. Image-nya sebagai seorang pemimpin yang tegas seketika lenyap.

"Mana kenyang sih Ar kalau lo cuma makan donat," aku menyeimbangi langkahku dengannya. Sejurus setelah aku mengucapkannya, bibir Artha langsung mengerucut. Persis layaknya anak usia lima yang tidak dibelikan es krim. Lagi-lagi, aku harus mengalah. "Oke-oke, terserah."

Aku membuka pintu Dunkin' Donuts, membiarkan Artha masuk lebih dulu, baru aku mengekorinya berjalan ke meja kasir. "Dua donat almond, satu caramel latte, sama...," Artha menengadah ke arahku beberapa saat selagi aku masih membaca daftar menu.

"Satu Chocolate Vanilla, satu Chocolate Strawberry, dan satu Ice Chocolate." Ucapku. Pelayan yang berdiri di belakang mesin kasir itu mengulang pesanan kami, dan menyebutkan total harga yang harus kami bayar. "Udah, gue aja, Ar. Enggak apa-apa." Aku menahan Artha yang baru membuka dompetnya. Segera kukeluarkan beberapa lembar rupiah.

Aku tidak tahu kenapa Artha tampak sangat ceria hari ini. Mungkin karena sekolah pulang lebih awal sehingga kelasku tidak perlu melewati jam pelajaran sejarah yang super membosankan? Bisa jadi.

"Jak, gue boleh nanya enggak sama lo?" aku hanya mengangguk sambil menyesap Ice chocolate-ku. "Tapi janji jangan ketawa." Ia menunjukku dan masih memperlihatkan wajah lucunya. Aku mengangguk lagi. "Lo pernah enggak sih, suka sama orang?"

Aku berhenti menikmati minumanku sejenak. Aku memandang Artha, tapi tidak seserius tatapannya. Kenapa tiba-tiba Artha membicarakan hal seperti ini?

"Enggak biasanya lo bahas ginian, Ar," cetusku.

Artha berdecak sambil memutar bola matanya, "Ck, jawab aja sih Jaaak. Gue cuma mau tau."

Hening sesaat. Pikiranku hilir mudik ke mana-mana. Yang terbayang di benakku hanya Icha. Karena memang hanya ada Icha. "Pernah. Sekali, dan gue harap itu yang terakhir sebelum gue nemuin yang bener-bener ditakdirin sama gue."

Aku menjawab sekenanya saja. Karena ... jujur, aku tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya. Yang terakhir? Tidak juga. Aku tidak sungguh-sungguh berharap kalau Icha adalah satu-satunya gadis yang mengisi hatiku. Icha adalah bagian dari masa lalu yang tidak akan kembali. Aku harus segera melupakannya, dan melangkah ke depan.

"Siapa yang pernah lo sukain itu?"

Aku menggeleng. "Apa gue harus banget cerita ke lo, Ar?" Artha mengangguk mantap. Gila. Memangnya ada apa sampai-sampai Artha harus tahu siapa Icha? Tapi, kurasa, adakalanya juga aku harus berbagi cerita kepada orang lain. Lima tahun memendam semuanya sendiri bukanlah hal yang paling baik bagiku. Justru, dengan begini, aku merasa agak tersiksa setiap kali aku mengingat namanya. Setiap kali aku terbayang akan sosoknya. Setiap kali ... aku melihat Artha.

+ + +

Dua tahun yang lalu....

Dasiku sudah tersimpul dengan rapi setelah berulang kali kutata ulang di hadapan cermin. Aroma parfumku sudah pas. Tidak kurang, dan juga tidak berlebihan. Sekali aku menghirup aroma mawar putih yang ada di tanganku.

Aku benar-benar siap hari ini.

Pukul delapan tepat aku sudah berada di salah satu SMP ternama di Ciracas. Bahkan aku sudah siap tampil di depan mata Icha.

Selagi menunggu namaku dipanggil, aku hanya duduk di aula sambil membaca-baca ulang teks pidato yang akan kubacakan hari ini. Tapi, sampai namaku dipanggil, sampai aku membacakan teksnya, sampai aku mengucap salam penutup, dan sampai tepuk tangan terdengar sangat riuh di dalam ruangan, aku tetap tidak melihat Icha duduk di dalam ruangan ini.

Padahal, setahun yang lalu Icha berjanji padaku, ia akan hadir hari ini, tahun depan, dan seterusnya sampai kompetisi terakhir kami di sekolah menengah.

Aku tetap mengedarkan pandanganku ke mana-mana, mencari Icha di dalam ruangan, tapi tetap saja, aku tak kunjung melihatnya. Sampai beberapa peserta news reading sudah naik turun panggung, Icha tetap tidak terlihat.

"Good Morning, ladies and gentleman," sapaan dari atas panggung itu membuatku refleks menoleh ke sumber suara, melihat seorang laki-laki tengah tersenyum begitu ramah. Tidak. Tidak hanya senyuman laki-laki tersebut yang kulihat, tapi gadis di sebelahnya!

Gadis itu, Ritha Arsabilla. Orang yang sejak tadi kunanti-nantikan. Thank God, Icha tidak benar-benar hilang hari ini.

Mataku setia menyorot ke arah Icha, ketika ia bicara maupun tidak bicara. Namun, Icha terlihat berbeda. Tidak seperti Icha yang sejak dua tahun lalu kukagumi. Hari ini Icha kelihatan begitu gugup di atas panggung, dan tampak gelisah sendiri.

Dan aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ketika Icha dan kawannya-Anton-baru turun dari panggung. Aku langsung mengejarnya, dan menahan Icha sebentar. "Cha!" panggilku. Icha berbalik, dan menatapku dalam diam. "We both waited for this beautiful day." Ucapku sambil menyodorkan mawar putih yang kubawa.

Icha hanya diam, membelalak menatapku. Namun sialnya, laki-laki bernama Anton itu tiba-tiba kembali, dan menarik tangan Icha sambil berkata, "Ikut gue."

What the hell.

Icha dan aku memiliki janji untuk bertemu hari ini, tapi laki-laki itu membuyarkannya semudah itu?!

+ + +

Artha tercenung menatapku. Matanya terbelalak. Aku diam beberapa saat sambil memandangi Artha. Tapi ekspresinya tak kunjung berubah, membuatku gemas hingga menepuk tanganku di depan wajahnya, membuat lamunannya buyar begitu saja.

Artha menggekeng-gelengkan kepalanya. "Jak, lo serius?!" Aku hanya memberikan anggukan sambil mulai menikmati donat yang kupesan. "That's totally crazy. Gue enggak nyangka lo sama si Icha itu bisa sampai sama-sama suka, padahal kalian cuma kenal dari momen sesederhana itu, dan kalian bener-bener jarang ketemu."

Senyumku mengembang tipis, "Yah, Ar, namanya juga bocah baru masuk SMP. Pengalaman baru ketemu cewek. Tapi ya, enggak enak juga sih sebenernya. Gue rasa gue bener-bener nyesel setelah kejadian itu."

"Buat apa lo nyesel atas perbuatan itu? At least, lo udah ungkapin apa yang lo rasain, Jak," ucap Artha. Aku mengedikkan bahu. Lalu, jika aku sudah mengungkapkan perasaanku itu, apa yang menguntungkan? Nyatanya, Icha pergi tanpa pamit pada hari itu. Benar-benar pergi, dan tidak akan kembali. "Tapi, kalau emang memori itu nyiksa lo, ya mungkin lo harus lupain Icha, Jak."

Aku mengangguk. "Gue emang harus ngelupain Icha, Ar."

Melupakan Icha mungkin bisa kubilang mudah, seandainya tidak ada Artha sekarang, besok, dan seterusnya.

"Tapi, Ar," aku berhenti menyesap Ice Chocolate-ku sedikit. "Gue enggak akan bisa lupa sama Icha selama lo masih ada di sebelah gue."

Artha bergeming. Punggungnya yang semula tegap, kini tersandar. Alisnya bertaut seiringan dengan matanya menyorot lurus ke arahku. Artha diam beberapa saat sampai akhirnya menyatakan, "Oke, ingetin gue kalau ini adalah hari terakhir gue ada di sebelah lo, Jak. Orang yang udah ninggalin lo tanpa alasan kayak Icha itu harusnya enggak perlu lo pertahanin, atau lo tunggu, atau bahkan lo harapin," ia mengedikkan bahunya, mengambil napas, baru melanjutkan, "lo harusnya juga pergi. Ninggalin Icha, sebagaimana Icha ninggalin lo tanpa alasan yang jelas, dan tanpa pamit."

Sebesar apa memangnya rasa peduli Artha sampai-sampai ia bersikap seperti ini?

[TJS 1.0] JakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang