BAB 09 Ⅱ Artha

4.3K 658 7
                                    

ARTHA
Besok adalah hari kemerdekaan Indonesia yang ke tujuh puluh satu, dan hari ini diadakan berbagai macam lomba guna memperingati hari kemerdekaan. Seharusnya aku sedang asyik-asyiknya meneriaki kawan-kawanku yang mengikuti lomba balap karung, memasukkan benang ke dalam jarum, membawa kelereng dengan sendok, ataupun yang berpartisipasi dalam tarik tambang.

Tapi, sayangnya aku tidak bisa berteriak-teriak menyemangati seperti yang pernah kulakukan setahun lalu. Kini aku harus berkeliling ke sana ke mari. Setelah barusan aku mendata dan meminta para peserta balap karung mengisi daftar hadir, sekarang aku harus beralih ke tempat lain untuk mencari Jaka.

"Kak," panggilan seorang laki-laki dengan seragam putih abu-abu membuat langkahnya terhenti, dan membuatku refleks mengalihkan perhatian dari map berisi kertas-kertas yang ada di tanganku. Aku hanya tersenyum tipis kepada adik kelas di hadapanku. "Anak kelas saya yang ikut lomba tarik tambang ada yang enggak bawa baju olahraga. Gimana?"

Aku melihat jam di ponselku sepintas. "Masih jam setengah delapan. Boleh pulang dulu sebentar buat ambil. Tapi usahain jam sembilan udah kembali ke sekolah, ya. Soalnya yang tarik tambang itu mulai jam sepuluh di jadwalnya, dan jam sembilan itu harus udah registrasi ulang," balasku panjang lebar, dan kuakhiri dengan senyum. Ia hanya berterima kasih secara singkat, kemudian pergi.

Aku melanjutkan langkahku. Di lembaran yang ada di tanganku, hanya Jaka yang belum menandatangani daftar hadir, dan senior kelas dua belas bilang daftar hadir panitia harus sudah terisi full secepat-cepatnya.

Jaka sialan. Selalu saja menyebalkan.

"Ar!" Thank God! Aku langsung berbalik ketika mendengar suara Jaka. Serta-merta aku berjalan mencak-mencak ke arahnya, dan memukulnya dengan map yang sudah kugulung. Tapi Jaka juga tidak kalah cepat melakukan perlindungan dengan kedua tangannya. "Apaan sih, Ar? Gue cuma manggil, lo marah gitu."

"Gue nyariin lo dari tadi! Lo itu belum absen panitia tau, enggak? Gimana sih jadi ketua panitia tapi kayak gini!" Cerocosku.

"Oke, oke, sorry," ucapnya lalu menarik pena yang disangkutkan ke kerah kaus OSISnya. "tadi gue ketemu anak-anak kelas sebelas di depan ruang BP, dan mereka kayak protes gitulah pokoknya ke gue gara-gara kelas mereka enggak dicantumin namanya dalam daftar peserta. Makanya gue manggil lo itu karena gue pengen nanya." Ia merebut map di tanganku, kemudian membubuhkan tanda tangannya di atas tanda tanganku.

Aku mematung ketika Jaka mengembalikan mapnya, dan menatapku. "Lo yakin udah masukin kelas sebelas IPS satu, sebelas IPS tiga, sama sebelas IPA empat?" aku mengangguk pelan sambil membuka map di tanganku, dan melihat daftar peserta lomba yang ada.

"Gue udah masukin IPS tiga sama IPA empat kok. Ini ada," ucapku sambil menunjukkannya kepada Jaka. "Kelas sebelas IPS satu itu enggak kembaliin formulir ke anggota OSIS, jadi kan otomatis mereka enggak masuk ke daftar peserta."

Jaka berdesah berat. "Terus siapa yang nyuruh nempelin daftar peserta yang belum direvisi itu?" Aku hanya mengedikkan bahuku saking malasnya menjawab. Kulihat papan mading yang berada tepat di sebelah kiriku. Aku bahkan tidak tahu siapa yang menempelkan daftar peserta tersebut ke mading.

Aku tidak mau berdebat panjang bersamanya. Jadi, tanpa berbasa-basi lebih jauh, langsung saja aku mengganti daftar peserta di mading dengan yang baru. Tak tertinggal, aku menuliskan di lahan kosong kertas tersebut dengan pena merah agar tampak mencolok di antara tinta hitam: Kelas XI-IPS-1 tidak mengembalikan formulir pendaftaran ke anggota OSIS.

Sejurus kemudian, orang-orang yang tadi katanya protes kepada Jaka, langsung berdatangan dan melihat kertas yang masih hangat melekat ke papan mading. Namun, tetap saja, dua orang anggota kelas XI-IPS-1 tidak terima, dan protes kepadaku dan Jaka.

[TJS 1.0] JakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang