BAB 05 Ⅱ Artha

4.8K 775 58
                                    

ARTHA
Kira-kira lima menit setelah Jaka menyalakan lilin, kemudian angkat kaki dari pendopo, kini giliranku. Akulah satu-satunya kandidat ketua OSIS yang belum pergi dari pendopo ini. Dan, mungkin, akulah satu-satunya orang yang muak berlama-lama di sini. Terlebih, sejak pertama kali tiba di sini, fokus mataku tetap sama: Gheo dan Naya yang tengah bersenda gurau.

Setelah Gheo menyambarkan api ke lilinku, ia hanya tersenyum kepadaku tanpa mengatakan apapun. Tidak seperti yang sebelum-sebelumnya kudengar. Namun, melihat senyumnya mengembang saja sudah membuatku sukses melupakan suasana sekitar. Aku langsung melangkah, mengikuti kemana jalannya terarah, hingga aku melihat Ardan yang tengah berhadapan dengan seorang kandidat ketua OSIS.

Dari postur tubuhnya, sudah jelas aku bisa mengetahui bahwa itu adalah Jaka. Aku hanya tersenyum menyapa Ardan, dan berdiri di belakang Jaka tanpa bicara apapun. Namun, beberapa saat setelah aku menghentikan langkahku, Ardan langsung bicara, "Kamu," ia menunjukku, membuatku langsung berdiri dengan posisi siap. Senyumku mengembang lagi. "Kamu tau enggak, jumlah bintang di atas ada berapa?" tanpa mengalihkan perhatiannya dariku, Ardan bertanya, sambil menunjuk ke atas.

Aku bergumam, lalu menengadah, memerhatikan jajaran bintang-bintang yang tersebar tak teratur. Dan selama memerhatikan itu, aku tak berhenti bergumam, sampai aku menyimpulkan jawaban, "Tidak terhingga, Kak," ucapku agak yakin. Keadaan hening sebentar. Ardan tersenyum, dan sepintas melirik Jaka sebelum pandangannya kembali ke padaku. "Eh, bener enggak, sih?" aku bergumam, bertanya kepada diriku sendiri, yang tampaknya ... terdengar jelas hingga ke telinga Jaka, bahkan Ardan.

Ardan mengangguk yakin, "Kamu bener. Tapi kenapa enggak yakin gitu?" laki-laki itu menyanggah dagunya dengan tangan kanan. Senyumku mengembang menyadari jawabanku tepat. "Kalau punya keputusan itu harus mapan. Kamu kan dipercaya jadi kandidat ketua OSIS, berarti kamu itu lebih dipercaya buat mimpin daripada yang lainnya, dong."

Ocehannya panjang. Aku hanya mengangguk-angguk mengiyakan. "Oh iya, saya lupa kamu masih di sini," pandangan Ardan kembali ke laki-laki di hadapanku. Ardan menepuk-nepuk bahu Jaka, "Udah, kamu boleh lanjut jalan."

Setelah Jaka beranjak, aku melangkah sedikit lebih dekat dengan Ardan.

Ardan berdeham. Kedua tangannya berpindah ke belakang tubuhnya, lalu tatapannya menyorot lurus ke arahku, "Kamu kandidat, ya?"

"Iya, Kak," aku menjawab dengan tegas.

"Kalau misalnya kamu enggak terpilih jadi ketua OSIS, jabatan apa yang kamu mau?" aku diam sejenak, balas memandang Ardan yang kelihatan serius. Sungguh, aku tidak terbayang jabatan lain selain ketua OSIS. Ardan memetikkan jarinya di depan wajahku, "Saya nanya. Jangan bengong. Ngeri tau enggak malem-malem di sini bengong."

Aku cengar-cengir sambil menggerayangi tengkukku. "Jabatan selain ketua OSIS...," aku berpikir sambil mengalihkan pandanganku ke mana-mana. "kalau enggak jadi ketua OSIS sih, saya mau jadi wakilnya, Kak. Tapi ya, tetep aja, saya maunya jadi ketua OSIS."

Sekarang, anggap saja aku adalah orang yang-bisa dibilang-gila akan takhta. Aku benar-benar menginginkan posisi tertinggi tersebut. Aku egois. Aku bahkan pernah bilang pada Jaka, bahwa aku akan memusuhinya apabila ia menerima suara lebih banyak dariku. Padahal, sebenarnya tidak juga. Aku tidak memusuhi Jaka karena aku kalah, tapi karena aku memang memusuhinya, sejak lama.

Ardan manggut-manggut dengan senyuman lebar di bibirnya, "Tahun lalu, waktu saya jadi panitia LDKS di angkatannya Naya, saya enggak denger ada satu pun kandidat yang bersikeras kayak kamu," katanya. Aku hanya tersenyum tipis. "tapi ya ... bagus sih, kamu bisa ngomong kayak gitu. Berarti kamu yakin dong kalau kamu bisa memenuhi kriteria sebagai ketua OSIS?"

Aku diam sebentar sebelum mengangguk agak ragu, "Semoga sih, Kak."

"Tapi jadi pemimpin kan enggak gampang," Ardan melipat kedua tangannya di depan dada, dan menyeriuskan pandangannya ke arahku. "Kalau seandainya kamu jadi pemimpin terus anggotamu ada yang enggak nurut, kamu apain?"

[TJS 1.0] JakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang