BAB 13 Ⅱ Artha

3.9K 627 4
                                    

ARTHA
Tenggorokanku rasanya seperti tercekat. Hatiku rasanya seperti diserbu seonggok jarum. Mataku rasanya sudah banjir. Jantungku juga terasa berhenti sesaat. Kuakui aku munafik, sejak kali pertama dikabarkan bahwa aku, Jaka, dan Affan yang mewakili sekolah. Aku benar-benar munafik. Apa yang kuucapkan siang itu benar-benar tidak keluar sesuai isi hatiku. Aku hanya memaksakan diriku untuk menutupi segalanya, padahal semuanya hanya akan berujung sesakit ini.

Ada lagi kah orang bodoh sepertiku yang menyia-nyiakan kesempatan kedua? Kurasa tidak. Aku adalah satu-satunya orang bodoh tersebut yang ada. Aku yakin, Billa sangat kecewa. Aku yakin Billa akan marah besar kepadaku, andai ia masih berdiri di sebelahku.

"Ar, jangan bengong. Itu Affan udah sampai di bawah, lo masih jalan pelan-pelan sambil bengong," petikan jari di depan wajahku membuat kesadaranku kembali begitu saja. Kulihat Jaka tersenyum. "Enggak usah lo pikirin hasil tadi. Kita masih punya kesempatan tahun depan kalau emang lo mau, Ar."

Aku menggeleng. Ini adalah kesempatanku yang kedua, dan aku telah menghancurkannya. Aku yakin, tidak akan ada yang namanya kesempatan ketiga.

Aku mengabaikan Jaka sebelum ia kembali bicara. Lekas aku berlari menuruni tangga, menyusul Affan yang sudah lebih dulu pergi ke tempat parkir untuk kembali ke mobil. Aku hanya mendengarkan musik sepanjang perjalanan, sementara Jaka tampak sibuk dengan novel yang masih belum selesai dibacanya-Percy Jackson-dan Affan kelihatan asyik sendiri dengan ponselnya.

"Pak, saya sama Artha di depan jembatan penyeberangan aja, enggak usah sampai ke sekolah, ya," pesan Jaka kepada sopir yang mengantar dan jemput kami hari ini. Respons yang Jaka dapatkan hanya acungan ibu jari, dan sesuai permintaannya, mobil yang kami tumpangi berhenti di pinggir jalan di dekat jembatan penyeberangan.

Aku berjalan memimpin. Namun aku tidak berbelok ke arah halte, melainkan tetap berjalan lurus. "Ar, mau ke mana?" tanya Jaka. Aku berhenti sejenak, dan berbalik. Beberapa saat aku berpikir. "Haltenya kan sebelah sini," katanya. Padahal aku sudah tahu.

"Sevel," jawabku acuh tak acuh. Jaka hanya mengangguk-angguk, kemudian berlari ke arahku, mengikuti langkahku. "Lo ngapain?"

"Ikut. Enggak enak aja pulang sendiri," katanya sama tak acuhnya denganku baruasan. Aku hanya mengedikkan bahu, dan tetap berjalan hingga menuruni tangga penyeberangan, dan berjalan sedikit hingga tiba di Seven Eleven yang cukup sepi siang ini. Aku langsung menempati salah satu meja kosong yang ada di dalam, tepat di sebelah jendela. "Lo mau apa? Biar gue aja yang beli."

"Big Gulp yang Coca Cola aja, Jak," balasku. Jaka tak merespons. Laki-laki itu langsung berbalik, dan memesannya ke kasir, sementara aku menunggunya hingga Jaka kembali ke meja yang aku tempati.

Ketika menaruh minuman pesananku di atas meja, Jaka langsung melontarkan pertanyaan, "Tadi kenapa? Lo emang berharap menang, ya?" aku tersenyum getir sesaat, kemudian mengedikkan bahu sambil menyesap minumanku. "Tapi, yang gue liat, lo itu bukan cuma berharap, Ar. Lo keliatan kayak ... lo itu emang harus menang, apapun yang terjadi. Is that really what you think, Ar?"

Aku menggeleng.

Aku tidak ingin menceritakan tentang masa laluku kepadanya. Tidak akan. Tentang Billa, tentang Gheo, tentang segalanya. Tidak. Biar saja aku menguburnya sendiri di dalam pikiranku, dan biarkan saja aku memendam rasa ini sendirian. Aku tidak perlu menularkan rasa sedih dan sesalku.

"Gue keliatan kayak apa? Harus menang? Terus, apa lo juga liat kalau gue ini munafik?" sebelah alis Jaka langsung terangkat. Wajahnya yang semula penasaran, berubah heran. "Lo enggak perlu nutupin kenyataan kalau lo sadar bahwa gue munafik, Jak."

Jaka berdengus. Punggungnya yang tadi tersandar kini tegap. Ia menyeringai tipis, "Lo emang munafik. Kemarin lo berkoar-koar kalau lo enggak mau ikut kompetisi ini, Ar. Tapi nyatanya apa? Lo berharap menang."

Aku menggeleng. Pandanganku berkutat pada ujung sepatuku. "Lo enggak tau apa-apa, Jak," ucapku lirih. Pandangan Jaka tak berubah. Pun dengan ekspresinya. Serius. Alisnya yang tebal saling bertautan, matanya menyipit cukup tajam. Aku menyeringai tipis kepadanya sambil menggapai gelas minumanku, dan ransel di belakang punggungku. Lekas aku beranjak.

Tidak. Bukan hanya aku yang beranjak, tapi Jaka turut berlari; mengejar. Hingga tiba saatnya aku cukup lelah berlari, Jaka menggapaiku. "Jangan marah," katanya tenang. Senyumnya tampak begitu sejuk. Kali ini saja-mungkin, aku terpaku memandangnya. Matanya yang teduh pun mendukung rasanya. Membuatku begitu saja mematung tanpa kata. Jaka tersenyum lebih lebar lagi, membuat lesung pipit di pipi kirinya terlihat sangat jelas, "Gue enggak akan bikin lo terganggu kalau emang lo enggak mau cerita apa-apa, Ar."

Baru menyadari ada yang janggal, aku buru-buru menggelengkan kepalaku. Kulepaskan genggaman tangannya sehingga Jaka turut terkejut, dan bersikap seolah-olah ... ia salah. "Eh, sorry, sorry, gue enggak bermaksud buat...,"

Aku menginterupsinya dengan mudah hanya dengan menunjukkan senyumku yang tegas menandakan bahwa aku baik-baik saja. "Udah mau sore. Gue takut Jakarta macet," lekas kualihkan pembicaraan, dan lantas berbalik, kemudian melanjutkan langkahku.

Jaka terkekeh pelan sebelum kudengar sepatu hitamnya bersuara, dan semakin dekat, sampai kusadar bahwa Jaka sudah berdiri di sebelahku. "Takut Jakarta macet? Biasanya kan juga kayak gitu, Ar," katanya. Aku hanya mengangguk pelan sambil berjalan mundur sambil memandangi Jaka yang masih menempelkan e-money miliknya sebelum masuk. "lagian, kalau harus macet-macetan di busway, gue juga biasa aja."

Senyumku yang lebar, memudar dalam beberapa saat saja. Memangnya ada orang yang menyukai kemacetan? Hanya aku yang berpikir kalau ia aneh, atau memang Jaka aneh? Entahlah. Mungkin Jaka memang memiliki alasannya sendiri.

Selagi menunggu bus ke arah Kampung Melayu tiba, Jaka dan aku berbincang-bincang banyak. Senda gurau, tertawa, dan berbahagia. Tapi, aku merasakan keganjilan. Aku selalu membenci laki-laki di sebelahku ini, kan? Tapi kenapa? Rasa-rasanya, aku nyaman dan aman saja berdiri di sebelahnya. Seolah-olah laki-laki ini bukanlah Jaka Almi Syahidan yang kutemui di hari pertama sekolah.

"By the way, Jak, sorry ya yang tadi," tuturku sambil menggerayangi tengkuk. Kupikir itu biasa, tapi, setelah aku berulang kali berpikir kembali, semakin aku merasa bersalah. Aku seperti seorang rekan tak beradab, yang melulu kesal terhadapnya, yang selalu membencinya, dan yang selalu tidak ingin berada di sebelahnya. "gue cuma agak emosi. Gue juga enggak tau kenapa."

Jaka menegapkan punggungnya yang tersandar ke kaca. Beriringan, kami berjalan ke arah bus yang baru tiba, dan baru terbuka pintunya. Well, cukup sepi. Mungkin karena masih belum terlalu sore. Jaka dan aku menempati kursi yang paling dekat dengan pintu sebelah kiri. Setelah bus melaju, baru Jaka melontarkan pertanyaan, yang tampaknya tertunda, "Ar, lo beneran enggak apa-apa, kan?"

Kami bersitatap. Lama. Lama sekali. Matanya masih begitu teduh. Senyumnya tipis namun kentara ademnya. Jantungku berdebar tak seperti biasanya. Pikiranku kalang kabut. Nama gadis itu kembali berputar di benakku. Momen dua tahun silam itu teringat kembali, berulang-ulang selayaknya kaset yang tiada hentinya diputar ulang.

"Kalau gue ... kenapa-napa, emangnya lo bakalan peduli?" tanyaku lirih. Aku memalingkan pandanganku, menutupi betapa memilukan dan memalukannya wajahku. Mendengar pertanyaan yang kulontarkan sendiri saja sudah menyakitkan. Lantas aku tidak tahu kelanjutannya jika aku menceritakan segalanya pada Jaka. Jaka mengedikkan bahunya. "Lagian gue enggak apa-apa, Jak. Cuma ... yah, punya memori buruk sama kompetisi bahasa Inggris waktu kelas sembilan dulu."

Aku kembali bersandar, menghela napas beberapa kali, dan membuangnya lagi.

"Gue juga sama, Ar," ucap Jaka ditambah senyum. Teringat memori buruk, tapi ia tersenyum sebegitu manisnya. "Gue pernah kehilangan seseorang di hari di mana seharusnya gue berbahagia, di mana seharusnya semua penantian gue terbayar lunas, di mana gue seharusnya show off setelah berbulan-bulan latihan speaking."

Jaka berdesah berat. Aku menoleh sedikit ke arahnya. Jarang aku melihatnya muram seperti ini. Mungkin Jaka sama denganku. Tersiksa karena kompetisi ini.

Kehilangan di hari yang seharusnya dilalui dengan perasaan bahagia. Mungkin, bila aku berada di posisi Jaka pada saat itu, yang aku rasakan hanya seperti ... terbang, kemudian jatuh. Tiba-tiba. Tanpa persiapan.

[TJS 1.0] JakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang