BAB 12 Ⅱ Jaka

3.7K 610 7
                                    

JAKA
Setelah memberikan surat dispensasi ke kelas, Artha dan aku langsung beranjak ka laboratorium bahasa Inggris di lantai dasar, menghampiri Affan yang mungkin sudah lebih dulu tiba di sana. Dan benar, Affan sudah di sana dengan laptopnya, dan tampak sedang sibuk mengetik sambil membaca catatan di bukunya.

"Jak, kita ada di posisi pro atau kontra?" tanya Affan begitu aku membuka pintu ruangan kecil yang ada di dalam lab-ruangan pribadi untuk beberapa guru bahasa Inggris. "Gue agak bingung sama motion-nya. Death penalty, sebenernya sih gue pro, tapi kan enggak semua orang bakalan mikir kalau para pengedar narkoba itu emang harus dihukum mati."

Aku ambil posisi di sebelah Affan, kemudian membuka laptopku sendiri. "Gue pribadi sih kontra, Fan," sangkalku, kemudian melirik Artha yang baru ambil posisi di depan Affan dan aku, "lo sendiri, pro apa kontra, Ar?"

"Kayaknya gue pro, deh," katanya sambil mengambil laptopnya sendiri, kemudian turut membukanya. "kalau drug dealers itu enggak dihukum mati, buat apa? Mereka udah rusak, mau ngerusak orang lain. Mereka itu udah enggak berguna, dan masa mau dibiarin enggak berguna buat orang lain?"

+ + +

"Why do you think that death penalty for drug dealers is needed? [kenapa kamu berpikir bahwa hukuman mati untuk pengedar narkoba itu dibutuhkan?]" juri pertama memandang lurus ke Artha ketika mulutnya mengajukan pertanyaan yang dikhususkan kepada speaker C-Artha. Aku melirik Artha yang berdiri di sebelah Affan. Ia menghela napasnya. Dan ketika baru saja hendak melontarkan jawaban, juri yang sama melanjutkan ucapannya, "I mean, isn't it forbidden to steal someone's rights? [Maksud saya, bukankah mencuri hak orang lain itu tidak diperbolehkan?]"

Artha tersenyum tipis, dan menghela napasnya, "Yes, it's forbidden to steal someone's rights, and plus, nobody can steal it from someone else. But, in this case, why do we need to let the drug dealers alive while they are killing theirshelves with the drugs they consume? Isn't it better if they just die? [Iya, memang dilarang untuk mencuri hak orang lain, dan, tidak ada seorang oun yang bisa mencurinya dari orang lain. Tapi, di kasus ini, kenapa kita harus membiarkan para pengedar narkoba itu hidup sementara mereka membunuh dirinya sendiri dengan narkoba yang mereka konsumsi? Bukankah lebih baik mereka mati saja?]"

Jawabannya begitu mantap. Aku bahkan tidak terpikir akan jawaban seperti itu jika aku berada di posisinya. Senyum Artha lebar, penuh keyakinan. Namun sejurus kemudian, sang juri juga tersenyum sama lebarnya, dan malah memperpanjang bahasan mereka.

"But still, we can't steal someone's rights. We can let them alive but jailed. [Tapi tetap saja, kita tidak bisa mencuri hak seseorang. Kita bisa membiarkan mereka hidup tapi dipenjara.]"

Artha berdeham, menyita perhatian dua juri lainnya yang tengah sibuk mencatat sesuatu. Mungkin nilai dalam sesi tanya jawab ini. "If they are only being jailed, they will be tired of it, then they will find a way to get out of the jail, and started dealing drugs. Again. [Kalau mereka hanya dipenjara, mereka akan lelah, dan mereka akan mencari jalan untuk keluar dari penjara, dan mulai mengedarkan narkoba. Lagi.]" Refleks aku turut tersenyum mendengar jawabannya. Aku selalu menyukai sikap Artha yang percaya diri.

Juri dengan name tag Andini tersebut tersenyum, "Okay then, thank you," tuturnya sambil menaruh penanya di atas meja. Kami bertiga mengucap terima kasih dan penutupan, kemudian pamit keluar dari ruangan.

"Gue mau ke toilet sebentar, ya." Affan dan aku hanya mengangguk sambil terus berjalan ke ruang tunggu peserta. Sekiranya lima belas menit, Artha baru kembali ke ruang tunggu, dan langsung menghampiri Affan dan aku.

Aku berulang kali melirik ke jam cukup besar yang menggantung di dinding. Pukul satu lebih empat puluh. Aku dan timku adalah tim terakhir yang tampil tadi, dan dua puluh menit yang akan datang akan ada pengumuman pemenang. Tiga orang juara satu, dua, dan tiga, dan dua orang yang akan menempati posisi harapan satu, dan harapan dua, yang akan menjadi dua orang cadangan untuk kompetisi selanjutnya menuju ke tingkat DKI Jakarta.

Pemenang tidak diambil secara tim, melainkan individu. Anggota tim manapun yang memiliki potensi baik dalam speaking akan dipilih untuk mewakili Jakarta Timur ke kompetisi antar provinsi.

"Eh, tadi gue bad banget enggak sih speaking-nya?" Artha menepuk kedua pipinya, dan memandang Affan dan aku penuh harap. Affan dan aku bersitatap beberapa saat, kemudian serentak menggeleng. "Ih, enggak usah bohong."

Aku menggeleng, "Enggak, Ar. Seriously, lo tadi bagus banget pas speaking." Lagi pula, tidak perlu berbohong juga. Artha memang bagus ketika speaking tadi. Aku tak pernah tahu sebelumnya kalau Artha memiliki kemampuan yang cukup baik dalam berbahasa Inggris.

Kami hanya berbincang-bincang sedikit selagi menunggu panitia kompetisi datang ke ruang tunggu untuk mengumumkan hasil kompetisi hari ini. Kira-kira dua puluh menit aku membaca novel fantasiku, baru aku mendengar seseorang mengetuk-ngetuk mik-mengeceknya.

"Okay, good afternoon everybody...," wanita yang menjadi juri di ruangan kompetisi tadi menyapa, dan memulakan basa-basinya yang agak membosankan bagiku. Kiranya sepuluh menit atau lima belas, baru wanita dengan kerudung biru itu membuka map kuning di atas mejanya. Sebuah map yang tadi kulihat di atas meja masing-masing juri.

Jantungku berdebar. Benar-benar kencang. Kupikir aku tidak siap mendengar pengumumannya, tapi aku sangat penasaran. Jujur, sebenarnya aku tidak begitu excited dengan sebuah kemenangan dalam kompetisi ini, dan tampaknya begitu pula dengan Artha dan Affan. Aku bisa mengetahuinya dengan jelas sejak melihat reaksi Artha dan Affan di hari ketika kami baru diberitakan akan mewakili sekolah.

"The third winner is...," Artha mengangkat kepalanya perlahan ketika jurinya menyebut. Matanya begitu berbinar. Aku bisa mendakwa, bahwa Artha mengharapkan sesuatu dari pengumuman sore ini. "from group four, speaker ... A!"

Bahu Artha yang sudah tegap langsung lesu kembali. Punggungnya kembali melekat ke sandaran kursi. Desah berat terdengar cukup jelas hingga ke telingaku, layaknya harapannya sudah hilang. Artha hanya bertepuk tangan seadanya. Tidak semeriah orang-orang.

"The second winner is ... speaker A from...," wanita tersebut mengedarkan pandangannya ke seluruh audiensi dengan senyum merekah. "...group twenty!"

Hampir. Nomor urut kami 21, dan yang menempati posisi kedua justru nomor urut dua puluh. Entahlah. Kupikir kami tidak memiliki harapan apapun. Meskipun jika kulihat ke sebelah kiri, Artha tampak mengharapkan sesuatu.

"And the champion is...," sekali lagi, wanita itu mengedarkan pandangannya. "she's a speaker C!" Artha langsung membelalak. Kepalanya yang tertunduk kini terangkat. Matanya semakin berbinar, menunjukkan betul kalau ia benar-benar ... berharap akan kemenangan.

Tapi sayangnya, semuanya kandas. Harapan Artha luput, ketika sang juri berkata, "and she is from group twelve!"

[TJS 1.0] JakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang